PUPUS ASA DI UJUNG JENJANG
Oleh : Muhammad Nurdin, S.Pd
Dalam sebuah kesempatan, sekolah saya melaksanakan sosialisasi terkait “ Anak Tidak Sekolah ( ATS ), ini dilaksanakan untuk menindaklanjuti hasil sosialisasi yang dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan melalui pengawas sekolah di masing-masing wilayah. Ternyata berdasarkan informasi dari sosialiasasi itu didapatkan data yang cukup mencengankan sesuai dengan hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK ) khusus Kabupaten Pangkep kurang lebih 200 orang Anak Tidak Sekolah ( ATS ). Namun, demikian angka ini menurut asumsi penulis hanyalah sebuah fenomena “Gunung Es” artinya yang tidak nampak jauh lebih banyak dari pada yang nampak.
Mengutip catatan pembuka dari buku “Sekolah Itu Candu“ cetakan ke-12 yang ditulis oleh Roem Topatimasang yang diterbitkan oleh INSISTPress, dalam kalimat pembuka sebagai awal dari lembaran buku itu, “dan untuk mereka yang faham dan percaya bahwa sekolah hanyalah satu tempat singgah, menghabiskan waktu luang yang tersisa, sekedar bersuka-ria selagi usia masih muda.”
Apa sebenarnya Anak Tidak Sekolah (ATS) itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), pengertian putus sekolah adalah siswa yang belum sampai tamat sekolahnya sudah berhenti. Anak putus sekolah merupakan suatu kondisi anak yang tidak bisa melanjutkan sekolah formalnya mulai pada tingkat dasar, lanjut dan seterusnya karena adanya faktor yang menghambat. Pengertian lain menyebutkan bahwa putus sekolah adalah anak yang berusia 15 sampai dengan 18 tahun yang gagal sebelum menyelesaikan sekolahnya tidak memiliki ijazah atau surat tanda tamat belajar. Ini juga terjadi karena sikap dan perlakuan orangtua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak tanpa memperhatikan hak mereka untuk melanjutkan sekolahnya.
Seperti yang terjadi di sekolah tempat penulis mengabdi, keinginan orang tua siswa cukup tinggi untuk menyekolahkan anaknya, namun dalam perjalanannya, di ujung jenjang motivasi anak menurun untuk melanjutkan pendidikan dan pada saat mereka ditanya, tentang kelanjutan sekolahnya. Mereka menjawab, “Saya akan melanjutkan sekolah di satuan pendidikan Paket saja!”
Memang di sekolah penulis telah dibuka pendidikan kesetaraan untuk jenjang Paket B dan Paket C. Ini pun bagaikan buah simalakama karena program keseteraan ini merupakan salah satu harapan di lingkungan masyarakat tersebut. Jika menolak anak mereka tentu akan menjadi permasalahan tersendiri bagi penulis yang telah menjadi bagian dari pendidikan kesetaraan tersebut pun jika menerima maka secara tidak langsung melawan regulasi yang ada. Padahal program ini untuk memberikan layanan bagi anak-anak usia sekolah yang tidak sekolah atau orang dewasa yang belum pernah memiliki kesempatan untuk belajar di pendidikan formal pada masa dia usia sekolahnya.
Yang menjadi faktor anak tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya bukan karena faktor ekonomi saja tapi karena kurangnya kesadaran orang tua mereka, apalagi jika anak mereka sudah mampu membantu keluarga mencari nafkah. Dalam pengamatan penulis juga karena faktor anak itu sendiri tidak ingin melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya.
Sesungguhnya ada yang melanjutkan ke jenjang berikutnya tapi sangat kecil jumlahnya. Namun, inilah tugas sekaligus tantangan penulis bersama dengan steakholder sekolah untuk mengubah paradigma berpikir masyarakat karena pada umumnya orang tua mereka berada dalam kategori putus sekolah yang secara umum hanya tamat SD. Salah satu upaya yang sedang dilakukan adalah melakukan sosialisasi dan kunjungan rumah untuk membuka ruang kesadaran mereka bahwa menuntut ilmu itu wajib dan menjadi bagian dari ibadah, serta menjadi kewajiban bagi orang tua untuk memenuhi hak-hak anak mereka melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya.