Panca Sthithi Darmeng Prabhu, LIMA PRINSIP KEPEMIMPINAN PEMBELAJARAN Upanisad Guru Bina
Oleh : I Made Rasta
Vidio terkait : https://www.youtube.com/watch?v=qrDqJFPwzFs
Semangat pagi saudaraku. Seorang temen bertanya, “Apa praktik kepemimpinan pembelajaran upanisad guru bina punya prinsip layaknya pembejaran lainnya ?”. Sebuah pertanyaan pemantik yang mendalam bagiku. Baiklah aku ceritakan bahwa ada lima prinsip kepemimpinan pembelajaran di ruang ke tiga ala upanisad guru bina yang dikembangkan di SMK Negeri 1 Sawan, Buleleng, Bali. Kelima prinsip ini dikenal dalam kekayaan sastra nusantara sebagai panca sthithi dharmeng prabhu. Panca berarti lima, sthithi bermakna dipelihara, dharmeng kewajiban, dan prabhu berarti guru. Dengan demikian, panca sthithi darmeng prabhu berarti lima kewajiban yang harus dipelihara oleh seorang guru. Dari lima prinsip ini, tiga diantaranya telah dipopulerkan oleh Bapak Pendidikan Indonesia, KH. Dewantara sebagai trilogi pendidikan, yaitu ing ngarso sung tulodo; ing madya mangun karso; tut wuri handayani. Sementara dua prinsip lainnya belum pernah diungkapkan, yaitu : maju tanpa bala; sakti tanpa aji. Mari kita urai satu persatu dari kelima prinsip kepemimpinan pembelajaran ala upanisad guru bina yang diterapkan di SMK Negeri 1 Sawan, Buleleng, Bali.
Prinsip pertama, ing ngarsa sung tulodo. Jika diartikan secara leksikal menurut kamus jawa kuno, maka ditemukan arti “Ing ngarso mempunyai arti di depan atau di muka, sung atau isung artinya saya, dan tuladha atau tulodo berarti teladan. Sehingga istilah ini memiliki arti “di depan saya memberikan contoh atau teladan.” Jika kata, “di depan”, kita padankan dengan kata, “di awal”, maka prinsip pertama kepemimpinan pembelajaran upanisad guru bina dapat tuliskan, “awali dengan keteladanan”. Pada praktiknya, pelaksanaan kepemimpinan pembelajaran upanisad guru bina dilaksanakan dengan cara duduk bersama. Guru dan murid duduk bersama dan sama-sama tanpa alas. Guru menunjukkan keteladanan bahwa dirinya juga duduk di lantai yang sama tanpa alas. Hal ini diawali oleh guru sehingga murid meneladani apa yang dilakukan oleh guru. Sebuah langkah awal yang sederhana untuk membangun keterhubungan dan kesetaraan rasa antara guru dan murid sebagaimana konsep dan asas kepemimpinan pembelajaran upanisad guru bina . (Seperti di jelaskan pada artikel sebelumnya). Konsep ini juga didasarkan pada satu nyanyian tetua Bali yang menyatakan bahwa, “ede ngaden awak bisa depang anake ngadanin…yadin ririh enu liyu pepalajahan”. Yang dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai kalimat, “jangan merasa diri bisa biarkan orang lain yang menyebut…walaupun pintar masih banyak pelajaran”. Makna dari konsep ini jika dikaitkan dengan prinsip pertama, “awali dengan keteladanan”, maka ditemukan satu frasa “jangan merasa bisa”. Frasa ini menyiratkan satu pemahaman mendalam yaitu, “hendaknya bisa merasa”. Dengan demikian akan muncul satu parafrasa baru yaitu, “awali dengan keteladanan untuk tidak merasa bisa tetapi bisa merasa”. Kata, “bisa merasa”, kemudian diterjemahkan menjadi perilaku awal yang sederhana, yaitu sama-sama duduk dilantai supaya kita sama-sama bisa merasa hal yang sama.
Prinsip ke dua, ing madyo mangun karso. Secara leksikal, “ing madyo” artinya di tengah-tengah. “mangun” berarti membangkitkan, membangun, atau menggugah, “karso” diartikan sebagai bentuk kemauan atau niat. Dengan demikian dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia secara leksikal sebagai kalimat, “di tengah bangun semangat”. Kata, “di tengah”, merujuk dalam diri atau internal. Semangat yang dibangun adalah rasa di dalam diri. Dengan demikian, “bangkitkan semangat dalam diri”, menjadi prinsip ke dua dalam praktik kepemimpinan pembelajaran upanisad guru bina. Jika bangkitnya semangat dalam diri, atau diniatkan dari dalam diri, maka akan memunculkan kesadaran, kepercayaan diri, bahwa, “saya bisa, saya mau…” tanpa keterpaksaan serta tidak menyalahkan orang lain. Dengan demikian, murid akan mengupayakan semaksimal mungkin kekuatan dirinya untuk menggapai kesuksesan belajarnya.
Prinsip ke tiga, tut wuri handayani. Kata , “tut” diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi, “ikuti”, ,”wuri” diartikan ,”belakang”, dan selanjutnya adalah kata, “handayani”. Kata ini merupakan nama yang asli ditemukan dalam bahasa Jawa. Untuk artinya, kata, “handayani” ini memiliki arti “mendorong” dalam konteks positif. Dengan demikian terjemahan bebas dalam bahasa Indonesia, “ikuti dari belakang dengan dorongan semangat positif”, atau “jadilah motivator ”. Dengan demikian, dalam konteks kepemimpinan pembelajaran upanisad guru bina prinsip ketiga adalah, “beri motivasi ”. Ini merupakan faktor penguat diri, setelah fase sebelumnya bangkit kesadaran dalam diri. “Bangkit kesadaran dalam diri saja apakah cukup? JAwab sederhana TIDAK. Kita sangat perlu memotivasi diri dari hal positif yang dapat kita tarik dari luar diri. Hal positif untuk motivasi luar diri bisa berasal dari kesuksesan orang lain, daya dukung lingkungan belajar, orang tua, teman, dan sebagainya. Hal ini juga akan membangkitkan kesadaran bahwa, kesuksesan belajar juga dipengaruhi faktor eksternal. Peran guru dalam hal ini memberi motivasi yang menguatkan murid. Sebagaimana dapat ditemukan pada pesan tetua Bali melalui, pupuh ginanti saking tuhu manah guru. Sebuah nyanyian keihklasan seorang guru, “saking tuhu manah guru, mituturin cening jani, ……, keanggen ngeruruh merta, saenun cening meurip’. Kidung ini, menyuratkan ketulus ikhlasan seorang guru untuk mendampingi murid agar memiliki kemampuan diri dalam hidup dan kehidupan.
Prinsip ke empat, maju tanpa bala. Kata, “maju”, bermakna bergerak ke depan. “Tanpa bala”, diterjemahkan tanpa bantuan orang lain. Jika diterjemahkan secara leksikal, dapat diartikan bahwa dalam pembelajaran, guru memberi ruang bagi murid untuk, “berupaya mandiri, berani bergerak maju tanpa bantuan guru”. Prinsip ini, dalam konteks kepemimpinan pembelajaran upanisad guru bina, dituliskan , “beri ruang dan tumbuhkan kemandirian”. Dalam konteks pesan tetua nusantara, “ taki takining sewaka guna widya….”, yang bermakna, “persiapkan diri untuk belajar pengetahuan dan kebijaksanaan secara mandiri”. Jika anak di beri ruang untuk berani maju dikarenakan guru memberi ruang murid untuk terus meningkatkan potensi. Benar kalimat kebijaksanaan Romawi, bahwa, “dimana ada kemauan di sana ada jalan”. Atas dasar itum peri sip keempat kepemimpinan pembelajaran uapanisad guru biana adalah, berikan ruang, berikan ruang, berikan ruang, sehingga anak menemukan potensi terbaik dan berani maju sendiri
Prinsip ke lima, sakti tanpa aji. Kata, “sakti”, atau digjoyo dimaknai, “kemampuan”. Tanpa aji dapat dimaknai tanpa ilmu, tanpa jurus, tanpa jimat, tanpa senjata, tanpa guru. Berkemampuan tanpa ilmu, jurus, jimat, senjata, tanpa guru ? Apa bisa ya ? Dalam tradisi nusantara disiratkan makna seseorang yang benar-benar bisa tidak pernah merasa dirinya bisa. Konsepsi ini sejalan dengan filsafat Sokrates yang menyatakan bahwa, “Aku tidak tahu, oleh karena itu aku selalu mencari tahu”. Demikian juga dalam paribahasa Indonesia, “ibarat padi semakin berisi semakin merunduk”. Prinsip sakti tanpa aji dapat di seseorang yang berpengentahuan akan menampakkan dirinya sebagai orang yang tidak berpengetahuan. Filsafat yang erat dengan prinsip ini adalah, “kosong berisi”. Dalam konteks kepemimpinan pembelajaran upanisasd guru bina . Prinsip sakti tanpa aji , dinyatakan sebagai ,”jadilah diri apa adanya tanpa ada apanya”.
Dengan demikian, ke lima prinsip kepemimpinan pembelajaran upanisad guru bina, yaitu : 1) mulai dengan keteladanan, 2) bangkitkan semangat dalam diri, 3) tumbuhkan motivasi, 4) beri ruang untuk kemandirian, dan 5) ciptakan rasa tidak merasa berilmu walau berilmu.
#Salam GerakanSekolahMenyenangkan
#satuguru.id
#RamaBali