Minat Siswa

Link : s.id/kanalsatuguru

Oleh : Megawati, S. Pd

Menjadi seorang guru adalah pilihan yang tepat. Berkecimpung di dunia pendidikan dengan andil besar bagi peradaban. Peranan ini bukan hal yang sepele. Profesi ini dipilih oleh dan dilaksanakan dengan hati yang mengiringi. Ada tanggung jawab yang besar berada di pundak kita. Panggilan nurani ini tentunya harus  kita lakoni dengan maksimal.

Di masa kini, tantangan menjadi guru makin sulit. Kita harus mampu mengikuti arus perkembangan zaman yang makin pesat. Tentu kita masih ingat bagaimana dulu kita diperlakukan oleh guru kita. Pola itu tidak bisa lagi kita terapkan di saat ini. Kenapa? Benarlah apa yang dinyatakan oleh sahabat nabi Ali Bin Abi Thalib yang menyatakan  “Ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di zaman mereka bukan pada zamanmu.”

Guru adalah orang tua kedua bagi peserta didik. Bahkan sebagai guru kita berperan ganda, bukan hanya sebagai sarana untuk mentransfer ilmu saja, tetapi harus jeli melihat potensi kecerdasan siswa yang beragam dan akhirnya mengarahkan ke optimalisasi ke minat  dan bakatnya. Guru yang baik juga harus bisa menjadi role model yang menginspirasi dan memberikan nilai  karakter peserta didik.

Banyak pengalaman suka duka ketika menjadi guru. Berkaitan dengan dunia pembelajaran akademis maupun tentang kehidupan. Seperti yang pernah terjadi ketika saya mengajar di kelas XII. Saat itulah saya lebih menekankan kepada diri untuk bertindak dan berprilaku menjadi seorang sahabat bagi murid saya. Kenapa? Karena mereka mulai gamang dengan langkah apa yang akan mereka ambil untuk meraih masa depan dan menghadapi tantangan. Saya mencoba membuat daftar minat dan menjelaskan beberapa peluang yang akan mereka dapatkan jika tepat memilih jurusan kuliah yang sesuai.

Saya tekankan, para siswa agar lebih memikirkan dan mempertimbangkan arah yang akan mereka tuju. Apa tujuan atau cita-cita, minat dan bakatnya. Mereka juga menganalisis berbagai hambatan serta tantangan yang akan ditemui.

Saat itu saya hanya mengajar di derah kecamatan. Banyak yang terkendala dengan dana, dukungan serta keinginan yang rendah. Banyak yang lebih memilih untuk mencari kerja dan fokus membantu orang tua. Bahkan yang siswi sudah memutuskan akan menikah saja.

Saya pun menyadari memberikan pemahaman terhadap siswa mengenai kesuksesan bukan hanya pada kesesuaian jurusan kuliah yang diambil lalu bekerja pada bidangnya. Padahal pada kehidupan nyatanya banyak yang “meleset” lain jurusan perkuliahan lalu bekekja pada koridor yang bukan pada bidang ilmu yang mereka pelajari di bangku kuliah. Namun, alangkah bagusnya kesesuaian, jika ahli di bidangnya, sesuai dengan pekerjaanya.

Seorang siswa saya, sebut saja Bagas—anak dari seorang pria yang berprofesi sebagai dokter umum di Puskesmas. Ibunya sebagai Camat di tempat saya berdomisili. Bagas sangat menonjol di dunia seni. Strata kehidupan yang ekonomi ke atas membuat ia pun tekenal untuk tingkat kecamatan. Beberapa kali lukisannya ditampilkan pada acara kecamatan, hal ini tentunya tak luput dari campur tangan sang ibunya. Ia sangat tergila-gila dengan dunia lukis, walau di sekolah kami hanya sekadar pembelajaran, tidak sampai memiliki sanggar seni, karena semuanya serba terbatas. Tingkat pencapaian untuk lukisannya sudah sangat mengagumkan.

Guru bidang studi kesenian sangat respect dan mendukung kepada Bagas. Ketertarikan Bagas tersebut bahkan telah kami konsultasikan berdua. Sayangnya, suatu hari selepas ujian akhir. Bagas datang ke kantor dan ingin bercerita. Sebagai wali kelas saya merangkap sebagai guru konseling bagi siswa.

Wajah remaja berkulit putih itu begitu suram. Ia yang biasanya ceria dan bersemangat, hari itu sering menunduk dan menghela napas berat. Saya tentunya pasang telinga dan dengan sikap duduk tegap mendengarkan curahan hatinya. Ia mengatakan bahwa kedua orang tuanya memerintahkan masuk ke Fakultas kedokteran agar mengikuti jejak sang Papa. Ekonomi yang mendukung serta persepsi kesuksesan menjadi dokter lebih menjamin masa depan. Begitulah alasan yang dikemukakan oleh orang tuanya. Bagas ingin berontak, ia tak ingin memasuki dunia yang menurutnya begitu sulit. Apalagi mempelajari hal yang menurutnya membutuhkan mental keberanian ketika menanggani pasien. Katanya melihat darah merah yang banyak saja rasanya tubuhnya bisa gemetaran. Passionnya tidak ada sedikit pun ke dunia medis. Tekanan dari orang tuanya inilah yang membuat ia dilema. Ia meminta saya dan guru kesenian untuk bisa memberikan pandangan agar orang tuanya mengerti apa. Sebenarnya dia sudah mencoba mengungkapkan alasan, tetapi orang tuanya tetap bersikeras dengan intruksinya. Saya paham setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Sayangnya, terkadang  mereka terkesan ‘mamaksakan’ kehendak yang mereka anggap benar. Apalagi profesi sebagai pelukis tidak semenjanjikan seperti dokter.

Saya pikir, ini sedikit sulit, berbicara dengan orang yang berpendidikan tinggi dan memiliki prinsip. Mungkin akan ada perdebatan yang alot, dugaan saya waktu itu. Saya pun menghubungi rekan sejawat, guru kesenian. Berunding, setelah itu mencari waktu yang tepat agar bisa bertemu langsung dengan orang tua Bagas.

Singkat cerita, kami pun bertandang ke kediaman Bagas. Saya merasa gugup juga minder, untung saja rekan saya memberikan semangat. Ini demi kebaikan Bagas, bukan kita ingin mendikte mereka, begitu ia berkata.

Berbasa-basi sebentar selanjutnya saya mulai berkata dengan nada lembut, “ Ini maaf sekali, kunjungan kami ini sebenarnya ada maksud. Kemarin Bagas bercerita tentang masalah kuliah yang akan ditempuh. Kami pikir jurusan yang akan dipilih akan menentukan bidang pekerjaan yang akan digeluti, sebaiknya kita harus memandang minat anak, ini sangat krusial untuk dipertimbangkan. Kita semua tahu Bagas telah membuktikan dengan menghasilkan karya lukis, Ia ingin meleburkan diri ke dunia seni.”

Selesai saya berucap, orang tua Bagas saling beradu pandang. Terlihat rahang sang dokter mengeras. Saya menelan saliva dan memandang rekan seakan meminta dukungan. Badan saya terasa panas dingin.

Saya tidak memberi kesempatan mereka membalas ucapan saya. Saya berkata kembali, “ Bagas akan tertekan dan terbebani jika ia tetap dipaksa, bisa jadi berubah ke tingkat stres bahkan depresi.”

Waduh berbicara begitu dengan seorang dokter dan Bu Camat membuat saya mengutuk diri sendiri. Entah apa yang mereka pikirkan, mungkin saya guru yang sok-sok ikut campur urusan keluarga orang.

Tidak banyak lagi pembahasan, di luar dugaan orang tua Bagas kalem dan menunjukkan wajah biasa saja. Besoknya, barulah mendapat isu mereka telah gempar, ribut besar. Bagas mengancam akan minggat dan tetap memilih jurusan seni rupa.

Beberapa tahun kemudian, saat saya berjalan-jalan di ibu kota propinsi. Seorang anak muda berpakaian kasual dengan mengenakan topi kupluk dan membawa alat lukis menyapa. Eh, ternyata Bagas yang telah ikut pada event pameran komunitas pelukis Nasional.

~

Spread the love

Yudhi Kurnia

redaksi@satuguru.id

Related post

76 Comments

  • Luar biasa Bu, semoga dapat menginspirasi saya untuk selalu menulis.

    • Ya, Pak, semangat ya💪🙏

  • MasyaAllah…keren ..semoga ini yang terbaik..hari dan sedih ..semangat Bun..

    • Makasi, ya

  • Betul sekali Bu, sebagai guru kita harus memberikan motivasi terhadap minat anak agar anak dapat mengeksplor seluruh potensi yg dimilikinya.

    • Iya😁

  • MasyaAllah,,, chtn yg menginspirasi ibuu

    • Alhamdulillah🤲❤️

  • Kerjasama yg baik antara guru dan org tua sangat diperlukan,,,
    Utk kemajuan anak itu sendiri..
    A wise teacher & good parents
    Makasi buk untuk sharingnya.

    • Sama-sama, Say

  • Anak sprti Bagas patut diberi dukungan, dia yakin dgn pilihannya dan tdk mudah dikendalikan. Terkadang kebahagiaan hanya sesimpel itu. Dengan mengikuti kata hati, menjadi seniman, tanpa memakai seragam dinas, itu lah kebahagiaan bagi Bagas.

    • Ya, begitulah😁🙏

  • Semangat dan teruslah ibu berkarya, berkreasi dengan berliterasi karya tulisan ibu menginspirasi ✍️👍

    • Makasi supportnya❤️🙏

  • MasyaAllah…kereen …jadi terharu membacanya…semoga apa yg dipilihnya adalah yg terbaik menurut Allah bagi kehidupannya

    • Alhamdulillah🤲

  • Memang betul sebaiknya kita serahkan pada anak mana yg akan menjadi pilihannya…bukan pilihan orangtua Krn anak tahu akan kempuan diriny

    • Iya, benar😁

  • Sangat menginspirasi.
    Mungkin diluaran sana masih banyak “Bagas” lain yg belum merdeka atas pilihan nya dalam memilih sekolah yang mendukung bakat dan minat yg dia punya.
    Semoga saya bisa menjadi orang tua yang tidak egois kepada anak saya dalam hal minat dan bakat yg dia punya.

    • Aamiin, semangat❤️

  • Salut dengan guru Indonesia yang begitu memiliki idealisme tinggi agar anak-anak Indonesia menjadi dirinya dan menghargai dirinya. Berhadapan dengan orang tua yang seolah tahu masa depan anaknya di tangannya butuh guru yang berani.
    Terima kasih artikelnya sangat menginspirasi.

    • Alhamdulillah, makasi ya❤️

  • Saya sependapat dengan Bu Mega. Sebagai guru kita harus berperan ganda, oleh karena itu kita harus bisa berinovasi dengan baik dan mengajarkan siswa kita sesuai dengan zamannya.
    Mantap Bu tulisannya.
    Lanjutkan berkarya.

    • Ok, Say. Makasi ya❤️

  • Saya sependapat dengan Bu Mega. Sebagai guru kita harus berperan ganda, oleh karena itu kita harus bisa berinovasi dengan baik dan mengajarkan siswa kita sesuai dengan zamannya.
    Mantap Bu tulisannya.
    Terus berkarya dan menulis sepanjang hayat.

    • Double🙏😁

  • You can if think you can, mantap semoga terinspirasi khususnya di pendidikan umumnya secara masyarakat luas

    • Aamiin, i like this

  • nah ini yang berat kadang, peranan guru di sekolah juga serinh berlnjut pada urusan keluarga murid.
    Saya masih sangat bersyukur
    Menjadi guru dari anak usia dini, sehingga ketika terjadi konflik. Diskusi orang tua dan guru terjadi tidak begitu alot hehe
    Tapi sellau butuh setrategi yang baik.

    Keren tulisanya Bu. Usia muda tapi adrenlin dan kecerdasan bunda saya salut

    • Udah tuir lho diriku, Say😁

  • Luarbiasa, kalau bu mega mah nggak diragukan lagi. 😊😃👏🏻👏🏻👏🏻

    • Aan bisa aja nih. Masihan harus belajar lagi lho

  • Masya Allah, sangat menggugah perasaan saya sebagai guru juga sebagai orang tua. Emang kenyataannya, keinginan orang tua tidak bisa dipaksakan ke anak, karena anak mempunyai kemampuan dan bakat bahkan cita-cita yang berbeda dengan yang dipilih orang tuanya.
    Semangat selalu, salam literasi

    • Terima kasih, Bu🥰

  • Terkadang orang tua banyak yang memaksakan kehendak pada anaknya. Anak tidak diberi kebebasan dalam berpendapat.
    Masyaallah, bu Mega mampu merubah pandangan Pak Dokter dan Bu Camat, sehingga Bagas dapat menggapai impiannya.

    • Say, itu ….

      Makasi ya❤️

  • Superrrrr sekali tulisannya mega.

    • Makasi, Ibu🥰

  • Maa syaa Allah, luar biasa sangat menggugah….😍

    • Alhamdulillah

  • Maa syaa Allah, luar biasa….. Menjadi inspirasi….

    • Alhamdulillah

  • Kereen ulasannya bu. Salam literasi

    • Makasih, ya, Say🥰

  • Terkadang begitu ya bu…. Tp alhamdulillah Bagas berkembang sesuai dengan bakatnya…walau diawal sangat ditentang orang tuanya…

    • Iya, Say

  • Keren 😍

    • Makasi, Say

  • Mantappz, semoga sukses Bu guru.

    • Aamiin, makasi ya

  • Keren, Bun. Menginspirasi. Semangat menulis

    • Makasi, Bu. Sukses juga untuk Kayang

  • Sukses selalu ‘Pahlawan Tanpa Tanda Jasa’. Teruslah berbuat baik untuk semua generasi bangsa.

    • Aamiin, makasi ya

  • MasyaAllah keren buk Mega ulasannya.terus berkarya buk.

    • Siap, Say. Makasi ya

  • Keren

    • Makasi, ya

  • Semanga terus, Bu Guru

    • Makasi, Say❤️

  • MasyaAllah, ulasannya bagus sekali. Menginspirasi terkhusus untuk kami orang tua agar lebih peka pada minat dan bakat anak, bukan memaksakan kehendak seperti mau kita. Mereka berhak memilih jalan bahagianya sendiri dengan potensi yang sudah dititipkan Allah dan kita sebagai orang tua sudah sepatutnya mendukung dan mengarahkan. Barakallah. Salam literasi.

    • Iya, semangat

  • Ulasan yang bagus, Bu. Sangat bermanfaat. Terima kasih banyak, Buk.

    • Sama-sama

  • Sangat menginspirasi

    • Alhamdulillah🤲❤️

  • Masya Allah, menginspirasi Bu tulisannya. Kereeen

    • Alhamdulillah, makasi ya

  • Kren bu bguru,,, memang kita sebagai guru perlu membantu peserta didik kita dalam menemukan jati dirinya karena keputusan yang diambil akan menjadi penentu bagi masa depanya. Apa bila siswa kita mengambil jurusan pada suatu perguruan tinggi, tidak ada salahnya kita memberikan mereka saran atau nasehat sebagai gambaran akan perjalanan dalam menempuh pendidikannya. Karena jika siswa mengambil sebuah jurusan sesuai dengan bakat dan minatnya maka ia dengan mudah akan menyelesaikan tugast-tugas yang diberikan oleh guru, bahkan dengan kemampuannya dalam bidang tersebut ia akan menyumbang ide-ide kreatif yang tidak pernah ditemukan sebelumnya. pada tulisan di atas memberikan kita kesadaran sebagai orang tua untuk selalu memberikan kebebasan kepada anak-anak kita untuk mengambil sebuah jurusan sesuai dengan bakat dan minatnya karena dengan hal tersebut ia akan leluasa dan bebas dalam mengembangkan diri sesuai dengan ilmu dan imajinasinya.
    Cerita di atas mengigatkan saya pada kisah rekan guru yang memaksa anaknya untuk mengambil jurusan kesehatan, padahal si anak bersi keras untuk mengambil jurusan seni. Orang tuanya sangat memaksa anaknya harus mengambil jurusan kesehatan, karena ia menganggap mengambil jurusan seni tidak punya masa depan yang menjanjikan. Hari berganti hari si ankapun dengan berat hati mengikuti keinginan orang. Ia dimasukkan di salah satu perguruan tinggi di Pulau Jawa. Dengan pasrah ia menuruti kehendak orang tuanya meskipun dalam hatinya memberontak. Tiada yang bisa menolong baik saudara ataupun orang-rang terdekatnya. Keberangkatannya keluar daerah diiringi dengan isak tangis sampai mata membengkak.
    Hari demi hari, bulan berganti tahun, perkuliahan ia jalani dengan apa adanya sehingga IP yang ia peroleh sangat memperihatinkan atau sangat rendah. Di tahun ke tiga ayahnya meninggal dunia ia tidak pulang ke kotanya untuk menghadiri pemakaman orang tuanya. Mengalami hal tersebut hatinya tambah kacau dan hancur, ia tidak pernah mengikuti perkuliahan bahkan apa yang ia lakukan berbulan-bulan menyendiri dikamar dan kebiasaan burukpun mulai menjangkiti merokok, konsumsi pil penenag stres badan tidak terurus seperti orang gila. Keuangan dan segala kebutuhan terus di kirimi oleh si ibu.
    Tahun ke tiga segera usai beriringan dengan wisuda untuk D3 Keperawatan, si ibu menunggu-nunggu kabar berita dari anaknya, kapan diterimanya undangan wisuda si anak. berbulan-bulan menunggu terapi kabar anaknya tidak pernah di terima, akhirnya ibunya nekat pergi sendiri ke Jawa Tengah untuk menemui sang anak. Sesampai di kost anaknya, ia sangat kaget diam tak tahu apa yang harus diperbuat, melihat kondisi anaknya seperti orang gila. Si ibu menagis sambil mengelus-elus anaknya sambil minta maaf kepada anaknya, anaknyapun terdiam tidak berkata apa-apa, pandangan kosong nanar dan hampa. Dua hari sehak kedatangannya di kost anaknya, ia pergi kekampus dimana tempat anaknya kuliah, bertanya tentang perkembangan kuliah anaknya sehingga sampai sekarang ia belu di wisuda, bagian administrasipun membuka data siswa, ternyata anak tersebut sudah di DO atau di keluarkan dari kampus, mendengar hal tersebut perasaan ibunya senakin hancur ia tidak tahu harus berkata apa pada bagian administrasi. Si ibu mencoba kepada bagian yang lebih berhak pada mahasiswa, untuk meminta kesempatan satu kali lagi kepada pihak kampus, tapi semuanya itu sia-sia, si anak tidka bisa lagi mengikuti perkuliahan. Karena tidak ada solusi yang membuat ia masuk kampus akhirnya saat itu sang ibu langsung memesan tiket pulang membawa anaknya ke kampung halamannya.
    kira-kira pukul 16:15 ia tiba dirumah, tanpa mengganti pakaian dan basa basi si ibu mengambil kelapa di belakang rumah untuk di parut, anak tersebut di bawa ke kamar mandi, sambil menagis dibersihkan semua tubuhnya rambut di keramas pakai shampo setelah itu diulagi lagi keramas pakai parutan santan kelapa, ketia ia dimandiin oleh ibunya seperti balita, saat dimandiin ia diam tak sepatah kata di ucapkan.
    kira-kira pukul 16:15 ia tiba dirumah, tanpa mengganti pakaian dan basa basi si ibu mengambil kelapa di belakang rumah untuk di parut, anak tersebut di bawa ke kamar mandi, sambil menagis dibersihkan semua tubuhnya, rambut di keramas pakai shampoo, setelah itu diulagi lagi keramas pakai parutan santan kelapa, ketia ia dimandiin oleh ibunya seperti balita, saat dimandiin ia diam tak sepatah kata di ucapkan.
    Selang bebrapa hari di rumah ia dibawa ke pskiater sambil berobat jalan, yang berlokasi di rumah sakit jiwa di kota tersebut. Alhamdullillah 3 bulan ia sudah normal Kembali dan menjalani hidup normal. Keinginannya dalam bidang seni di palisitasi oleh orang tuanya meskipun dalam bentuk kursus. Alhasil ini sebagai pelajaran yang sangat berarti bagi kita sebagai orang tua, biarkanlah anak kita memilih jurusannya sesuai dengan bakat dan kemampuannya, karena ia yang kan menjalani, megalami. Tugas kita sebagai orang tua mendukung dan mempasilitasi anak-anak kita, dengan demikian anak-anak kita akan menemukan kemerdekaan dakam belajar.
    Maaf atas kata dan kalimatnya tidk tersusun dengan baik dan benar, karena baru pertama memasuki dunia menulis. Hee hee modal nekat pingin seperti teman-teman yang hebat-hebat.

    • Hiks, berakhir dengan tragis. Sampai depresi😭

  • keren… menginspirasi

  • Ya, Pak, mari kita terus belajar, ya💪🙏

  • Terima kasih semuanya, yang sudah mampir memberikan komentar🥰❤️salam sayang dan literasi

  • Alhamdulillah, makasi ya

  • Kepedulian guru berbuah manis. Keren.

  • Bu guru nan berani. Hehe .. sepakat dengan ibu

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *