NICKO

Setiap anak adalah pribadi yang unik. Meskipun dalam proses perkembangannya terdapat banyak kesamaan, namun tetap akan memiliki keunikan tersendiri. Begitu juga dengan kemampuan. Setiap anak memiliki kapasitas yang berbeda. Perbedaan inilah yang wajib disadari oleh orang tua dan pendidik agar mutiara yang terpendam  dalam setiap anak  tumbuh dan berkilau.

Berjalan memasuki ruang kelas untuk yang pertama kali membuat saya bahagia. Setelah 2 tahun lebih melaksanakan pembelajaran daring, akhirnya pemerintah menetapkan pembelajaran tatap muka terbatas (PTMT)  proses belajar mengajar yang dilakukan secara langsung antara siswa dan guru di sekolah.

Ada rasa haru melihat anak-anak kembali  bercengkrama, tertawa, bercanda dan berlari di selasar kelas. Merangkai kenangan indah, yang kelak akan mereka kenang. Untuk memastikan anak tetap aman, sekolah menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Dengan tujuan menghindari penyebaran virus covid-19 di lingkungan sekolah.

Berdiri dan mengajar dihadapan anak-anak secara langsung membuat saya sedikit gugup. Teknik Mobile Teaching pun saya lakukan.  Melangkah ke belakang dan berkeliling kelas. Tatapan anak-anak mengikuti langkah saya. Mereka tampak heran dengan apa yang saya lakukan. Saya berhenti di meja paling belakang. Menatap anak yang duduk dengan kepala telungkup di atas meja.

Pandangan saya tak berkedip . Sepertinya dia tidak menyadari kalau saya berdiri di sampingnya. Saya terus menatapnya, saya yakin anak itu mengantuk. Dengan menghentakkan kaki sedikit keras saya berjalan mendekat. Saya berharap suara dari hak sepatu yang saya pakai, bisa membangunkan anak itu.

Namun anak itu tetap menunduk. Rambutnya yang gondrong menutupi sebagian wajahnya. Dengan sedikit kesal saya menghampirinya. Jemari saya menyentuh tangan anak itu dan membangunkannya. Namun dia tetap di posisinya. Dengan kecewa saya melangkah menjauh.

Saya Kembali ke meja guru. Meraih spidol dan mulai menuliskan judul materi yang akan saya ajarkan. Tiba-tiba seorang anak mengangkat tangannya dan memberitahu kalau materi itu sudah diajarkan saat pembelajaran daring. Saya hanya tersenyum dan tetap melanjutkan menulis.

Anak-anak terlihat kesal, beberapa diantaranya terdengar menggerutu. Saya meraih buku absen. Satu persatu saya menyebutkan nama dan memberikan pertanyaan tentang materi yang judulnya saya tulis di papan tulis. Anak-anak yang namanya belum dipanggil terlihat goyang. Sorot mata mereka terlihat cemas.

“Nickholas..!” Saya menyebutkan satu nama. Tak ada jawaban. Beberapa diantaranya menengok ke belakang. Saya Kembali menyebutkan nama yang sama sebanyak tiga kali, namun tetap tidak ada jawaban. Untuk beberapa saat kelas hening. Tiba-tiba Seorang anak perempuan menunjuk ke belakang, dan mengatakan kalau yang tertidur itu Nickholas.

Saya meminta teman sebangkunya untuk membangunkan Nickholas, tapi Nickholas tetap diam. Anak-anak semakin keras berteriak, suasana kelas benar-benar ramai, tapi nickholas tetap tertidur. Saya mengangkat tangan berusaha menenangkan mereka. Saya memutuskan untuk membiarkannya dan melanjutkan materi sampai jam pelajaran berakhir.

Bel berbunyi. Anak-anak bersiap untuk pulang. Sampai do’a selesai dibacakan, Nickholas tetap tertidur. Anak perempuan berebut mencium tangan saya. Sebagian anak laki-laki berteriak dan menguncang-guncang tubuh Nickholas.  Nickholas tetap terlelap. Anak-anak terus berteriak mengelilingi Nickholas. Nickholas mulai terganggu. Kepalanya bergerak dan perlahan mengangkat wajahnya yang dipenuhi keringat.

Anak-anak tertawa keras saat Nickholas mulai membuka mata. Tatapan Nickholas terlihat bingung. Namun tiba-tiba dia berdiri beringas, wajahnya tampak kesal menatap teman-temannya yang terus tertawa. Saat matanya menoleh ke depan, Nickholas terlihat kaget. Dengan gugup dia Kembali duduk dan tertunduk.

Saya berjalan menghampirinya. Teman-temannya tetap berdiri sambil menahan tawa. Saya mulai menanyakan alasan mengapa Nickholas tertidur di kelas. Nickholas terdiam, matanya melirik ke arah temannya yang masih berdiri sambil cengengesan. Saya memberi isyarat agar teman-temannya keluar dan meninggalkan kami berdua.

Malu-malu Nickholas menjelaskan alasannya. Saya mengangguk beberapakali, ada rasa tidak percaya mendengar alasan tersebut. Nickholas menyadari itu dan berusaha menyakinkan agar saya mempercayai alasannya. Setelah beberapa saat, saya mengijinkannya pulang. Sebelum pulang saya  meminta Nickholas untuk memotong rambut gondrongnya. Sambil mengangguk Nickholas melangkah keluar.

Minggu berikutnya saya Kembali ke kelas Nickholas. Hal yang sama terulang. Nickholas tertidur di jam pelajaran. Saya Kembali menanyakan alasannya. Jawaban yang sama Kembali terdengar dari mulut Nickholas. Saya mulai kesal dan bertambah kesal saat rambut Nickholas belum juga di potong. Dengan terpaksa saya mengambil gunting dan memotong rambut Nickholas sekenanya. Saya berharap Nickholas merapihkannya.

Esoknya saya masuk Kembali ke  kelas Nickholas. Anak-anak terlihat heran, mengingat hari ini tidak ada pelajaran saya. Saya tersenyum, pandangan saya mengarah ke meja Nickholas yang masih kosong. Tanpa ditanya seorang anak memberitahu tahu Nickholas ada di kantin. Saya segera melangkah ke kantin.

Kantin terlihat sepi. PTMT melarang kantin sekolah beroperasi. Saya melangkah memasuki salah satu kantin yang berjajar di belakang kelas. Pak Hasan tukang kebun sekolah berjalan tergesa menghampiri saya. Dengan berbisik  dia memberi tahu  Nickholas tertidur di bangku kantin paling ujung. Saya meminta pak Hasan untuk membangunkan Nicholas.

Dari Jendela kelas, saya melihat Nicholas berjalan menuju kelasnya. Dan yang membuat saya tidak habis pikir, rambut Nickholas belum juga dirapihkan. Dengan berat hati saya melaporkan masalah Nickholas ke guru BK (Bimbingan Konseling). Guru BK berjanji akan memanggil orang tua Nicholas untuk konsul.

Esoknya seorang Wanita muda terlihat di ruang BK. Ternyat itu ibunya Nickholas. Saya dipanggil untuk memberikan kesaksian tentang kenakalan Nickholas. Setelah mendengar keluhan tentang Nickholas, seketika raut mukanya berubah. Dengan lirih dia mengungkapkan alasan mengapa Nickholas seperti itu.

“Nickholas adalah tulang punggung keluarga, 5 bulan yang lalu ayahnya sakit strooke, untuk mengobati ayahnya, membiayai adik dan memenuhi keperluan di rumah, Nikholas bekerja di bengkel sepulang sekolah, dia bekerja sampai larut malam, jangankan bermain, memotong rambutnya saja dia tidak sempat. Saya berjanji akan membantunya mencari napkah tapi saya mohon agar Nikholas tetap bisa sekolah,” tuturnya sedih.

Penulis,

Yuningsih

Guru IPS di SMPN 2 Pebayuran kabupaten Bekasi

Spread the love

Yudhi Kurnia

redaksi@satuguru.id

Related post

2 Comments

  • Ya Allah, ternyata Nicholas menanggung beban yang berat. Pantas saja dia tidur terus di sekolah, tidak lain karena kelelahan. Bagus sekali narasinya, Bu. Semangat berliterasi.

  • Yups jadi guru memang harus tahu psikologi anak ya. Menyayangi anak2 yg jadi tanggungjawab kita sebagai gurunya di sekolah.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *