LITERASI BACA-TULIS ABAD KE-21
Oleh : Drajat
Sembilan tahun yang lalu penulis terhenyak oleh anak semata wayangku. Betapa tidak, dia protes tidak mau sekolah, ngapain sekolah kalau membuat kita bodoh! Selidik punya selidik, dia beralasan. Kenapa sih kita harus sekolah jika membuat otak tidak berubah, stagnan bahkan membuat bodoh dan tidak berkembang! Di lain pihak guru tidak membuat greget baginya. Guru tidak lagi memberikan pencerahan, tantangan ataupun membuat kreatif, justru sebaliknya. Ia beralasan, cukup membuka mbah Google, maka apapun yang diajarkan oleh guru seluruhnya ada di situ, maka mau tidak mau guru harus ditinggalkan oleh peserta didiknya sendiri!
Perkembangan ilmu pengetahuan dan tenologi ibarat tsunami, tidak bisa ditahan, dibendung atau dibiarkan begitu saja. Masih ingat tentunya bagi kita awal muasal tulisan tercetak, berkat temuan Gutenberg (sekitar 1398 – 3 Februari 1468) dunia tercerahkan. Apapun ilmu tidak hanya ada di otak, diingat atau sebatas diskusi dari meja satu ke meja yang lain, dari ruang satu ke ruang yang berbeda, akan tetapi bisa menjadi menuskrip berdaya guna bagi anak cucu sebagai bahan tercetak.
Temuan terus berkembang, mulailah diciptakan mesin tik. Alat ini mampu mengoptimalkan kerja otak untuk ditumpahkan dalam sebuah tulisan, kendati tuts-tuts yang ada bisa membuat berdarah-darah tangan kita, saking berat tekanan menimbulkan luka. Kendala demikian tidak membuat kita mengeluh, justru menjadi tantangan tersendiri. Bukankah buku-buku sastra, kedokteran, serta ilmu-ilmu lain bisa diabadikan menjadi buku yang menumental sebagai “harta” tak terkira harganya.
Mesin tik manual lambat laun ditinggalkan alatan diciptakan mesin tik elektrik. Perkembangan selanjutnya, diciptakan mesin pintar super canggih computer. Demikian seterusnya perkembangan teknologi dari hari ke hari mengalami fenomena yang luar biasa.
Terkhusus dunia pendidikan dengan perkembangan teknologi ini membuat kita terbantukan sekaligus mengalami pergeseran. Paling tidak, jika kita, khususnya guru tidak mengikuti perkembangan mau tidak mau guru harus ditinggalkan oleh peserta didik. Seperti awal tulisan ini peserta didik begitu sederhana memberikan solusi, ngapain nongkrongin guru jika tidak menarik, bahkan tidak membuat siswa cerdas.
Guru melek teknologi berarti guru yang siap menyongsong masa depan. Guru yang tidak mau berubah cepat atau lambat akan menjadi patung berucap tanpa ada yang mendengarkan. Bisa jadi Anda pernah mengalami “dikacangin” anak-anak ketika kita asyik menyampaikan pelajaran. Asyik menurut kita belum tentu asyik menurut mereka. Artinya, saat kita bersemangat menyampaikan pelajaran sebalinya peserta didik asyik dengan dunia sendiri. Ia cukup klik pelajaran apa yang disampaikan hari ini, dengan hitungan menit bahkan detik sudah tersaji di HP mereka. Akhirnya peran guru tergeserkan dengan teknologi. Bukankah sudah tersedia, MOOC, Massive Open Online Course serta AI (Artificial Intelligence). MOOC adalah inovasi pembelajaran daring yang dirancang terbuka, dapat saling berbagi dan saling terhubung atau berjejaring satu sama lain.
Di sinilah tantangan kita, bagaimana mengimbangi kemajuan teknologi menjadi nilai positif bagi pembelajaran. Bukankah sebelumnya kita merasa tersinggung dengan adanya bimbingan belajar (Bimbel) yang menjamur di mana-mana. Sabda guru menjadi lumpuh alatan lebih percaya ke bimbel. Orangtua begitu bangga anaknya diterima di sekolah yang mereka inginkan, anakku diterima karena anakku ikut bimbel. Seolah sekolah dalam hal ini guru tidak berperan dalam mensukseskan anak mereka. Namun belakangan ini, sedikit banyak bimbel terancam dengan perkembangan teknologi. Bukankah cukup klik di HP seluruh pelajaran tersaji dengan sempurna.
Suatu saat penulis diminta jadi model mengajar oleh peserta didik. Mereka membuat skenario dengan begitu sempura, mulai dari penata gaya, pencahayaan sampai bagaimana menyampaikan pelajaran yang menarik. Berbekal HP, a sampai z saat penulis menyampaikan pelajaran ia rekam menjadi sebuah film yang menarik! Lalu diupload, dikirim ke youtube. Maka jadilah sumber belajar dan bisa dinikmati oleh masyarakat dunia.
Di lain waktu, peserta didik menceritakan bagaimana pemanfaatan teknologi. Saat semesteran ujian berlangsung, guru asyik dengan dunianya sendiri, asyik membaca buku, koran atau memainkan HP. Di lain pihak peserta didik pun demikian asyik dengan HP-nya sendiri. Selidik punya selidik, soal-soal yang diujikan, cukup mereka ketik ulang atau difoto lalu dikirim ke Google dalam hitungan menit jawaban terkirim kembali di HP mereka, terselesaikanlah sudah dengan sempurna.
Lalu, di mana peran guru sekarang? Inilah tantangan kita bagaimana perkembangan teknologi harus dioptimalkan sedemikian rupa. Guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber belajar yang harus dijiplak sedemikian, akan tetapi menjadi fasilitator membuka dunia.
Kata Kunci Menulis dan Membaca
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mau tidak mau harus dihadapi dengan aktivitas indah, yaitu literasi membaca dan menulis. Dua kegiatan ini tidak bisa dipisahkan jika tidak mau tersisihkan dalam pencaturan abad ke-21 ini. Walaupun toh belakangan ini gerakan membaca bangsa kita masih jauh dibandingkan dengan bangsa lain, apalagi menulis.
Belakangan ini penulis terhenyak dengan tulisan di sebuah harian yang mengatakan, bahwa mahasiswa kita, bahkan tidak sedikit di atasnya ketika membuat skripsi sering jalan pintas. Baik sebagai plagiator atau cukup merogoh kocek membeli di “pabrik” skripsi yang belakangan ini menjamur. Sangat tragis, bukan!
Dibalik kegundahan ini penulis pun mendapat angin kesegaran. Apa pasalnya? Anak-anak kelas 1 SD di mana penulis mengajar begitu piawai menulis! Ya, menulis menjadi habit yang tidak bisa dipisahkan dari aktifitas belajar. Setiap hari mereka begitu tekun menulis tentang pengalamannya. Terutama kegiatan selama di sekolah dari pukul 07.30 sampai pukul 13.00.
Beragam cerita yang mereka tulis. Mulai dari masuk sekolah, mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM), istirahat, wudhu, sholat berjamaah, dan beragam tulisan lainnya. Ada yang menulisnya dengan waktu yang tersusun. Namun tidak sedikit mereka menulisnya dalam bentuk cerita. Misalnya begini, hari ini aku senang sekali. Ya, aku senang karena aku bertemu dengan teman-teman dan guruku di sekolah. Ada Faza yang badannya besar. Ada Wildan yang badannya kecil tapi senyum aja. Ada Ajeng temanku ketika di TK. Aku juga senang kalau istirahat. Habis kalau istirahat makannya suka sama-sama. Habis istirahat tak lupa aku mencuci tangan. Lalu bermain ayun-ayunan. Lalu aku belajar lagi sama bu guru dan pak guru di kelas. Eh enggak terasa suara adan di mesjid terdengar. Lalu Pak Sonny dan Bu Rida ngasih tahu agar cepat-cepat berwudu untuk sholat berjamaah. Habis itu aku dan teman-teman siap untuk pulang.
Ada juga anak-anak menulis seperti berikut, jam 07.30 aku baris di halaman sekolah, kemudian masuk belajar matematika sampai pukul 09.30, lalu istirahat sampai jam 10.00, dan belajar lagi bahasa indonesia sampai pukul 12.00. Lalu aku sholat dan berdoa pulang.
Perlu penulis sampaikan, mereka melakukan kegiatan tersebut setiap hari. Waktunya sendiri menjelang pulang sekolah. Artinya kami memberikan porsi khusus untuk menulis menjelang pulang. Kami sepakat punya mimpi, alangkah indahnya nian jika suatu ketika, katakanlah selama setahun penuh mereka menulis berarti berapa puluh bahkan beratus halaman yang mereka tulis. Terlebih ada penerbit yang baik hati untuk menerbitkan tulisan mereka. Dengan pasti kebahagian semakin lengkap, bukan. Atau paling tidak menjadi catatan harian pribadinya yang suatu ketika dia lepas SD, bisa membuka album kenangannya.
Apakah itu akan terjadi? Pasti terjadi jika Allah SWT meridhoi niat ini dan didukung oleh ketelatelan kita sendiri. Toh, kegiatan semacam ini sebelumnya sudah kami lakukan kepada kakak kelasnya, kelas dua (sekolah kami baru ada kelas 1 dan 2). Alhamdulillah, tatkala kenaikan kelas tiba catatan harian mereka dibukukan. Itu pun mereka lakukan sendiri. Buku tersebut mereka kemas menurut selera mereka masing-masing. Tatkala pembagian raport, mereka tidak hanya menerima nilai akademis saja, akan tetapi sekaligus menerima bingkisan catatan harian mereka sendiri. Untuk memotivasi mereka kami membuat acara semenarik mungkin. Setiap anak kebagian ke depan untuk menerima reword dan sertifikat, yang tentunya dihadiri para orang tua masing-masing.
Dari kisah tersebut apa yang dapat Anda katakan dengan dunia menulis? Bagi kita sebagai guru tentunya tidak bisa dipisahkan aktifitas keseharian dengan menulis. Baik ketika kita mengajarkan di depan siswa ataupun persiapan mengajarnya sendiri. Namun demikian, lagi-lagi tidak sedikit yang masih mengeluh, bahwa menulis itu pekerjaan yang susah. Apalagi menulis di koran, buku, atau apalah yang sifatnya diwartakan dan dibaca orang lain.
Jangan, jangan putus asa, apa yang dilakukan anak-anak seperti yang penulis paparkan diawal bisa kita lakukan pada diri kita. Misalnya, setiap kita mengajar di kelas tentunya sudah menyiapkan bahan pelajaran yang akan disampaikan ketika itu. Untuk menambah tulisan lengkapilah dengan pengalaman ketika kita menyampaikan hari itu. Dari setiap kegiatan yang kita lakukan kita kumpulkan atau susun sedemikian. Maka dalam waktu setahun dengan pasti materi yang kita sampaikan tuntas untuk satu buku. Katakanlah saat kita mengajar di kelas 1 maka akan terwujud buku kelas satu. Juga demikian dengan kelas-kelas berikutnya. Jika kita mengajar di Sekolah Dasar, sudah berapa jilid buku yang dapat kita buat? Demikianlah selanjutnya.
Demikianlah semoga kegiatan membaca dan menulis di abad 21 ini menjadi habit yang melekat dalam segala aktivitas kegiatan.*
*Penulis, Mahasiswa S3 UNINUS, Penggerak Literasi Nasional, Guru SMP N 1 Cangkuang, Kab. Bandung.
1 Comment
Membaca dan menulis menjadi kekuatan guru untuk terus mengajak semuanya.