Membenahi Langkah dalam Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
NELSON Mandela, seorang tokoh peraih nobel perdamaian dunia dari Afrika Selatan menyatakan bahwa pendidikan adalah senjata paling ampuh yang dapat digunakan untuk mengubah dunia. Menurutnya, pendidikan adalah kunci untuk menghilangkan ketidaksetaraan gender, untuk mengurangi kemiskinan, untuk menciptakan kehidupan yang berkelanjutan, untuk mencegah kematian dan penyakit yang tidak perlu, dan untuk memupuk perdamaian. Pendidikan merupakan kunci kemajuan sebuah bangsa dan negara.
Judul dari esai ini mengambil sebagian kutipan dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, hukum dasar tertulis dan konstitusi pemerintahan negara Republik Indonesia. Seharusnya program mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi prioritas bagi siapa pun yang ditunjuk untuk menjalankan roda pemerintahan. Tulisan ini ingin mengupas sejauh mana keberhasilan pemerintah Indonesia dalam menjalankan program tersebut terlepas dari rezim mana yang berkuasa.
Setiap tahun, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan 20% dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan jumlahnya terus meningkat. Anggaran pendidikan yang dibagi ke beberapa Kementerian dan Pemerintah Daerah dalam bentuk Transfer Daerah pada 2014 sebanyak Rp367,02 triliun dan terus meningkat hingga Rp665 triliun pada 2024. Walaupun demikian, meningkatnya anggaran pendidikan tidak berarti meningkatkan mutu pendidikan kita seperti yang sudah dikaji oleh Bank Dunia sejak tahun 2013 dalam sebuah tulisan berjudul Spending More or Spending Better: Improving Education Financing in Indonesia.
Di tingkat internasional, pendidikan Indonesia menempati sejumlah posisi buncit. Peringkat Programme for International Student Assessment (PISA) atau Program Penilaian Pelajar Internasional tahun 2022, Indonesia berada di urutan 69 dari 77 negara. PISA mengukur tiga kemampuan yakni matematika, sains, dan membaca bagi siswa yang berusia 15 tahun, sayangnya skor PISA Indonesia semakin turun untuk ketiga kemampuan tersebut.
Begitu juga untuk peringkat penilaian matematika dan sains di level internasional atau Trends in International Mathematics and Science Study (TIMS) menempati posisi 40 dari 42 negara. Kalah jauh dibandingkan negara-negara tetangga kita. Laporan dari badan pendidikan, sains dan budaya Perhimpunan Bangsa-bangsa (PBB) yakni UNESCO menyebutkan hanya satu dari 1.000 orang Indonesia yang memiliki minat baca serius yang berakibat di tingkat literasi bangsa Indonesia yang menduduki peringkat 60 dari 61 negara menurut kajian dalam World Literacy yang dibuat oleh Central Connecticut State University. Di pendidikan tinggi, peringkat universitas juga tidak lebih baik dari pendidikan dasar, data QS World University Ranking menempatkan perguruan tinggi di Tanah Air di urutan 39 dari 50 negara dan Universitas21 di peringkat 50 dari 50 negara. Beberapa artikel tentang pendidikan Indonesia cukup menyayat hati seperti: Anak Indonesia Tidak Tahu Betapa Bodohnya Mereka; Ternyata 42% Anak Indonesia Tidak Ada Gunanya; Indonesia Negara Kumpulan Anak Dungu, yang merupakan tulisan Elizabeth Pisani seorang penulis berkebangsaan Amerika Serikat. Kajian dari Centre for Education Economics dari Inggris yang dipublikasikan tahun 2018 yang lalu juga menyatakan bahwa anak Indonesia siap menghadapi abad 21 di abad 31 karena adanya komplasensi artinya menganggap semua baik-baik saja alias adanya kepuasan diri yang tinggi dengan kondisi yang ada dan program pemerintah bidang pendidikan yang itu-itu saja, istilah mereka BAUWMM (Business as Usual with More Money) alias programnya sama tapi anggarannyat ditambah terus, hanya nama saja diubah.
Data yang terpampang dalam situs web Rapor Pendidikan yang dibuat oleh Pusat Asesmen Pendidikan (Pusmendik) – Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) dari hasil Asesmen Nasional (AN) atau Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) tahun 2022 menyebutkan bahwa kurang dari 50% siswa telah mencapai batas kompetensi minimum untuk literasi membaca di tingkat SD dan SMP secara nasional, sementara di level SMA/K sebagian besar siswa telah mencapai batas kompetensi minimum untuk literasi membaca namun perlu upaya mendorong lebih banyak siswa menjadi mahir. Untuk numerasi, kurang dari 50% siswa telah mencapai batas kompetensi minimum pada tingkat SD, SMP, dan SMA/K secara nasional. Hasil capaian tersebut sungguh ironis apabila dibandingkan dengan puluhan ribu triliun uang rakyat yang telah digelontorkan sejak adanya UU no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Begitu juga dengan rerata nilai Ujian Nasional (UN) SMP yang terus mengalami penurunan dari 61,81 pada tahun pelajaran 2014/2015 turun menjadi 50,80 pada tahun pelajaran 2017/2018. Hal serupa juga dialami rerata nilai UN SMA/MA dari 58,27 pada 2014/2015 turun menjadi 50,80 pada tahun ajaran 2017/2018. Untuk SMK juga mempunyai kecenderungan serupa yakni terus turun dari 62,15 pada 2014/2015 menjadi 45,21 pada 2017/2018. Meskipun Kemendikbud Ristek selalu berargumentasi bahwa penurunan rerata UN dikarenakan pelaksanaan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) yang lebih mengedepankan integritas. Namun, pembiaran tersebut tanpa ada perubahan dalam sistem maupun proses merupakan suatu penurunan dalam mutu pendidikan.
Rendahnya mutu pendidikan Indonesia ini, berdampak pada karakter siswa. Masyarakat sungguh terkaget-kaget melihat beraninya seorang siswa menantang dan mencekik guru ketika ditegur. Kita juga terheran-heran melihat bagaimana siswa masa kini berani mengolok-ngolok gurunya sendiri. Dan kita juga tak bisa mempercayai, bagaimana seorang murid memukul gurunya hingga meninggal dunia. Semua ini merupakan hasil sistem pendidikan nasional. Tahun 2022 yang lalu, Digital Civility Index (DCI) yang dirilis oleh Microsoft menempatkan warganet Indonesia sebagai warganet yang paling biadab/tidak sopan se-Asia Pasifik, ini adalah antitesa pendidikan yang berlandasakan Pancasila. Mutu pendidikan di sini tidak berhenti pada kondisi murid saja, tetapi juga guru, tata kelola, kurikulum, sarana dan prasarana.
Mutu pendidikan yang rendah berdampak langsung dalam kehidupan masyarakat, seperti mudahnya percaya dengan kabar bohong tanpa menganalisanya lebih lanjut. Hal ini muncul pada kajian OECD di tahun 2021 yang menunjukkan bahwa anak Indonesia adalah kelompok yang paling tidak mampu membedakan antara fakta dengan opini karena tidak mampu mencari referensi yang kredibel. Mutu pendidikan yang rendah juga berdampak pada banyaknya siswa yang intoleran. Riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah menyebutkan sebanyak 43,88% mahasiswa dan pelajar. Padahal, menurut seorang wanita tuna netra sekaligus tuna rungu pertama yang memiliki gelar sarjana, Helen Keller, pencapaian tertinggi dari proses pendidikan adalah toleransi.
Rendahnya mutu pendidikan ini juga berakibat pada masalah ketenagakerjaan, contohnya banyak sekolah Satuan Pendidikan Kerja Sama (SPK), dulu dikenal dengan sekolah internasional atau sekolah nasional plus, yang memilih guru dari luar negeri dibandingkan guru lokal karena sulit menemukan yang memenuhi standar sekolah tersebut.
Perbaikan Mutu Pendidikan Indonesia
Untuk membenahi mutu pendidikan bukanlah hal yang bisa dilakukan sekejab mata. Dalam tulisan ini, ada beberapa hal yang perlu dibenahi oleh pemerintah. Pertama, perlu adanya evaluasi terhadap anggaran pendidikan. Total anggaran yang sudah digelontorkan untuk bidang pendidikan sejak 2014 hingga 2024 saja sudah mencapai Rp4.960,77 triliun. Sangat besar anggarannya tapi pengelolaannya berbeda dengan anggaran yang digunakan untuk infrastruktur, di mana telah dievaluasi oleh berbagai pihak. Bahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani kerap kali mengatakan bahwa penggunaan anggaran pendidikan belum optimal. Pemerintah Daerah sendiri dibiarkan untuk melanggar UUD 1945 pasal 31 ayat 4 dan UU no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 49 dimana mereka wajib untuk mengalokasikan minimal 20% dari APBD diluar gaji pendidik , data diambil dari Neraca Pendidikan Daerah (https://npd.kemdikbud.go.id)
Kedua, memperluas konsep pendidikan yang tidak sebatas persekolahan saja. Ki Hadjar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan kita mengatakan bahwa ekosistem pendidikan yang ideal itu harus terdiri dari tiga (3) sentra: rumah; sekolah; masyarakat.
Harus diakui bahwa selama ini rumah-rumah orang Indonesia belum dijadikan sebagai sentra pendidikan bahkan para orang tua banyak sekali yang memiliki konsep alih daya (outsourcing) karena kurangnya kepercayaan diri dalam mendidik buah hatinya. Anak dikirimkan ke pesantren atau asrama, pasrahkan urusan pendidikan kepada sekolah, pulang sekolah serahkan ke guru les/bimbingan belajar, semua berujung ke skor/angka di sekolah bahkan sampai menghalalkan segala cara seperti kasus yang baru saja terungkap di Universitas Lampung dan Universitas Udayana.
Kasus yang serupa bahkan terjadi di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Banyak orang tua akan menghalalkan segala cara agar anaknya diterima di lembaga pendidikan tertentu. Ini yang sangat bertentangan dengan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Alih-alih mendidik agar anak berintegritas, jujur, bekerja keras, beretika, yang muncul justru bagaimana menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Logikanya, jika masuknya dengan cara ‘nyogok’ pasti lulusnya juga dengan cara yang sama. Apakah ini yang akan kita siapkan sebagai generasi penerus bangsa? Apakah ini yang kita impikan sebagai Indonesia Emas?
Dengan demikian, pendidikan di rumah dan di masyarakat harusnya mendapatkan porsi yang seimbang dengan pendidikan di sekolah. Dua hal ini adalah yang belum terlaksana dengan baik dalam Sistem Pendidikan Nasional yang berlaku saat ini dan tampaknya dalam draf RUU Sisdiknas yang baru juga belum terakomodasi. Harus kita pahami bersama yang disusun adalan Sistem Pendidikan Nasional bukan Sistem Persekolahan Nasional.
Ketiga, belum terbukanya akses pendidikan. Meskipun ada Kartu Indonesia Pintar (KIP), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), bahkan KIP Kuliah untuk perguruan tinggi, namun persentase peningkatan Angka Partisipasi Murni (APM) kurang dari satu persen pertahun dalam kurun waktu delapan tahun terakhir. Apa penyebabnya? Tak lain karena sekolah negeri didominasi siswa dari golongan ekonomi atas, serta pembangunan unit sekolah belum berdasarkan data. Banyak daerah yang daya tampung sekolah diatas jumlah siswa usia sekolah.
Adanya KIP yang diluncurkan pada 2014, tidak terbukti meningkatkan APM. Untuk SD, kenaikan hanya 0,77 persen sejak 2014, SMP yakni 0,87 persen, dan SMA sederajat hanya 0,92 persen berdasarkan data BPS. KIP memang meningkatkan jumlah siswa yang bersekolah, tapi secara persentase hanya dibawah satu persen. Jumlah yang tidak signifikan dibandingkan dengan anggarannya.
Sebaiknya pemerintah didorong untuk berkonsentrasi untuk memenuhi Wajib Belajar 9 tahun dengan langkah-langkah yang kreatif dan inovatif. Langkah-langkah yang bisa diambil antara lain: membuka sekolah piagam (charter school) yaitu sekolah yang 100% biayanya dari pemerintah tetapi penyelenggara dan sarana/prasarana pendidikan berasa dari pihak swasta; menjadikan sekolah negeri menjadi sekolah negara yang statusnya sebagai satuan kerja instansi pemerintah (satker) sehingga pembiayaan sesuai dengan kebutuhan bukan berdasarkan jumlah siswa; membangun sekolah-sekolah berasrama untuk peserta didik yang berada di daerah terpencil; dan lain sebagainya. Jika ada perubahan nyata, maka Angka Partisipasi Murni (APM) akan meningkat.
