Memaknai ,”Tumpek Landep”, pendekatan, “teori trikon”
Oleh : I Made Rasta
Bali, sangatlah unik. Komunitas literasi menyebut bali sebagai pulau Banyak Literasi. Hal ini dikarenakan Bali punya berbagai macam budaya ritualitas, disamping keindahan alam yang memukau. Satu dari sekian banyak budaya ritualitas adalah “Tumpek Landep”. Sebuah prosesi ritual yang dirayakan setiap 210 hari, bertepatan pada hari saniscara kaliwon wuku landep.
Para tetua bali juga mewariskan teori kajian terhadap suatu obyek. Teori ini dikenal sebagai strategi trikon. Teori trikon memaknai suatu obyek dari tiga sudut pandang yang berbeda namun saling terkait atau melengkapi. Pada teori trikon, obyek yang akan dikaji ditempatkan di tengah-tengah segitiga sama sisi. Setiap sudut segitiga adalah titik pandang terhadap obyek tersebut. Jika kita menempatkan budaya ritualitas,” tumpek landep”, sebagai obyek kajian, maka budaya ritualitas tumpek landep akan ditempatkan tepat di tengah segitiga. (Seperti tampak pada gambar di pojok bawah poto )
Pertama, secara etimologi bahwa kata, “tumpek berarti, “tampek”, yang dipadankan dengan kata, “dekat” , dan “landep”, dipadankan dengan kata ,”lanying” , yang diterjemahkan menjadi kata, “tajam”. Dengan demikian, kata, “tumpek landep”, diterjemahkan menjadi “mendekatkan ketajaman ”. Prosesi penajaman biasa di analogikakan dengan mengasah senjata, dan senjata bagi manusia adalah pikiran. Atas dasar itu, budaya ritualitas tumpek landep dimaknai “mendekatkan penajaman pikiran”. Karena pikiran diibaratkan seperti senjata tajam yang perlu diasah secara rutin dan konsisten, maka kehadiran budaya ritualitas tumpek landep dimaknai sebagai prosesi refleksi penajaman pikiran yang secara rutin dan konsisten dilaksanakan setiap 210 hari sekali. Senjata juga diartikan sebagai alat atau properti seseorang dalam melaksanakan pekerjaan, maka dari itu, alat yang digunakan harus rutin dan konsisten di servis agar tetap berfungsi dengan baik. Atas dasar inilah, di jaman moderen budaya ritualitas tumpek landep mengalami pergeseran terkait senjata yang menjadi obyek ritual tidak lagi terbatas pada berbagai senjata, akan tetapi juga ke alat transformasi dan mesin lainnya. Hal ini dikarenakan alat transportasi adalah bagian dari turunan teknologi ilmu pengetahuan sebagaimana senjata sebagai alat perjuangan di jamannya. Alat-alat ini diupgrade dan di muliakan sebagai simbolisasi upgrade pikiran manusia yang disebut dan dimaknai sebagai penajaman pikiran secara etimologi.
Kedua, secara morfologi, ciri khas budaya ritualitas Bali adalah banten. Banten diartikan dalam bahasa bali, “baan enten” . “Baan enten”, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti dikarenakan kesadaran. Dengan demikiian, esensi dasar sebuah ritualitas di Bali adalah keasadaran diri akan keyakinan sebagai wujud bhakti kepada Sang Hyang Widhi Wasa. Setiap banten di Bali memiliki ciri khas tergantung atribut simbolisasi dari tujuan persembahan tersebut. Seperti pada banten tumpek landep ciri khas pada atribut ritual berupa banten sesayut pasupati yang didalamnya ada tumpeng barak (tumpeng merah). Secara morfologi yang menjadi bahan kajian adalah pada bentuk atribut, wujud, warna dan segala hal yang bisa dilihat secara phisik. Dengan demikian, bentuk tumpeng yang menyerupai gunung, dimaknai sebagai kemauan kuat, sekuat dan seteguh gunung. Gunung juga di maknai dalam tradisi nusantara sebagai sumber kesuburan dan keberkahan, dikarenakan air kehidupan mengalir dari pegunungan. Warna merah merujuk pada etentitas warna dewa Brahma sebagai Sang Pencipta dengan sakti dewi pengetahuan (Dewi Saraswati). Dengan demikian, tumpeng barak secara morfologi dapat diartikan simbolisasi dari kemauan yang teguh untuk mengasah pengetahuan (upgrade knowlage) agar diperoleh anugrah keberkahan dari Ida Sang Hyang Widi.
Ketiga, kajian dari sudut pandang sastralogi. Setiap upakara budaya ritual di Bali memiliki dasar filsafat, sastra dan mitologi tersendiri. Seperti pada budaya ritual tumpek landep. Sumber sastra yang dirujuk adalah warisan tulisan leluhur Bali berupa lontar. Ada lontar sundarigama, yang meyebutkan, “Kunang ring wara Landep, Saniscara Kliwon, puja wali Bhatara Siwa, mwah yoganira Sanghyang Pasupati, puja wali Bhatara Siwa tumpeng putih kuning adan-adanan, iwak sata sarupania, grih trasibang, sedah wah, haturakna ring sanggar. Yoga Sanghyang Sri Pasupati, sesayut pasupati, sesayut jayeng prang, sesayut kusuma yudha, suci, daksina, peras, canang wangi-wangi, astawakna ring sarwa sanjata, lendepaning prang. Kalingania ring mwang, denia pasuupati, landeping idep, samangkana talaksanakna kang japamantra wisesa Pasuupati”
Lontar Sundarigama jelas menegaskan bahwa makna tumpek landep pada diri manusia yang ditajamkan adalah pikiran. Simbolisasi banten sebagai rasa syukur dan bhakti, khusus pada Sang Hyang Pasupati sebagai dewa utama pada pemujaan tumpek landep adalah sesayut dengan ciri khas tumpeng dan atau nasi berwarna merah.
Selain lontar sundarigama, secara mitologi, dalam kitab purwabumi medang kemulan, Dikisahkan Dang Hyang Kula Giri di sebuah kerajaan kunda dwipa. Dang Hyang Kula Giri punya dua istri bernama Dewi Sinta Kasih dan Dewi Landep….Watu Gunung adalah anak dari Dewi Sinta. Pada akhir cerita, Watu Gunung berusaha memperistri ibunya (seperti kisa Bandung Bondowoso)…
Kisah ini, kita bahas di epesido berikutnya ya……..
Demikianlah, dari tiga sudut pandang terkait budaya ritualitas tumpek landep, bahwa tuimpek landep adalah sebuah perwujudan rasa syukur dan bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi atas anungrah pengetahuan yang diberikan sehingga manusia bisa menjalani hidup. Namun demikian, manusia wajin meng_upgade pengetahuan setiap satu siklus, 210 hari. Sebagaimana tutur dalam pupuh ginanti, “….kaweruhin luwir sanjata, ne dadi prabotang sai keanggen ngaruruh merta…”. Bahwasannya pengetahuan ibarat senjata yang dapat digunakan sebagai alat dalam mendapatkan sandang pangan untuk memnuhi kebutuhan hidup.