Amarah dan Hikmah ; Mendidik Disiplin Siswa dengan Hati

Oleh: Yudhi Kurnia
(Guru & Koordinator STEM, SMP Muhammadiyah 8 Bandung)
Menertibkan siswa adalah salah satu tantangan paling pelik dalam dunia pendidikan. Tidak sedikit pendidik yang, karena kelelahan atau frustrasi, memilih jalan pintas: marah, membentak, bahkan menghukum secara fisik atau verbal. Sayangnya, pendekatan semacam ini masih menjadi praktik umum di berbagai sekolah. Padahal, pendidikan bukan sekadar soal menertibkan perilaku, melainkan soal membentuk karakter.
Amarah, memang, adalah reaksi manusiawi. Dalam tekanan pekerjaan dan tanggung jawab yang besar, guru bisa kehilangan kendali emosi. Namun, seperti diungkapkan Daniel Goleman dalam Emotional Intelligence (1995), emosi yang tidak dikelola dengan baik akan mengganggu proses belajar-mengajar dan merusak relasi antara pendidik dan peserta didik. Jika siswa terbiasa melihat kemarahan sebagai respon utama guru, mereka akan lebih banyak menghindari guru daripada memahami nilai-nilai kedisiplinan yang ingin ditanamkan.
Sebaliknya, pendidikan yang berangkat dari nilai-nilai hikmah—ketenangan, keteladanan, dan kebijaksanaan—akan membangun ruang kelas yang lebih sehat secara emosional dan psikologis. Ki Hajar Dewantara dalam falsafahnya menekankan pentingnya guru menjadi “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”. Guru adalah panutan, pembimbing, dan pendukung. Maka dalam menertibkan siswa, pendekatan yang empatik dan edukatif menjadi lebih relevan daripada sekadar penegakan disiplin dengan nada tinggi.
Pengalaman beberapa negara menunjukkan bahwa pendekatan humanis dalam mendisiplinkan siswa jauh lebih efektif. Di Kanada dan Selandia Baru, misalnya, pendekatan restorative justice diterapkan dalam konteks pendidikan. Pendekatan ini mendorong siswa yang melakukan pelanggaran untuk memahami dampak perbuatannya terhadap orang lain dan dirinya sendiri, lalu bersama-sama mencari jalan pemulihan. Howard Zehr (2002) menjelaskan bahwa pendekatan ini bukan berarti lunak, tetapi berfokus pada pertanggungjawaban dan perbaikan hubungan sosial. Hasilnya, angka pelanggaran berulang cenderung menurun, dan siswa merasa lebih dihargai dalam proses pembinaan.
Di Indonesia, nilai-nilai tersebut mulai terakomodasi dalam Kurikulum Merdeka. Dalam Panduan Pembelajaran dan Asesmen yang dirilis Kemendikbudristek (2021), pembelajaran dituntut untuk memanusiakan peserta didik, membangun relasi guru-siswa yang sehat, dan mengembangkan kompetensi sosial-emosional siswa. Dalam konteks ini, penegakan disiplin bukan lagi soal memberi hukuman, tetapi soal menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab sosial.
Sekolah sebagai institusi perlu merancang sistem kedisiplinan yang partisipatif. Tata tertib sebaiknya disusun bersama siswa agar muncul rasa kepemilikan. Saat siswa ikut merumuskan aturan, mereka tidak merasa diatur, tetapi belajar mengatur dirinya sendiri. Kedisiplinan bukan lagi sesuatu yang dipaksakan dari luar, melainkan tumbuh dari dalam. Selain itu, kegiatan ekstrakurikuler, proyek sosial, dan pembelajaran kontekstual dapat menjadi medium bagi siswa untuk belajar nilai tanggung jawab, kolaborasi, dan empati.
Namun pendekatan hikmah tidak akan berjalan efektif tanpa sinergi dengan orang tua. Orang tua adalah mitra utama guru. Ketika sikap mendidik di rumah bertolak belakang dengan prinsip-prinsip pendidikan di sekolah, siswa akan mengalami kebingungan nilai. Sebaliknya, jika nilai-nilai kedisiplinan dibangun secara konsisten di rumah dan sekolah, maka siswa akan belajar integritas sejak dini. Oleh karena itu, penting bagi sekolah untuk secara rutin melibatkan orang tua dalam dialog, seminar, atau forum komunikasi yang menguatkan sinergi pengasuhan.
Penting juga untuk dicatat, bahwa guru memerlukan pelatihan dan dukungan dalam mengelola kelas dan emosi. Banyak guru sebenarnya ingin menegakkan kedisiplinan dengan cara yang bijak, namun belum memiliki cukup keterampilan dalam manajemen kelas berbasis empati. Oleh karena itu, pemerintah daerah dan pusat melalui dinas pendidikan perlu memfasilitasi pelatihan tentang pendekatan pembelajaran sosial-emosional, manajemen perilaku siswa, dan restoratif.
Pada akhirnya, menertibkan siswa adalah proses yang panjang. Amarah bisa menjadi alarm, tapi bukan alat utama. Hikmah adalah jalan yang lebih tenang, namun hasilnya lebih dalam dan abadi. Disiplin yang bertumbuh dari pemahaman akan jauh lebih kuat daripada disiplin yang dibentuk oleh rasa takut. Di tengah dunia yang berubah cepat, sekolah harus menjadi ruang pembelajaran yang tidak hanya mengajarkan ilmu, tapi juga menjadi tempat siswa belajar menjadi manusia(yk).
1 Comment
betul sekali pak yudhi