Dilema Keberadaan Komunitas Belajar

 Dilema Keberadaan Komunitas Belajar

*Hery Setyawan

Masih segar dalam ingatan kita bagaimana di awal semester genap seluruh guru dibuat bingung. Semua berawal setelah diluncurkannya fitur pengelolaan kinerja guru dan kepala sekolah di platform Merdeka Mengajar (PMM). Guru dan kepala sekolah disibukkan dengan merencanakan sasaran kinerja pegawai. Salah satu penilaian yang harus dipenuhi oleh guru adalah pengembangan kompetensi, di mana guru harus mengikuti berbagai macam kegiatan pengembangan diri.

Bahkan muncul istilah “pagi mengajar, malam webinar”. Hal itu dilakukan dalam upaya berburu dan mencari sertifikat sebagai bukti dalam pengembangan kompetensi. Semakin banyak sertifikat yang diperoleh, semakin bagus juga pengembangan kompetensi yang dilakukan guru. Tidak sedikit juga yang harus mengeluarkan uang untuk mendapatkan sertifikat. Bahkan ada guru yang harus mengorbankan waktu mengajarnya hanya untuk mendapatkan sertifikat tersebut.

Hal tersebut juga saya rasakan, sebagai guru, saya pun ikut larut dalam kegiatan berburu sertifikat sebagai bukti keikutsertaan setiap kegiatan webinar. Bahkan saya harus mengikuti dua kegiatan webinar secara bersamaan. Di satu sisi, saya ikut bangga atas perubahan yang terjadi di mana guru biasanya hanya mengajar, kini mau mengikuti berbagai kegiatan. Merubah pola pikir guru untuk keluar dari zona nyamannya bukan hal yang mudah.

Berbagai komunitas belajar muncul sebagai solusi dari kekhawatiran guru yang sulit mendapatkan sertifikat untuk memenuhi salah satu penilaian yang ada di PMM. Komunitas belajar lahir atas dasar Surat Edaran Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Nomor 4263 Tahun 2003 tentang Optimalisasi Komunitas Belajar. Salah satu tujuannya adalah untuk mengembangkan kemampuan dan kompetensi pendidik serta permasalahan pembelajaran. Komunitas belajar juga sebagai wadah guru dan tenaga kependidikan untuk belajar bersama dan berkolaborasi secara rutin.

Komunitas belajar ini juga diharapkan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran sehingga berdampak pada hasil belajar peserta didik. Komunitas belajar merupakan salah satu bentuk realisasi untuk membangun kolaborasi dengan sesama rekan pendidik. Bagaikan jamur di musim hujan, saat itu banyak bermunculan komunitas belajar dari berbagai daerah dan jenjang pendidikan.

Komunitas belajar ini juga muncul di setiap satuan pendidikan, di mana guru dalam satu sekolah berkumpul untuk membahas berbagai hal yang terkait dengan pembelajaran dan peserta didik. Kegiatan komunitas ini dilakukan secara rutin, misalnya satu minggu sekali dengan agenda yang terjadwal dan terstruktur. Ada juga komunitas belajar yang dilakukan secara informal antara pendidik di lingkungan sekolah. Pembahasan di setiap kegiatan yang dilakukan oleh komunitas belajar disesuaikan dengan kebutuhan guru. Bahkan tidak sedikit guru yang menjadi anggota pada setiap komunitas yang ada di PMM.

Seiring berjalannya waktu, keberadaan komunitas belajar saat ini semakin lama semakin terabaikan. Tidak seperti di awal semester di mana semua komunitas belajar aktif. Seolah guru hanya menginginkan sertifikatnya saja tanpa memikirkan apakah materi tersebut dapat dimengerti atau tidak. Tentu hal ini amat sangat disayangkan. Padahal keberadaan komunitas belajar ini sangat membantu guru dalam mengembangkan kompetensi yang dimilikinya.

Saya percaya dengan adanya komunitas belajar ini guru memperoleh pengalaman belajar yang berkualitas dan hasil akhirnya akan berdampak bagi perkembangan peserta didik di dalam kelas. Dan pastinya akan membentuk ekosistem dan budaya belajar melalui komunitas belajar, yang pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan kualitas dan mutu satuan pendidikan.

*Penulis adalah PW DKI Jakarta, Guru PPKn SMP Negeri 42 Jakarta dan Guru Penggerak Angkatan 8 Jakarta Utara

Spread the love

Yudhi Kurnia

redaksi@satuguru.id

Related post

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *