Indonesia Di Jantung Keragaman Hayati Dunia

 Indonesia Di Jantung Keragaman Hayati Dunia

Saat matahari terbit di atas hutan hujan Papua, kabut masih menggantung di antara pucuk-pucuk pohon megah. Di kejauhan, terdengar lengkingan burung cenderawasih jantan yang tengah menari demi menarik pasangan. Ini adalah salah satu dari ribuan potret kehidupan liar yang menjadikan Indonesia sebagai pusat keanekaragaman hayati dunia—sebuah gelar yang agung namun rentan.

Tanggal 22 Mei, dunia memperingati Hari Keragaman Hayati Internasional, sebuah seruan global untuk merawat keberagaman kehidupan di bumi. Bagi Indonesia, ini bukan hanya soal kebanggaan atas kekayaan spesies, tetapi juga soal tanggung jawab yang sangat besar.

Surga Hayati yang Rawan Hilang

Dengan luas daratan dan lautan yang membentang dari Sabang hingga Merauke, Indonesia dikenal sebagai negara megabiodiversitas—salah satu dari hanya 17 di dunia. Tanah air ini menjadi rumah bagi:

  • Lebih dari 700 spesies mamalia, termasuk primata endemik seperti orangutan Kalimantan dan tarsius Sulawesi,
  • 2.000 lebih jenis burung, menjadikan Indonesia negara dengan jumlah spesies burung tertinggi di Asia,
  • Dan lebih dari 500 spesies terumbu karang, menjadikan lautnya sebagai bagian penting dari segitiga terumbu karang dunia.

Namun kekayaan ini tidak abadi. Setiap tahun, Indonesia kehilangan sekitar 1,1 juta hektare hutan, sebagian besar akibat konversi lahan dan pembalakan. Banyak spesies kehilangan habitatnya lebih cepat dari kemampuan mereka beradaptasi.

Tantangan Konservasi: Kompleks dan Terkadang Kontradiktif

Upaya konservasi di Indonesia tidak semudah menandai wilayah sebagai taman nasional. Konflik kepentingan antara ekonomi dan lingkungan sering kali menjebak kebijakan dalam dilema. Di satu sisi, pembangunan dan pertumbuhan ekonomi menjadi tuntutan, sementara di sisi lain, keutuhan ekosistem terancam terpinggirkan.

Namun harapan belum padam. Di Kalimantan, program restorasi hutan tropis basah mulai membuahkan hasil. Di Nusa Tenggara, komunitas lokal bekerja sama dalam pelestarian komodo dan padang savana. Teknologi digital pun mulai digunakan untuk pemantauan satwa dan hutan secara real-time.

Generasi Baru Penjaga Alam

Salah satu kekuatan terbesar Indonesia saat ini datang dari generasi mudanya. Aktivis lingkungan, fotografer alam liar, peneliti muda, dan pembuat konten edukatif kini memainkan peran penting dalam membangun kesadaran publik.

Melalui media sosial, cerita tentang harimau Sumatra yang kehilangan habitatnya, atau tentang lumba-lumba yang terjerat jaring nelayan, menyentuh hati ribuan orang. Narasi-narasi personal tentang alam kini menjadi senjata baru untuk konservasi.

Menghidupkan Kembali Konektivitas Ekologis

Para ilmuwan mengingatkan bahwa tantangan ke depan bukan hanya menyelamatkan spesies yang ikonik, tapi juga memulihkan konektivitas ekologis. Satwa besar membutuhkan lanskap luas dan berkelanjutan. Pola pembangunan yang bijak dan pengakuan terhadap hak masyarakat adat menjadi kunci.

Indonesia memiliki segalanya untuk menjadi pemimpin global dalam konservasi hayati. Tapi itu hanya akan terwujud jika seluruh elemen bangsa—dari pemerintah, komunitas adat, pelaku usaha, hingga masyarakat kota—melihat alam bukan sebagai sumber daya semata, tapi sebagai bagian dari jati diri.

Sebuah Pertanyaan untuk Kita Semua

Hari Keragaman Hayati Dunia mengingatkan kita bahwa di balik statistik dan spesies yang eksotis, ada satu pertanyaan mendasar: Maukah kita menjadi generasi yang hanya mengenang kekayaan hayati Indonesia dari buku sejarah? Atau menjadi generasi yang menjaganya tetap hidup untuk masa depan? (Red)

Spread the love

Related post