Buku, Debu dan Literasi

 Buku, Debu dan Literasi

*Muhammad Nurdin, S.Pd

Bung Hatta pernah berkata, “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku. Dengan buku aku bisa bebas”.  

Sang proklamator ini sangat mencintai buku, Hatta memperlakukan buku sebagai jendela dan satu celah untuk bergerak bebas mempelajari apa pun di dunia ini. Hatta adalah  pembaca yang tekun dan seorang “kutu buku”. Bahkan, seringkali ia dianggap sebagai teks book thinker.  Bahkan mas kawinnya pun dengan sebuah buku “ Alam Pikiran Yunani”, yang ia tulis sendiri. 

            Kisah sang proklamator tersebut penulis hadirkan sebagai pengantar tulisan ini.  Satu kisah tentang sebuah titik balik sosok Hatta yang sangat mencintai buku, begitulah kiranya beliau dengan kecintaannya pada literasi. Sejarah telah membuktikan betapa para tokoh bangsa adalah pembaca dan penulis yang baik. Bahkan,  mereka punya perpustakaan pribadi sebagai tempat mengasah pengetahuannya.

             Sebagai mana kalimat yang pernah diungkapkan oleh duta baca nasional Gol A Gong, “ Membaca itu sehat, dan menulis itu hebat.” 

Gola Gong. berkeliling Indonesia untuk memotivasi dan menggaungkan kepada generasi muda untuk membaca dan menulis. Namun, pengamatan penulis khususnya pada satuan pendidikan sungguh menghawatirkan, perpustakaan pada setiap saat terasa sepi dan buku-buku pun hanya terpampang di rak-rak, kalau pun penghuninya hanya mereka yang bertugas sebagai pustakawan saja.

               Mengutip dari dataindonesia.id, berdasarkan data Perpustakaan Nasional (Perpusnas), tingkat kegemaran membaca (TGM) masyarakat Indonesia sebesar 63,9 poin pada 2022. Skor tersebut meningkat 7,4% dibandingkan setahun sebelumnya yang sebesar 59,52 poin. Namun,  peningkatan dalam angka  bukan sebuah jaminan utama dalam upaya membumikan literasi dan kecintaan masyarakat kita pada buku.

               Penulis pernah melakukan upaya dengan memilih salah satu siswa sebagai duta baca kelas. Sayangnya hal tersebut tidak berlangsung lama. Banyak faktor yang menjadi hambatannya. Salah satu adalah terkendala infrastruktur yang kurang memadai dan ruang baca yang menyatu dengan kelas. Meski demikian hal tersebut tidak menjadikan penulis dan teman-teman guru lelah atau bosan untuk terus mengajak mereka mengenal dan mencintai buku. Salah satu  cara untuk mendekatkan mereka kepada buku adalah dengan bersama-sama membersihkan debu yang menempel pada buku-buku yang sudah lama tersimpan. Harapannya adalah kecintaan terhadap buku tidak menjadi luntur. 

               Inovasi  lainnya adalah dengan memanfaatkan pojok-pojok ruangan kelas untuk dijadikan sebagai ruang pojok baca. Seiring berjalan waktu belum menunjukkan peningkatan yang signifikan terhadap minat baca. Ini meunculkan pertanyaan yang menggelayut di benak penulis dan menggoda  untuk segera diatasi. 

Selain permasalahan internal,  ada faktor eksternal yang mempengaruhi pola pikir yakni orang tua siswa itu sendiri yang tingkat pendidikannya sangat rendah. Kendati,  penulis belum melakukan riset, namun berdasarkan data sekolah yang ada, rata-rata mereka hanya tamat SD bahkan ada yang tidak pernah mengeyam pendidikan.

              Kondisi lingkungan siswa pun menjadi salah satu penghambat karena sebagai wilayah pesisir mereka hanya sibuk mencari nafkah sehari-hari, sehingga hal-hal yang terkait dengan buku dan literasi bukanlah sesuatu yang penting. Kondisi ini pun berbanding lurus dengan sebagian teman guru yang semangat membaca mereka sangat kurang.

               Maka wajarlah jika debu menjadi penghias buku, yang tentunya akan berdampak pada literasi mereka. Sedih rasanya melihat buku-buku di rak-rak perpustakaan yang setiap saat hanya didekap sunyi tak pernah tersentuh, mengutip kalimat Ray Bradbury dalam Fahrenheit 451, novel distopia tentang masyarakat yang doyan melarang dan membakar buku. “Buku hanyalah satu jenis wadah tempat kita menyimpan banyak hal yang kita khawatir akan kita lupakan. Sama sekali tidak ada yang ajaib di dalamnya. Keajaibannya hanya ada dalam apa yang dikatakan dalam buku-buku itu, bagaimana ia menjahit potongan-potongan alam semesta ini menjadi satu sulaman bagi kita.”

Spread the love

Related post

1 Comment

  • Subhanallah luar biasa artikelnya. Apa yang dikatakan oleh penulis di sini benar adanya. Kita telah banyak melihat kenyataan yang ada di lapangan bahwa anak didik kita saat ini tidak lagi mencintai buku. Minat baca mereka sangatlah kurang. Semoga kita para guru secara berangsur-angsur akan bisa mengembalikan minat baca siswa kita sehingga buku tidak lagi penuh debu tapi usangnya karena banyak terbaca.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *