Mengajar Bukan Hanya Sekedar Mencerdaskan, Tapi Juga Menemani

 Mengajar Bukan Hanya Sekedar Mencerdaskan, Tapi Juga Menemani

Di suatu pagi yang gerimis, seorang guru duduk di meja di dalam kelas. Di hadapannya ada setumpuk kertas ulangan yang baru saja dikumpulkan oleh murid-muridnya. Ia memandangi satu per satu nama di lembar itu—anak-anak yang setiap hari duduk di hadapannya, yang setiap harinya ia ajari membaca, berhitung, dan berpikir. Namun pagi itu, pandangannya tertumbuk lama pada sebuah nama: Raka.

Raka bukan siswa terbaik di kelas. Ia sering terlambat, tulisannya acak-acakan, dan jawabannya sering kosong. Ada hari-hari di mana guru itu ingin marah, ingin menyudutkan Raka, atau sekadar berkata, “Kenapa kamu nggak seperti teman-temanmu?”

Tapi hari itu berbeda.

Guru itu baru saja membaca buku Love for Imperfect Things karya Haemin Sunim malam sebelumnya. Di sana tertulis kalimat yang membuatnya diam lama:
“Hanya ketika kamu bersikap lembut kepada dirimu sendiri, kamu bisa benar-benar bersikap lembut kepada orang lain.”

Dan entah kenapa, kalimat itu menempel di benaknya. Ia ingat betapa sering ia menekan dirinya untuk menjadi guru yang sempurna—menguasai kelas, menyelesaikan target, membuat semua anak “berhasil.” Ia lupa bahwa dirinya pun manusia. Dan seperti Raka, ia juga tak selalu rapi, tak selalu tepat waktu, tak selalu benar.

Pagi itu, ia mendekati meja Raka, bukan dengan amarah, melainkan dengan duduk di sebelahnya.
“Rak, kamu capek ya akhir-akhir ini?” tanyanya pelan.
Raka terkejut. Ia mengangguk, matanya sembab.
“Ibu tahu kamu belum bisa menjawab semua soal. Tapi ibu juga tahu kamu belum menyerah. Itu cukup, Nak. Kita mulai lagi pelan-pelan, ya?”

Di saat itu, tak ada pelajaran matematika atau IPA. Yang terjadi adalah pelajaran paling penting yang guru itu berikan: pelajaran tentang penerimaan.

Ia sadar, peran guru bukan untuk mencetak anak-anak sempurna. Tapi untuk menjadi ruang yang aman bagi anak-anak yang sedang belajar menjadi dirinya sendiri. Bahwa setiap anak punya ritme, punya luka, punya cara sendiri untuk memahami dunia.

Sejak hari itu, sikapnya berubah. Ia tak lagi mencari kesempurnaan dari murid-muridnya. Ia mulai memperhatikan tanda-tanda kecil—mata yang lesu, tangan yang gemetar saat menulis, atau senyum yang lama tak muncul. Ia mulai mengerti: tugasnya bukan hanya mengajar pelajaran, tapi juga mencintai yang belum sempurna. (isn)

Spread the love

Related post

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *