Eksistensi AI dalam Dunia Pendidikan: Memanusiakan Robot atau Merobotkan Manusia?

SATUGURU.ID—Eksistensi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) telah menorehkan warna baru dalam dunia pendidikan. Kini, mari ucapkan selamat tinggal pada kesulitan yang dihadapi saat berkutat dengan sulitnya tugas-tugas karena AI yang siap sedia membantu secara instan.

Kecanggihan AI dianggap telah membuka jalan pintas yang efisien. Misalnya, ChatGPT, Copilot, dan Gemini yang bisa memberikan jawaban dan informasi dengan cepat sesuai perintah atau prompt yang diberikan.

Jika dulu kita mengenal ungkapan “tanya saja pada Mbah Google!”, kini AI lebih canggih dari itu. Tak lagi perlu scrolling website satu per satu, kita cukup menunggu dalam hitungan detik dan jawaban yang diberikannya akan bersifat personal, dan spesifik.

Revolusi Pendidikan yang Kekinian

Dunia pendidikan menjadi salah satu lanskap yang antusias menyambut perkembangan AI. Mulai dari kalangan siswa, guru, hingga dosen dan mahasiswa pun mulai mengeksplorasi kecanggihan AI yang disebut-sebut mampu mempermudah kegiatan pembelajaran mereka.

Fenomena meningkatnya penggunaan AI untuk tujuan akademik sebenarnya bukan hal yang muncul secara tiba-tiba. Jika menilik praktik pendidikan yang terjadi saat ini, mayoritas masih berorientasi pada hasil akhir.

Singkatnya, baik siswa sekolah maupun mahasiswa di perguruan tinggi masih dituntut untuk mendapat nilai sempurna. Hal ini akhirnya melahirkan bibit-bibit peserta didik yang merasa bahwa mendapat nilai sempurna adalah tujuan tunggal yang harus diraihnya.

Pikiran Kritis dalam Belenggu AI yang Praktis

Nilai yang sempurna memang bisa memberikan rasa puas. Namun, berapa banyak dari kita yang masih menyadari bahwa esensi pembelajaran semestinya berorientasi pada proses, bukan melulu soal hasil yang sempurna?

Ketakutan untuk salah dan ketakutan untuk mendapat nilai yang rendah akhirnya membuat para siswa—dan mahasiswa—mengubah perspektif mereka dalam belajar. Dari “yang penting paham” menjadi “yang penting benar”.

Teknologi AI memang hadir untuk membantu kegiatan manusia. Jawaban akurat yang lahir dari pemikiran AI dapat memangkas banyak waktu yang semula digunakan untuk mencari jawaban secara manual.

Di balik kecanggihan yang membuat semuanya serba praktis, kehadiran AI pun membawa ancaman perihal daya pikir kritis.

Lalu, ingatkah kita bahwa bagaimana pun, AI tetap lah robot

Merobotkan Manusia atau Memanusiakan Robot?

Menggunakan AI untuk tujuan pendidikan sebenarnya sah-sah saja, selama digunakan dalam dosis yang wajar dan bertanggung jawab.

Meski jawabannya bisa spesifik, personal, dan gaya bahasa yang tidak kaku, AI tetap saja bekerja berdasarkan basis data yang diprogramkan padanya. Sama sekali tidak menuntut pengguna untuk berpikir kritis dari jawaban yang diberikan.

Bayangkanlah sebuah pesawat. Kita adalah pilotnya, dan AI adalah kopilotnya.

Sebagai kopilot, AI tentu akan membantu selama ‘penerbangan’, tetapi pilotnya tetaplah kita sebagai manusia. Artinya, kita-lah yang memegang kendali, bukan AI yang mengendalikan kita.

Salah satu langkah awal untuk memanusiakan robot AI adalah dengan tidak menelan bulat-bulat informasi yang diberikan AI.

Tinggalkan dulu gairah copy-paste, fokuslah membaca informasi hasil pikiran AI, dan berikan sentuhan unik yang khas berasal dari manusia.

Sekalipun kita meminta AI untuk membuatkan tulisan dengan gaya bahasa yang tidak baku, jawabannya takkan pernah lebih kreatif dari hasil pemikiran manusia yang sebenarnya.

Anda adalah pilotnya, kita adalah pilotnya.

Kemudian, marilah renungkan pertanyaan berikut: “Apakah aku mau dirobotkan oleh AI? Atau aku-lah yang akan memanusiakan robot AI?” ***

(Sarah Annisa Fadhila).

Spread the love

Yudhi Kurnia

redaksi@satuguru.id

Related post

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *