Sepenggal Asa dari Desa

s.id/kanalsatuguru

Oleh : Sofyan Aziz *)

“Nak, belajarlah yang rajin, biar pintar. Meskipun menjadi pintar tak lantas menjaminmu menjadi kaya dan sukses, apalagi jika kau tak pintar.”

Begitu kira-kira pesan yang tak lelah senantiasa saya sampaikan pada anak didik saya, hampir di setiap kelas yang saya masuki. Sebagai sebuah ikhtiar seorang guru untuk memberikan bantuan afirmasi pada anak didik. Walau menurut Steel (1998) dengan teori Self Affirmation Theory mengatakan bahwa afirmasi sebaiknya dilakukan pada diri sendiri, namun justru disinilah peran guru diuji untuk mampu melakukannya terhadap anak didiknya.

You Are What You Think, kalimat pijakan awal yang membuat saya mulai menanamkan mindset atau pola pikir yang positif pada anak didik, utamanya pada growth mindset hasil pemetaan dari Carol Dweck dari Universitas Stanford, pola pikir yang terus bertumbuh.

Meski kalimat sederhana, tapi saya yakin dengan kekuatannya mampu melecutkan semangat mereka dalam belajar, atau paling tidak menjaga nyala lilin semangat agar tak lekas padam. Sebab hanya dengan semangat belajarlah satu-satunya modal dasar dan cara yang masuk akal bagi kami, masyarakat pedesaan- yang jauh dari sentra perputaran ekonomi dan percaturan intelektualitas, untuk dapat menaikkan derajat sosial ekonomi kami.

Kebetulan saja sekolah kami terletak di tepian hutan, di ujung paling timur provinsi Jawa Tengah. Namun letak keterpencilan geografis bukan berarti tak ada laju pembangunan sarana prasarana di daerah ini, sekali lagi tidak. Pembangunan, meski tidak selaju di daerah pusat kecamatan atau kabupaten, tetap menunjukkan peningkatan kualitas sarana prasarana publik di berbagai sudut desa.

Harapan pemerintah dalam membangun sarana prasarana khususnya pendidikan tentu saja agar berbanding lurus dengan semangat dan motivasi anak didik dalam belajar di sekolah. Tetapi ternyata tidak semudah itu, Ferguso! Gedung sekolah yang kokoh dengan fasilitas yang mencukupi tak terlalu menarik bagi mereka selama kontribusi bersekolah tidak mendatangkan manfaat langsung secara ekonomi.

Sehingga kesadaran pendidikan tidak kompatibel lagi jika hanya diukur dari pencapaian sarana prasarana pendidikan yang tercukupi, karena justru permasalahan utama terletak pada kedangkalan berpikir dan pragmatisme serta pola pikir masyarakat pedesaan yang cenderung memandang sebelah mata tentang arti pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka. Singkat kata, membangun sarana prasarana hanyalah masalah kecil dibanding kompleksitas permasalahan pendidikan yang sebenarnya. Pola pikir dan mindset tentang konstruksi belajar di sekolah yang sebenarnya perlu dipikirkan lebih serius.

Mengingat bahwa dalam membangun sarana prasarana pendidikan hanyalah masalah ketersediaan biaya dan political will para cerdik cendekia, sang pemangku kebijakan pendidikan, yang telah teruji kualifikasinya. Namun membangun kesadaran akan arti pentingnya pendidikan adalah persoalan yang lebih rumit lagi, dan itu menjadi tanggungjawab kami, para guru di sekolah. Sebagai komunitas intelektual terdekat yang dapat mereka jangkau dalam lingkungan desa. Kami seolah hidup dalam sebuah jebakan sosial yang terstruktur.

Namun semenjak berdirinya SMP satu atap yang berdiri bersebelahan dengan SD pada tahun 2007 silam, membuat animo belajar formil masyarakat sekitar meningkat pesat. Pelan-pelan kesadaran belajar mulai tumbuh. Banyak anak yang malu bila tidak melanjutkan sekolah di usia belia.

Dalam rangka memantaskan diri menjadi manusia unggul, saya dan rekan sejawat guru yang lain tentu tak patah arang untuk senantiasa menyebarkan arti pentingnya pendidikan bagi warga sekitar sekolah. Salah satunya dengan terus memompa semangat belajar anak didik yang telah ada di genggaman kami. Agar dapat diimitasi secara sempurna oleh masyarakat sekitar mereka yang belum juga menyadari arti pentingnya sebuah pendidikan.

Minimal dapat meminjam bibir mungil anak-anak mereka untuk dapat bercerita betapa indahnya menjadi manusia terpelajar. Jikapun tak mempan juga, paling tidak masyarakat dapat melihat karya nyata mereka 5-10 tahun yang akan datang, manakala generasi saat ini terbukti mampu bertahan dari ganas dan panasnya zaman.

Lebih jauh, berbagai kesalahan pola pikir yang telah membudaya seperti misalnya anggapan bahwa semakin lekas menikah semakin baik, atau pemikiran mengenai semakin cepat memperoleh pekerjaan semakin terentas dari jurang kemiskinan. Adalah contoh kecil kesalahan pola pikir yang tak peduli pendidikan. Saya menyebutnya sebagai gegar budaya, yang mesti harus secepatnya teratasi.

Lihat bagaimana Kaisar Jepang sewaktu Perang Dunia II begitu panik dengan mendata berapa guru yang masih tersisa, demi bangkit mengangkat harkat bangsanya yang telah diporak-porandakan tentara Sekutu. Bukankah kita ingin mengulang masa kejayaan kita dulu yang mengekspor guru ke negara tetangga? Bukan lagi tenaga kerja seperti saat ini?

Maka pelan-pelan mesti kita tata, untuk membangun semangat daya juang. Mulai dari yang terkecil dulu, dari lingkungan tempat kita berpijak. Ingat bahwa seribu langkah tetap dimulai dari satu langkah kecil pertama.

Pelan-pelan pula hadirnya lembaga pendidikan di lingkungan desa kami mulai menampakkan perubahan pola perilaku dan bangkitnya gairah kehidupan sosial ekonomi mereka. Jika sebelumnya mereka menganggap bahwa ungkapan cita-cita adalah sebuah kemewahan, minimal saat ini anak didik kami lebih percaya diri untuk meneriakkan cita-cita mereka. Urusan tercapai atau tidak adalah urusan nasib mereka nantinya. Setidaknya dengan bercita-cita, ada sesuatu yang harus dikejar dalam hidupnya.

Contoh lainnya mengenai pernikahan usia dini. Disamping ada regulasi pemerintah yang membatasi usia minimal perkawinan, namun perubahan pola pikir ikut mendorong perubahan perilaku bahwa anak-anak mesti menikmati masa mudanya, untuk bermain dan tentu saja belajar.

Contoh-contoh di atas, tentu menerbitkan kebahagiaan tersendiri bagi kami, para guru. Kalau mau egois, tentu pencapaian ini adalah sumbangsih terbesar kami dalam mengubah pola pikir masyarakat sekitar. Walau ada istilah No free Lunch dan kami tetap mendapatkan upah juga dalam bekerja, sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Para guru dapat upah, masyarakat sekitar tercerahkan.

Banyak hal-hal menggembirakan yang hadir seiring semakin ramainya ruang kelas. Meski masih menyisakan pekerjaan besar lanjutan yang mesti segera dituntasi. Tentang kejelasan dan kemudahan akses pendidikan pasca sekolah SMP, atau tentang peluang lapangan pekerjaan dan sengitnya persaingan dunia kerja. Tentu kerumitan lanjutan ini layak kita pikirkan bersama, oleh orang-orang berikutnya, yang peduli pendidikan, yang peduli akan bangkitnya bangsa ini.

Ya sudahlah, setidaknya masa belajar 3 tahun selepas Sekolah Dasar sudah lumayan cukup bagi kami. Terlebih, akses belajar tanpa batas terbuka lebar-lebar sekarang ini, dunia tanpa batas sudah ada di genggaman masing-masing. Yang penting mau bergerak untuk terus belajar, dan mau mengubah pola pikir tentang belajar. Dan bersiaplah untuk hidup bahagia.

*******

Rembang, 7 Juni 2022

*) Esais dan Pendidik, tinggal di Rembang

Spread the love

Yudhi Kurnia

redaksi@satuguru.id

Related post

3 Comments

  • Terima kasih, artikel yang inspiratif

  • Artikel yang menarik, menyuarakan suara hati.

  • Tulisan yang atraktif, dari hari nih kayaknya.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *