Bijakkah Putusan MK tentang Kampanye di Sekolah?

 Bijakkah Putusan MK tentang Kampanye di Sekolah?

Oleh: Hery Setyawan, M.Pd.

 

Perhelatan pemilu 2024 tinggal menghitung bulan. Akan tetapi, persiapannya sudah dimulai. Beberapa partai politik sudah melakukan manuver; saling mendukung salah satu calon dan mendukung safari politik ke setiap daerah. Semua itu dilakukan agar partai dan calonnya mendapatkan suara pada pemilu 2024. Hal tersebut merupakan hal yang wajar karena partai politik ingin mendapatkan suara masyarakat dengan tujuan memperoleh jabatan yang sesuai.

Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum, kampanye pemilu adalah kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, dan citra diri peserta pemilu. Sementara itu, pelaksana kampanye pemilu dapat dilakukan oleh peserta pemilu untuk melakukan kegiatan kampanye pemilu. Artinya, partai politik bisa melakukan kampanye menjual dan menawarkan program kepada masyarakat luas di tempat yang strategis. Metode yang digunakannya pun bisa melalui kampanye lisan atau tulisan yang memuat visi, misi, program, dan/atau informasi lainnya berupa simbol atau tanda gambar peserta pemilu. Hal itu dilakukan agar masyarakat mau memilih mereka pada saat pemilu nantinya.

Hari ini, kampanye politik bisa masuk ke sekolah. Apakah Anda setuju dengan hal tersebut? Kampanye politik masuk ke sekolah ternyata tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-XXI/2023. Menurut putusan MK tersebut, peserta pemilu diperbolehkan berkampanye pada fasilitas pemerintah dan pendidikan sepanjang tidak menggunakan atribut kampanye. Tentunya hal ini bisa menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan seharusnya menjadi tempat yang netral dari pengaruh politik. Siswa dapat belajar mengembangkan diri dan mengeksplorasi berbagai gagasan tanpa harus mendapatkan tekanan dari kampanye politik. Ketika sekolah menjadi tempat berkampanye, muncullah perbedaan pandangan yang dapat membuat siswa merasa termarginalisasi dan terintimidasi karena perbedaan pandangan politiknya. Dampak yang timbul di sekolah adalah munculnya perpecahan di kalangan siswa.

Ketika siswa dihadapkan dengan pandangan politik yang berbeda, tanpa arahan dan masukan dari guru, sekolah akan menjadi tempat berperangnya siswa karena perbedaan pandangan politiknya. Bukan hanya itu, kampanye politik di sekolah berpotensi mengganggu proses kegiatan  belajar mengajar. Siswa tidak lagi fokus kepada materi pembelajaran yang diberikan oleh guru, tetapi lebih mementingkan materi politik saat kampanye. Dengan demikian, hal tersebut dapat merugikan perkembangan akademik siswa.

Putusan MK yang membolehkan sekolah menjadi tempat kampanye politik bukanlah langkah yang bijak. Seharusnya, siswa dibekali pendidikan politik yang seimbang dan objektif. Hal itu dapat dilakukan dengan memasukkan materi politik ke dalam muatan kurikulum tanpa membuka ruang bagi kampanye politik di sekolah. Selain itu, guru juga dapat mendorong pemahaman demokrasi, hak asasi manusia, dan keterampilan berpikir kritis lebih relevan melalui pembelajaran pendidikan Pancasila daripada membawa siswa masuk ke dalam politik praktis.

*PW Satuguru.id Provinsi DKI Jakarta, Guru PPKn dan Wakil Kesiswaan SMP Negeri 42 Jakarta, CGP Angkatan 8 Jakarta Utara

Spread the love

Related post

3 Comments

  • Kalau di sekolah rasanya belum tepat untuk jadi ajang kampanye parpol terutama sekolah swasta karena yg punya sekolah biasanya pengurus parpol. Kalau di kampus mungkin bisa karena mereka sdh dewasa dan kritis.

  • Berkampanye ke sekolah… Why Not. Akan tetapi, saat ini mungkin belum pas. Dampak negatifnya lebih besar daripada positipnya. Sebagai pemilih pemula, KPU yang seyogyanya mempunyai program memberikan pendidikan politik kepada peserta didik.

  • Pembelajaran politik itu penting. Tapi tidak boleh memihak. Bersifat netral.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *