Kembalikan Makna Wisuda ke Khitahnya
Yadi Mulyadi
Ada sebuah tanya yang mendalam yang dilontarkan seorang ibu ke saya. Menurutnya, seberapa pentingkah wisuda bagi peserta didik yang masih duduk di jenjang SMP? Saya tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut. Dalam pikiran masih berkelindan acara yang dulu pernah dirasakan ketika SMP.
Waktu itu, kami hanya datang ke sekolah dengan pakaian seragam SMP. Ada beberapa teman yang diantar oleh orang tuanya dan walinya. Saya termasuk ke dalam kelompok besar siswa yang datang sendiri, tanpa disertai siapa pun. Acara perayaan tersebut diselenggarakan pihak sekolah di lapangan sekolah dengan seluruh sumber daya yang ada. Siswa yang mengikuti ekstrakurikuler seni, saatnyalah pertunjukan yang memukau semua orang. Siswa yang memiliki talenta lainnya, mereka berunjuk keterampilannya di sebuah panggung. Sebuah perayaan yang memukau, sederhana, dan memberikan kesan tersendiri di benak siswa.
Pada dasarnya, perayaan tersebut diselenggarakan secara sederhana, tetapi memiliki nuansa makna yang begitu mendalam bagi siswa. Semua siswa menikmati acara tersebut tanpa mengurangi kesakralan acaranya.
Berbeda dengan dunia sekarang, ingar bingar acara perpisahan/pelepasan– dengan istilah wisuda– di seluruh jenjang pendidikan dasar dan menengah. Di tengah penyelenggaraannya, banyak yang menyayangkan prosesi wisuda tersebut. Ada orang tua siswa yang sedih karena tidak memiliki biaya yang besar untuk mengikuti wisuda yang diselenggarakan pihak sekolah. Di satu sisi, orang tua ingin melihat sukacita anaknya yang sudah menyelesaikan sekolahnya. Di sisi lain, kemampuan finansial orang tua tidak mendukung untuk mengikuti wisuda anaknya.
Mengapa sebagian orang tua tidak bisa mengikuti acara wisuda tersebut? Bayangkan saja, orang tua harus membayar sejumlah dana untuk perayaan wisuda tersebut. Tempat wisuda sangat beragam: ada yang dilakukan di sebuah gedung komersial, ada juga yang dilakukan di hotel. Mereka hanya mengurut dada dan berusaha menegarkan anaknya karena kesedihannya tidak bisa mengikuti acara wisuda sekolah tersebut.
Kondisi tersebut sangat miris. Apakah siswa PAUD, SD, SMP, dan SMA/SMK memahami makna mendasar dari sebuah wisuda? Awalnya, wisuda dilakukan sebagai prosesi kelulusan mahasiswa yang menempuh pendidikan tinggi (diploma, sarjana, dan pascasarjana). Ketika melakukan prosesi wisuda tersebut, mereka sudah memahami berbagai hal terkait hal tersebut. Baju hitam yang dipakainya merupakan sebuah simbol misteri kehidupan yang sudah mereka taklukkan ketika menjalani perkuliahannya. Sementara itu, topi yang digunakan berbentuk segi lima yang menggambarkan pikiran rasional dalam memandang segala sesuatu berdasarkan sudut pandang yang beragam. Hal ini menyiratkan bahwa seorang yang sudah menyandang gelar pendidikan tinggi tidak lagi menggunakan kerangka berpikir yang sempit dari satu sudut pandang.
Begitupun dengan prosesi pemindahan kuncir(tassel) yang terdapat dalam topi segi lima dari kiri dan kanan. Hal tersebut bermakna simbolik bahwa pada hari itu, ia sudah selesai dengan beragam teori yang dipahaminya. Selanjutnya, ia harus beralih dari pemahaman teoretis ke dalam tataran implementasi dalam rangka mengamalkan pengalaman teoretisnya ke dalam dunia sesungguhnya.
Adakah seluruh peserta didik pendidikan dasar dan menengah mengetahui makna tersebut? Naga-naganya, penyelenggara lembaga pendidikan pun tidak mengetahui makna sesungguhnya prosesi wisuda tersebut?
Acara prosesi perpisahan/pelepasan siswa di berbagai jenjang pendidikan dasar dan menengah seyogianya dicermati kembali kebermanfaatannya. Penyelenggaraan acara besar yang seharusnya dimaknai sebagai bentuk perenungan mendalam ternodai dengan kesedihan orang tua yang tidak bisa mengikutsertakan anaknya karena masalah finansial.
Padahal, hal penting yang mendasar adanya acara perpisahan/pelepasan siswa (kini bergeser maknanya menjadi wisuda) adalah sebuah momen perpisahan yang berharga ketika bersama-sama menempuh pendidikan dalam tiap jenjang. Bagi siswa yang lulus SD, mereka akan merasakan kesan bahkan kerinduan yang mendalam tentang perpisahan dengan teman atau sahabatnya, kehilangan guru yang selama ini mendidik mereka. Bagi siswa yang lulus dari SMP dan SMA/SMK, momen perpisahan tersebut merupakan sebuah refleksi tentang perjuangan menyelesaikan pendidikannya dengan beragam peristiwa yang terjadi. Sebuah ingatan tentang perkenalan dengan teman yang beragam latar belakang, rasa senang ataupun jengkel, sebuah ketakutan yang, hingga goresan sukacita dan duka yang begitu tertanam ketika menjalin sebuah persahabatan yang begitu intens.
Alangkah bijaknya jika setiap lembaga pendidikan memperhatikan hal tersebut. Ketika menyelenggarakan sebuah prosesi perpisahan, buatlah acara dengan sederhana. Bentuk perayaannya bisa dilakukan di sekolah dengan cara melibatkan siswa yang setiap tahun terlibat dalam bentuk perayaan belajar. Terlebih, dengan adanya perayaan belajar profil pelajar Pancasila yang senantiasa diadakah sekolah setiap tahunnya. Beragam persiapan pementasan seni, mulai dari persiapan, dekorasi panggung perayaan, hingga ornamennya dipersiapkan secara sederhana oleh siswa dengan bimbingan guru di sekolah. Bukankah nanti jenis perayaan perpisahan/pelepasan siswa akan sesuai dengan karakteristik siswa di setiap jenjangnya?
Sebuah perayaan besar yang dilakukan oleh lembaga pendidikan jangan menyisakan kesedihan yang mendalam bagi siswa yang tidak mampu secara finansial. Buatlah acara perpisahan/pelepasan siswa secara sakral, tetapi tidak menjadi ajang pamer siswa dengan pakaian mewah, dandanan yang menor, bahkan karena hanya mengikuti tren untuk menaikkan prestisius lembaga pendidikan.
Toga hitam dengan topi bersegi lima disertai dengan pergeseran kuncir jangan sampai membebani siswa. Terlebih, prosesi wisuda tersebut dilakukan di sebuah gedung komersial dan hotel hanya untuk mengejar tren kekinian. Semoga, prosesi wisuda kembali kepada khitahnya yang merepresentasikan simbol kelulusan di jenjang pendidikan sehingga dapat mengimplementasikan beragam pemahaman secara teoretis di dalam kehidupannya.
*Praktisi pendidikan