TAK SEKADAR BICARA

*Ir. Neni Utami Adiningsih, MT

            Sungguh ironi nasib almarhumah Inaq Saini (50), warga Dusun Tanak Putek, Desa Giri Sasak, Kecamatan Kuripan, Lombok Barat.  Bagaimana tidak, di akhir usianya, hampir saja tidak mendapat haknya secara sempurna.  Almarhumah nyaris tidak bisa dimandikan sebagaimana berita yang dilansir di https://www.detik.com, Kamis, 1 September 2022.  Penyebabnya, tidak ada air.  Beruntung ada pihak kepolisian yang sedang melakukan pendistribusian air bersih sehingga warga bisa minta air, bergotong royong mengangkatnya sehingga proses pemandian jenazah dapat berlangsung walau sempat tertunda.

            Bagaimana dengan kita yang masih hidup?  Apakah terbebas dari masalah air?  Tidak.  Justru hidup kita sarat akan carut marut problem air.  Di musim kemarau, selalu bermunculan berita daerah yang kekeringan.  Bahkan demi mendapatkan air, semua anggota keluarga dikerahkan. tak jarang hingga bertaruh nyawa, berebut air antar warga.  Di bawah terik mentari, dengan menenteng jerigen,  harus berjalan hingga berkilo-kilometer mencari sumber air/ sumur/ kolam.  

Bila tak ingin melakukan ‘kerja’ tersebut, mau tidak mau harus membeli air.  Tentu saja memerlukan uang.  Apapun dijual, demi bisa membeli air.  Misalnya saja yang pernah dilakukan oleh warga Gunungkidul ketika daerah mereka mengalami kekeringan.  Mengutip pemberitaan di detikNews, 20 Juli 2017, warga menjual ternak demi bisa membeli air.  Ternak, laiknya tabungan yang ‘diambil’ ketika musim kemarau. 

Memang ada bantuan air dari Pemerintah, dengan menggunakan tangka air, namun itu tidak cukup, karena harus berbagi dengan semua warga.  Tiap keluarga hanya mendapat jatah 2 jeriken.  Bagi warga, untuk memenuhi kebutuhan, tidak ada pilihan, mereka harus membeli air bersih dari tangki air milik swasta.  Di tahun 2017 saja, satu mobil tangki isi air 5 ribu liter dihargai Rp 180 ribu, bisa dibayangkan, berapa harganya saat ini, bisa dua – tiga kali lipat bahkan lebih.  Dari segi jumlah, bisa jadi tidak cukup membeli satu tangki. 

            Apalagi, informasi mutakhir yang disampaikan oleh Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, menyatakan bila diprediksi musim kemarau di tahun 2023 akan lebih kering jika dibandingkan dengan periode tiga tahun terakhir (2020-2022).  Pernyataan yang dilansir oleh cnbcindonesia.com, 17/2/2023, tentu harus memunculkan kewaspadaan bagi kita. 

            Ironinya, ketika musim penghujan pun, kita masih juga bermasalah dengan air, tentu saja dengan bentuk yang berbeda.  Kelebihan air alias kebanjiran.

Kelebihan

            Musim penghujan, yang tentu disambut dengan suka cita oleh para petani, juga diiringi dengan perasaan kuatir oleh beberpa waga yang tinggal di daerah ‘langganan’ banjir.  Tak hanya meluap yang menyebabkan areak terendam, derasnya arus sungai juga menggerus badan sungi sehingga bebrapa rumah hanyut, seperti yang dialami rumah di Jalan Tanjung Lengkong, RT 9 RW 6, Kelurahan Bidara Cina, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur pada 1 Maret 2023 lalu.  Rumah tersebut tergerus aliran Sungai Ciliwung yang meluap.   DI Jawa Timur, hal ini juga terjadi. Sebuah rumah berlantai 2 di bantaran Sungai Kalilo Banyuwangi roboh dan hanyut terbawa aliran sungai, pada Minggu (13/2/2023).  Kondisi serupa juga dialami sebuah rumah di Kelurahan Pasirkaliki, Cimahi Utara, Jawa Barat, apada Jumat (27/1/2023). 

Bahkan, saat ini, ketika musim penghujan hampir selesai, masih ada saja daerah yang kebanjiran.  Banjir bandang yang terjadi di Lahat Sumatera Selatan pada Kamis, 9 Maret 2023 lalu (detikSumut) disebabkan oleh meluapnya air di Sungai Lematang.  Dalam banyak bencana banjir, tak hanya kerugian harta benda, kerap juga meminta korban jiwa.  DI hari yang sama juga terjadi bencana banjir di Tulangbawang Barat, Lampung (Lampungpro.co).

            Longsor, juga menjadi ancaman yang kerap terjadi ketika musim penghujan tiba.  Inilah Indonesia, berlimpah sumber daya air, namun justru mareguk masalah karena air.  Bicara Indonesia, tak lepas dari bicara air. 

Solusi

            Sudah sangat banyak bukti kegagalan kita dalam mengelola sumber daya air di negeri ini, haruskah dibiarkan?  Mestinya tidak.  Mari bertindak.  Tidak cukup dengan bicara semata.  Bila bicara Indonesia, artinya bicara apa yang bisa kita lakukan untuk Indonesia.   Terkait keberlangsungan air, brikut ini beberapa diantaranya.

Pertama, memanen air hujan.  Sangat mudah, yaitu menampung dan menyimpan air hujan untuk keperluan sehari-hari.  Dapat ditampung dalam wadah besar, dalam bangunan penampung air atau menyalurkannya ke tanah, agar disimpan, ditampung di dalam tanah.  Caranya dengan membuat lubang lubang biopori, sehingga air hujan tidak mengalir, namun masuk dan meresap ke dalam lubang tersebut.

Kedua, menanam pohon.  Tindakan ini juga sangat mudah.  Jangan tutup semua halaman dengan semen/ beton. Sisakan sedikit ruang yang terbuka, ditanami dengan tanaman kayu sehingga saat hujan akar-akarnya dapat menahan semua air yang diarahkan untuk masuk dan meresap ke areal terbuka tersebut, tidak mengalir ke selokan.  Setiap orang juga bisa menanam di areal terbuka yang kritis.  Anggap saja sebagai sedekah, amal jairiyah.

Ketiga, mengelola sampah.  Tindakan ini juga mudah.  Kurangi membuat sampah.  Kalaupun menghasilkan sampah, upayakan memilahnya.  Sampah organik diolah menjadi pupuk, baik yang berupa padat maupun cair.  Sedangkan sampah non organiknya dapat diolah untuk kreativitas atau disedekahkan ke bank sampah serta pemulung.

            Dengan tiga solusi di atas, bila dilakukan secara bersungguh-sungguh, bersama-sama, oleh semua pihak, perlahan namun pasti akan memperbaiki kualitas sumber daya air di negeri tercinta ini.

            Bagi Indonesia tercinta, mari segera bertindak, tak sekedar bicara.

Spread the love

Related post

1 Comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *