Tulisan AI Itu Keren—Tapi Tak Pernah Punya Hati Seperti Guru

 Tulisan AI Itu Keren—Tapi Tak Pernah Punya Hati Seperti Guru

Suatu pagi, Bu Lestari, seorang guru bahasa di sebuah SMP negeri, duduk di depan laptopnya. Di tangannya ada secangkir kopi, di layar ada jendela ChatGPT terbuka. Ia sedang menyiapkan materi untuk kelas esok hari tentang menulis narasi. Waktu sempit, inspirasi sedang mampet. Maka ia pun mencoba, “Tuliskan contoh narasi tentang persahabatan.”

Tak sampai sepuluh detik, teks itu muncul. Tertata rapi. Bahasa bagus. Temanya menyentuh. Bu Lestari mengangguk pelan. “Wah, ini luar biasa,” gumamnya. Tapi entah kenapa, ada yang terasa hampa. Seperti makan nasi tanpa garam.

Ia baca ulang, mencoba merenungi. “Apa yang kurang?” pikirnya. Lalu ia terdiam.

Tanpa Hati

Teks itu bagus, tapi netral. Seperti pidato tanpa suara. Tak ada jeda yang membuat pembaca menarik napas. Tak ada kalimat yang membuat dada sesak atau senyum muncul tiba-tiba. Tak ada potongan emosi yang ia tahu persis dirasakan murid-muridnya.

“Kalau ini kuberikan ke Rina yang sedang kehilangan sahabatnya, akankah ia merasa dipahami?” “Kalau ini dibaca Danu yang tertutup dan suka merasa sendiri, akankah ia merasa didekati?”

Ia sadar, teknologi bisa menulis. Tapi hanya guru yang bisa membuat tulisan menyentuh hati.

Menghadirkan Kehadiran

Bu Lestari pun mengedit. Ia tak mengubah semua, hanya menyelipkan pengalaman: tentang Rina yang menangis diam-diam di pojok kelas. Tentang Danu yang tak banyak bicara, tapi pandai menggambar tokoh Naruto. Ia tambahkan kalimat, “Karena sahabat tak harus selalu bicara, kadang cukup hadir dan paham.” Dan tiba-tiba, teks itu hidup.

Begitulah peran guru hari ini. Bukan hanya mengajar, tapi menjiwai. Di tengah derasnya teknologi, guru bukan lagi satu-satunya sumber ilmu. Tapi guru tetap satu-satunya yang bisa memanusiakan ilmu.

Tulisan dari AI hanyalah kerangka. Yang menjadikannya berarti adalah tangan guru yang menyentuh, mata guru yang mengamati, dan hati guru yang memahami.

Maka, saat teknologi bisa menulis, guru tetap dibutuhkan—bukan untuk sekadar mengoreksi, tapi untuk memberi jiwa pada kata-kata.

Karena tugas guru bukan sekadar menyampaikan pelajaran. Tapi menghadirkan kehadiran.

Dan itu, tak akan pernah bisa digantikan mesin. (Red)

Spread the love

Related post