Muridku Pahlawan Devisa

Penulis: Dra. Riful Hamidah, M.Pd.

Peristiwa ini telah berlangsung berpuluh tahun lalu tapi masih sangat kuingat karena begitu berkesan selama aku menjadi seorang guru. Banyak pelajaran yang bisa dipetik, baik olehku sebagai guru maupun murid-muridku. Oleh karena itu aku acap menceritakannya kepada teman, saudara, dan tentu saja kepada murid-muridku di angkatan selanjutnya.

Waktu itu aku mendapat tugas sebagai wali kelas XII di jurusan Sekretaris SMKN 1 Magetan. Ada sekitar 40 siswa di kelas tersebut dan semuanya perempuan. Seperti biasa, di awal menjalankan tugas sebagai wali kelas, aku selalu berdoa semoga kelasku tidak bermasalah. Mereka mudah diatur dan akan baik-baik saja hingga kelulusan nanti.

Dua bulan berjalannya waktu di semester ganjil, aku mulai mengenal satu per satu siswa yang ada di kelasku. Satu di antara mereka, sebut saja Marni, tergolong siswa yang aktif di kegiatan sekolah, terutama Palang Merah Remaja (PMR). Ia memiliki keberanian dan rasa percaya diri yang tinggi. Penampilannya sedikit ‘tomboy’ meski rambut kemerahannya yang tipis dan agak keriting dibiarkannya panjang dan dikucir ekor kuda.

Suatu hari aku mendapat informasi kalau Marni kecelakaan. Untungnya tidak sampai luka parah. Namun sepeda motor yang dikendarai bersama adik kelasnya rusak berat dan masuk bengkel. Kukira itu sepeda motornya sendiri tapi ternyata sepeda motor itu milik adik kelasnya tersebut. Marni memang setiap hari nebeng untuk pulang dan berangkat sekolah tapi ia tidak mau dibonceng. Jadi ia yang mengemudikan sepeda motor itu sedangkan adik kelasnya yang dibonceng. Waah…, ini anak memang ‘sok gaya’. Gemas juga mendengarnya.

Persoalan menjadi panjang ketika orang tua Marni tidak bersedia membiayai ongkos servis sepeda motor yang rusak. Maklum, mereka memang keluarga yang kurang mampu. Tentu saja orang tua siswa pemilik sepeda motor itu mengubungiku dan melaporkan kondisi tersebut. Mereka protes dan tidak terima.

Akhirnya, para orang tua ini dipanggil ke sekolah. Mereka dipertemukan untuk menyelesaikan persoalan yang sedang terjadi. Aku merasa kasihan melihat orangua Marni yang terlihat sangat sedih. Berulang kali ia mengatakan kalau betul-betul tidak memiliki uang untuk membayar ongkos servis. Untunglah setelah melalui proses perundingan, orang tua si pemilik sepeda motor mengikhlaskan dan tidak menuntut membiayai ongkos servis karena merasa iba. Tentu saja orang tua Marni sangat senang dan mengucapkan terima kasih berulang kali. Masalah pun selesai.

Meski begitu, rasa gemasku terhadap Marni belum juga hilang. Apalagi mengetahui bagaimana kondisi orangtuanya yang mengundang belas kasihan. Tak tega rasanya melihat mereka begitu sedih dan gundah. Aku merasa perlu untuk bicara dengan Marni. Akhirnya kupanggil saja dia dan kuminta ke depan kelas. Aku sengaja melakukan itu karena bermaksud menasehatinya dan sekaligus semua siswa di kelas.

Aku masih sangat ingat dengan kata-kataku waktu itu, yang kuucapkan dengan nada agak bergetar karena sesak menahan air mata. “Anak-anakku, jadilah diri kalian sendiri. Jika kalian bisanya merangkak, ya merangkak saja jangan memaksa  untuk jalan. Jika kalian bisanya jalan, ya jalan saja jangan memaksa untuk berlari. Jika bisanya lari ya lari saja tidak usah terbang. Janganlah karena malu atau gengsi, kalian berpura-pura menjadi orang lain.”

Sejenak kulirik Marni yang semakin dalam menundukkan kepalanya. sedangkan teman-teman yang lain tidak bergeming sedikit pun. Pandangan  mereka mengarah padaku dengan penuh perhatian.

Dadaku semakin sesak dan tak terasa air mataku menetes. Lantas kulanjutkan kata-kataku. “Kalau memang kalian dari keluarga yang kurang mampu, ya tidak usah berlagak menjadi orang kaya. Kalau sekolah bisanya naik sepeda ontel, ya naik sepeda ontel saja. Kalau bisanya naik angkutan umum, ya naik angkutan umum saja. Tidak usah naik sepeda motor apalagi sampai pinjam-pinjam. Kalau terjadi kecelakaan seperti ini, terus siapa yang menanggung akibatnya? Berpikirlah risikonya. Janganlah merepotkan orang tua yang sudah bersusah payah menyekolahkan kalian. Kasihan mereka jika harus menanggung akibat dari ulah kalian yang seperti itu.”

Kali ini Marni menangis. Wajahnya terlihat kurang suka. Mungkin dia merasa malu karena berdiri di depan kelas. Aku memahami hal tersebut dan  langsung kukatakan. “Marni, Ibu sangat maklum jika kamu merasa tersinggung dan tidak terima. Ibu sengaja melakukannya untuk menasehati, tidak untukmu saja tapi untuk semuanya. Silakan jika kamu merasa sakit hati dan Ibu minta maaf. Namun, suatu saat kamu pasti akan menyadari bahwa apa yang Ibu katakan ini baik untukmu.”

Mendengar itu Marni semakin menunduk. Ia pun mengusap air matanya berulang kali. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Kemudian ia kuminta untuk kembali ke tempat duduknya.

Sekitar dua tahun setelah peristiwa itu,  aku tidak mendengar kabar tentang si Marni. Hingga suatu hari di siang bolong, aku kedatangan tamu yang tak diundang. Waktu itu aku sedang menidurkan anakku yang masih kecil. Aku dikejutkan oleh pintu rumah kontrakanku yang digedor begitu keras. Ada suara orang mengucapkan salam berulang-ulang di antara suara gedoran itu. Aku pun bergegas menuju ke ruang tamu.

Ketika pintu kubuka, seorang gadis berambut cepak, berkemeja kotak-kotak dan bercelana jins berdiri di hadapanku. Aku sangat hafal dengan wajah itu meski rambut yang biasanya panjang kini dipotong pendek. Marni. Ia melempar senyumnya ke arahku.

 Belum lagi aku sempat berkata-kata, Marni langsung langsung menarik tanganku menuju keluar rumah. Sepertinya ada sesuatu yang ingin ditunjukkan. Setelah tiba di teras, tangan Marni menunjuk-nunjuk sebuah sepeda motor baru yang terparkir di sana.

 “Itu lo Bu, sepeda motor saya yang baru. Saya sekarang sudah bisa beli sendiri,” ujarnya dengan bangga. Senyumnya semakin merekah.

Aku pun tak bisa menahan senyum saking senangnya,”Nah, kalau itu mau kamu buat jungkir balik ya nggak apa-apa, wong milik kamu sendiri,” candaku yang disambung dengan tawa renyah dari si Marni. Kemudian ia kuajak masuk ke dalam rumah dan kami pun mengobrol panjang lebar.

Si Marni menceritakan pengalamannya setelah lulus sekolah. Ia merasa termotivasi dengan kata-kataku dulu dan ingin membantu ekonomi keluarganya. Akhirnya ia nekat merantau ke luar negeri menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di sektor informal alias menjadi asisten rumah tangga. Kebetulan bosnya seorang dosen di perguruan tinggi.

Marni yang memiliki kemampuan mengoperasikan komputer dan Bahasa Inggris, sering dimintai bantuan  menyelesaikan pekerjaan si Bos. Marni juga mengajari anak-anak si Bos berbahasa Inggris. Selain itu, Marni dipercaya mengecek usaha apartemen milik bosnya. Singkat cerita si Marni ini levelnya naik. Tidak lagi menjadi asisten rumah tangga tapi menjadi pegawai kepercayaan sekaligus kesayangan si Bos. Berkat itu, Marni dapat mengumpulkan uang untuk membeli sepeda motor, memperbaiki rumah orang tuanya, dan juga membeli tanah. Alhamdulillaah.    

Spread the love

Yudhi Kurnia

redaksi@satuguru.id

Related post

11 Comments

  • Kisah yang sangat luar biasa bunda, ucapan bunda kepada murid-muridnya sangat menginspirasi saya terima kasih atas tulisan yang sangat bermanfaat dan penuh makna ini ya bund

    • Terima kasih apresiasinya ya Dik..

  • Anak yang faham nasehat yg diberi..hingga jd Motivasi

    • Terima kasih telah berkunjung..

  • Bahagianya guru ketika muridnya sukses dan bahagia.

    • Benar sekali. Terima kasih apresiasinya

  • Terima kasih bunda, kisah tersebut sudah membuat saya terinspirasi dan membuat murid murid lainnya menjadi lebih semangat dalam menuntut masa depan

  • MasyaAllah,….
    Tulisan yang sangat indah nan luar biasa ibu,sehingga para pembacanya pun (termasuk saya) bisa seolah olah masuk dan menjelajah kedalam cerita ini.
    Banyak hal luar biasa yang bisa saya petik dari tulisan ini.
    Terimakasih Bu. Riful ♡

    • Terima kasih kembali Non..

  • Saya ingat anak yg kisahnya ibuk tulis, ingat saya waktu dia libur pulabg dan ke SMKN 1 Magetan bertemu saya dan juga bercerita pada saya

  • Alangkah bangga dan bahagianya kita sebagai Guru bisa mengantar anak-anak bangsa menjadi insan cerdas spiritual, emosional maupun finasial dan sosial. Salut…

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *