Langkah Berani Swedia Kembali ke Model Pembelajaran Tradisional
MULAI 2024, Swedia mewajibkan anak di bawah usia 6 tahun untuk kembali memakai buku cetak dan mengerjakan tugas dengan tulis tangan. Tentu keputusan ini mengundang pro dan kontra. Di tengah masifnya perkembangan teknologi, negara itu justru terkesan menolak gadget sebagai simbol kemajuan teknologi.
Mengutip Asociated Press, 8 September 2023, keputusan itu diambil mempertimbangkan pertanyaan dan saran dari para politikus dan ahli pendidikan yang menilai negaranya telah terlalu berlebihan menggunakan teknologi atau digitalisasi dalam pendidikan. Bahkan ahli dari Institut Koralinka Swedia mengatakan, ada bukti ilmiah yang jelas bahwa alat-alat digital justru merugikan, bukannya meningkatkan pembelajaran siswa.
Para ahli di institut itu percaya bahwa fokus pembelajaran harus kembali pada perolehan pengetahuan melalui buku teks cetak dan keahlian guru, daripada memperoleh pengetahuan terutama dari sumber digital yang tersedia secara bebas dan belum diperiksa keakuratannya. Para siswa di Swedia bukanlah siswa yang tidak berprestasi di tingkat dunia. Skor mereka dalam membaca di atas rata-rata. Tahun ini pemerintah Swedia mengganggarkan 60 milyar Euro untuk membeli buku cetak untuk sekolah di seluruh Swedia. Penggunaan buku cetak di negara maju sebenarnya bukan hanya terjadi di Swedia.
Jepang sudah lama tidak tertarik terhadap buku digital. Buku cetak tetap menjadi favorit orang-orang di Jepang. Membaca buku yang ditulis oleh ahli secara tuntas memang terasa lebih mengasah ketajaman pikiran ketimbang membaca bacaaan digital di internet yang tidak utuh dan sumbernya terkadang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Kemampuan berpikir kritis juga kurang terasah karena ketidaktuntasan dalam meyelesaikan bacaan.
Di Indonesia ada kasus yang cukup memprihatinkan berkenaan dengan kemampuan membaca. Ada 29 siswa SMP di Pangandaran, Jawa Barat, yang tidak bisa membaca. Mereka tersebar merata di semua jenjang kelas, yaitu kelas 7 sampai 9. Tentu hal ini memerlukan penelitian khusus, mengapa mereka yang sudah duduk di bangku sekolah menengah tidak bisa membaca? Bagaimana dengan sekolah-sekolah lain di Indonesia, apakah ada kasus serupa? Apakah penggunaan gadget yang berlebihan menyebabkan kemampuan siswa menurun dratis dalam kemampuan dasar tersebut? Kondisinya memang dilema.
Sekolah dilarang membuat siswa tinggal kelas. Namun menaikan kelas siswa yang tidak bisa membaca juga tidak bertanggung jawab. Apa yang bisa dilakukan oleh siswa yang tidak bisa membaca? Temuan ini harusnya mendapat perhatian serius dari pemerintah, khususnya Kemdikbud Ristek untuk segera membuat terobosan agar siswa yang tidak bisa membaca dan sudah duduk di bangku sekolah menengah dibuatkan kelas khusus untuk belajar membaca dan menulis. Peringkat membaca siswa Indonesia di dunia memang belum bisa dikatakan baik. Sudah delapan kali Indonesia mengikuti tes PISA sejak 2000, ketika tes itu dilaksanakan pertama kali. Rangking membaca siswa Indonesia duduk di peringkat 10 terbawah. Tentu saja, banyak faktor yang menentukan.
Namun, alangkah baiknya seperti pemerintah Swedia yang mengambil langkah berani kembali ke model tradisional. Menggiatkan kembali pemakaian buku cetak dan tulis tangan di tingkat sekolah dasar perlu dipertimbangkan sebagai solusi untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa sejak pendidikan dasar. Cara-cara mengajar membaca dengan model tradisional perlu dilirik kembali.
Dulu zaman kurikulum CBSA, tidak ada siswa SD kelas 3 yang belum bisa membaca. Aib, pada zaman itu. Bahkan guru-guru juga mengharuskan murid menghafalkan perkalian hingga seratus. Sementara saat ini, banyak siswa tidak tau cara menjumlah dan mengali angka puluhan jika tidak menggunakan kalkulator dan gadget. Daya nalar dan berpikir kritis makin berkurang karena semua mengandalkan teknologi dan kecerdasan buatan. Manusia menjadi malas untuk belajar. Langkah berani dan melawan arus pemerintah Swedia patut diapresiasi. Mereka memilih jalan yang tidak biasa menyelamatkan generasi muda.
Pemerintah Swedia meyakini bahwa kembali ke model pelajaran tradisional bukan hal tabu dan memalukan ketimbang mengambil risiko generasi muda mereka semakin berkurang daya nalar dan kritisnya akibat pendangkalan karena ketergantungan terhadap teknologi.