Kebangkitan Nasional dan Perubahan Kurikulum Indonesia

*Yudhi Kurnia
Tanggal 20 Mei setiap tahun kita peringati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Hari tersebut bukan sekadar simbol sejarah, melainkan penanda bahwa bangsa Indonesia pernah mengalami sebuah titik balik: dari terpecah menjadi bersatu, dari pasif menjadi sadar, dari dijajah menjadi bangkit. Tahun 1908, dengan berdirinya Budi Utomo, menjadi saksi bahwa pendidikan—sebagai gerakan—memiliki daya ledak yang sangat besar dalam membangun kesadaran kebangsaan.
Lebih dari seabad kemudian, semangat kebangkitan itu mestinya masih menyala, terutama dalam dunia pendidikan. Namun ironisnya, justru di sektor ini kita melihat dinamika yang terus bergolak, terutama dalam hal yang sangat mendasar: kurikulum. Salah satu aspek yang paling dinamis, dan sekaligus paling kontroversial, adalah perubahan kurikulum. Sering terdengar keluhan: “Ganti menteri, ganti kurikulum.” Pernyataan itu tidak sekadar satir, tetapi cermin dari keresahan kolektif akan minimnya kesinambungan dalam kebijakan pendidikan. Kurikulum, yang seharusnya menjadi landasan kokoh bagi masa depan bangsa, justru kerap berubah arah sebelum sempat mengakar kuat di satu generasi.
Jika kita tengok sejarah pendidikan Indonesia, pergantian kurikulum tampak seperti siklus yang berulang. Sejak Kurikulum 1975, 1984, 1994, KBK 2004, KTSP 2006, K-13, hingga Kurikulum Merdeka hari ini, perubahan demi perubahan dilakukan dengan semangat perbaikan. Setiap kurikulum lahir dengan niat baik: memperbaiki capaian belajar, menyesuaikan kebutuhan zaman, dan membentuk karakter para pelajar yang ideal. Namun sering kali, pelaksanaannya tidak sejalan dengan harapannya. Hambatan di lapangan tetap berulang: minimnya pelatihan guru, keterbatasan infrastruktur, serta lemahnya sistem evaluasi, pengawasan dan refleksi.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa perubahan kurikulum sering kali berjalan secara top-down, terburu-buru, dan kurang melibatkan suara guru sebagai pelaksana utama. Alih-alih menjadi semangat pembaruan, kurikulum justru terasa sebagai beban administratif. Hal ini menjauhkan kita dari hakikat pendidikan sebagai sarana membebaskan dan mencerahkan, seperti yang dicita-citakan oleh para pelopor kebangkitan bangsa.
Padahal, jika kita benar-benar menyerap makna Hari Kebangkitan Nasional, kita akan melihat bahwa pendidikan tidak pernah berdiri sendiri dari konteks perjuangan. Ia adalah bagian dari upaya kolektif untuk bangkit dari keterbelakangan, membangun kesadaran, dan menyusun peradaban. Budi Utomo, yang lahir dari semangat anak-anak muda terpelajar, adalah bukti bahwa pendidikan bisa menjadi motor transformasi sosial.
Dari semangat itulah, seharusnya kurikulum tidak dimaknai sebagai milik kelompok teknokrat atau pejabat tertentu. Kurikulum adalah milik bangsa, dan karena itu penyusunannya harus melibatkan banyak pihak, berbasis riset jangka panjang, serta dirancang dengan keberlanjutan sebagai prinsip utama. Kebijakan pendidikan semestinya tidak berumur lima tahun; ia harus melampaui pergantian jabatan.
Dalam terang itu, Kurikulum Merdeka yang kini sedang diterapkan sebenarnya menyimpan peluang. Jika benar dimaknai sebagai ruang kemerdekaan belajar, ia bisa menjadi jembatan antara semangat pembaruan dengan kebutuhan nyata di lapangan. Namun, “kemerdekaan” tidak hadir secara otomatis. Ia harus diperjuangkan dengan sinergi antara guru, siswa, orang tua, dan pembuat kebijakan. Tanpa keterlibatan semua pihak, Kurikulum Merdeka pun berisiko menjadi slogan kosong.
Melihat kembali sejarah Budi Utomo, kita diingatkan bahwa pendidikan sejatinya adalah gerakan, bukan sekadar sistem. Maka pendidikan Indonesia hari ini pun perlu kembali ke ruhnya: sebagai ikhtiar kolektif membangun masa depan bersama. Bukan sebagai proyek semusim, tetapi sebagai bagian dari cita-cita kebangsaan yang luhur.
Untuk itu, kita membutuhkan kurikulum yang lentur namun berpanduan, kontekstual namun berakar, progresif namun tetap menjunjung nilai-nilai keindonesiaan. Kita tidak membutuhkan perubahan demi perubahan. Kita membutuhkan kurikulum yang hidup dalam praktik, tumbuh melalui evaluasi yang jujur, dan dirawat dengan penuh tanggung jawab.
Sebagai guru, saya percaya bahwa pendidikan bukan sekadar ruang kelas, buku teks, atau modul daring. Pendidikan adalah jantung dari kebangkitan bangsa. Dan kurikulum adalah denyutnya.
Maka, mari kita jadikan momen Hari Kebangkitan Nasional sebagai pengingat: bahwa membangun kurikulum yang kokoh dan berkelanjutan adalah bagian dari cita-cita kebangsaan itu sendiri. Kita tidak butuh kurikulum yang berganti-ganti demi citra, tetapi kurikulum yang berakar kuat dalam praktik, berpihak pada masa depan, dan tumbuh bersama mimpi-mimpi anak-anak Indonesia.***
*Guru SMP Muhammadiyah 8 Bandung