Dari Angka ke Hikmah

Dari Angka ke Hikmah
Pernah nggak, kita duduk di depan tumpukan kertas ulangan dan merasa bingung harus mulai dari mana? Nilainya beragam. Ada yang tinggi, ada yang rendah. Tapi… lalu apa? Apa yang harus kita lakukan setelah melihat angka-angka itu?
Nah, di sinilah konsep DIKW bisa jadi teman berpikir yang sangat membantu. DIKW itu singkatan dari Data, Information, Knowledge, and Wisdom. Mungkin terdengar “berat” di awal, tapi sebenarnya ini sangat dekat dengan dunia kita sebagai guru.
Data: Angka-Angka yang Bisu
Bayangkan kita baru selesai mengoreksi ulangan. Nilai Budi 68, Sinta 85, Rina 40. Angka-angka itu baru disebut data. Masih mentah, belum bisa bercerita apa-apa. Sama seperti melihat titik-titik di kertas tanpa tahu itu gambar apa.
Information: Mulai Ada Cerita
Setelah itu, kita mulai mengelompokkan nilai berdasarkan materi. Misalnya, materi pecahan nilainya banyak yang jeblok, sementara bangun datar malah bagus-bagus. Nah, sekarang kita mulai bisa “membaca cerita” dari angka tadi.
Inilah yang disebut informasi. Data tadi mulai punya konteks. Kita tahu siswa kesulitan di bagian mana.
Knowledge: Mengerti Lebih Dalam
Sekarang, kita mulai ingat, “Oh iya, waktu ngajarin pecahan, aku cuma pakai soal di papan. Belum pakai alat peraga.” Lalu kita juga ingat, tahun lalu waktu pakai gambar kue atau potongan kertas, anak-anak jauh lebih paham.
Nah, di titik ini, kita sudah masuk ke pengetahuan. Kita tidak hanya tahu apa yang terjadi, tapi juga paham kenapa itu terjadi.
Wisdom: Tindakan yang Bijak
Akhirnya, kita memutuskan, “Oke, minggu depan kita ulang materi pecahan. Tapi kali ini pakai alat bantu. Dan aku mau buat kelompok kecil supaya bisa fokus ngajarin yang masih bingung.”
Itulah kebijaksanaan. Kita bukan sekadar mengajar, tapi memimpin proses belajar dengan penuh arah dan pertimbangan.
Pada akhirnya, tahapan tertinggi dari proses berpikir dalam konsep DIKW bukan sekadar tahu, paham, atau mampu menjelaskan—melainkan mampu mengambil keputusan yang tepat, berakar pada pemahaman dan nilai. Inilah yang disebut sebagai wisdom. Dalam konteks pendidikan, kita bisa menyebutnya juga sebagai hikmah—sebuah kebijaksanaan yang tidak lahir dari logika semata, tetapi juga dari empati, pengalaman, dan niat baik. Guru yang penuh hikmah bukan hanya mengajar dengan kepala, tapi juga dengan hati. Ia tahu kapan harus diam, kapan memberi ruang, dan kapan mengarahkan, karena ia melihat lebih dalam dari sekadar angka atau hasil belajar. Ia melihat manusia yang sedang tumbuh.
Guru yang Bijak, Bukan Hanya Pandai Mengoreksi
Menjadi guru bukan cuma soal memberi nilai, tapi juga membaca makna di balik nilai itu. Konsep DIKW mengajak kita untuk tidak berhenti di angka, tapi berjalan lebih jauh—hingga ke tindakan nyata yang membuat siswa lebih paham dan percaya diri.
Karena di tangan guru yang bijak, angka 40 bukan akhir cerita. Tapi bisa jadi awal perubahan cara mengajar, dan titik tolak anak untuk bangkit. (isn)