Keempat, tata kelola guru perlu perbaikan. Rasio guru dan murid kita lebih unggul dibandingkan negara lain. Untuk SD, rasio guru dan murid 1:14 atau dengan kata lain, satu guru mengajar 14 siswa. Untuk SMP dan SMA rasionya adalah 1:15, dan rasio guru dan murid untuk SMK lebih unggul lagi yakni 1:6. Rasio ini hanya kalah dibandingkan Jepang, tapi dibandingkan Singapura, Amerika Serikat, Tiongkok, Indonesia jauh lebih unggul. Sayangnya, rasio siswa dan guru berhubungan dengan biaya, namun tidak dengan hasil pembelajaran.
Bahkan data dari Kemendikbud (2015) menyebutkan pertumbuhan jumlah siswa di lembaga pendidikan dasar menengah selama kurun waktu 1999 hingga 2015, sebesar 17%. Disisi lain dalam kurun waktu yang sama, pertumbuhan guru PNS sebanyak 23 persen dan guru honorer 860%. Atau dengan kata lain, pertumbuhan tenaga pendidik melampau peserta didik. Sayangnya langkah yang diambil pemerintah justru merekrut 1 juta guru PPPK, yang tentu saja berantakan karena tanpa kajian dan koordinasi yang baik.
Selain itu, kompetensi guru pun harus mendapatkan perhatian lebih. Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) hanya guru di 10 provinsi yang memiliki nilai diatas rata-rata 56,69. Lainnya nilai UKG dibawah rata-rata. Pertanyaannya, bagaimana mungkin anak-anak kita diajar oleh guru-guru yang kompetensinya dibawah rata-rata. Laporan ACDP Indonesia menyebutkan mendekati 14 persen guru di Tanah Air bolos mengajar.
Yang kelima, perlu dilakukan evaluasi terhadap Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Selama ini, lulusan LPTK jauh lebih banyak dibandingkan yang diserap oleh dunia pendidikan. Misalnya dari 300.000 lulusan yang dihasilkan LPTK setiap tahunnya, yang diserap kurang dari separuhnya yakni sekitar 120.000 lulusan. Ini menunjukkan dalam membuat kebijakan tidak disesuaikan dengan kebutuhan. LPTK juga tidak hanya sekedar meluluskan tenaga pendidik, tetapi menghasilkan tenaga pendidik yang kompeten, melakukan sertifikasi tenaga pendidik, hingga inovasi pembelajaran di era Revolusi Industri 4.0 untuk menyongsong kehidupan masyarakat (society) 5.0.
Keenam, sarana dan prasarana pendidikan juga mengalami kendala. Sebanyak 75% sekolah di Indonesia tidak memenuhi standar layanan minimal pendidikan. Bagaimana berbicara menghadapi tantangan masyarakat 5.0 yang berbasis digital, jika ANBK saja belum bisa 100 persen, server selalu bermasalah, akses listrik dan internet belum merata diseluruh sekolah. Kesulitan pelaksanaan pembelajaran selama pandemi harusnya segera dicarikan solusinya. Daftar barang yang tercantum dalam Dana Alokasi Khusus banyak memiliki spesifikasi yang sudah kadaluwarsa artinya sudah ketinggalan zaman, disini menunjukkan bahwa pemerintah sendiri tidak tahu kebutuhan peralatan pendidikan yang sesuai dengan eranya. Pemerintah dapat meniru negara-negara lain yang setiap tahun selalu menyelenggarakan pameran peralatan pendidikan sehingga produsen dapat menunjukkan teknologi termutakhir untuk melengkapi sarana dan prasarana lembaga pendidikan. Data Pokok Pendidikan (dapodik) juga memiliki kendala. Hal-hal tersebut diatas perlu mendapatkan perhatian lebih.
Ketujuh, tupoksi antar lembaga pelaksana pendidikan nasional masih belum jelas. Misalnya untuk masalah sentralisasi atau otonomi daerah, kalau otonomi daerah mengapa madrasah masih dibawah pemerintah pusat melalui Kementerian Agama. Sementara kalau sentralisasi, mengapa Kemendikbud Ristek tidak punya otoritas mengatur guru. Pemerintah daerah juga tidak memiliki program sendiri, cenderung meniru Kemendikbud Ristek. Selain itu, pemerintah daerah lebih memilih berkoordinasi dengan Kemendagri dibandingkan Kemendikbud Ristek. Salah satu ide yang dapat diterapkan adalah menempatkan Kemendikbud Ristek sebagai compliance agent atau Lembaga penjamin mutu pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah dibandingkan dengan kondisi sekarang yang tumpang tindih tupoksinya.
Merujuk pada Peraturan Presiden No 76 Tahun 2023 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2024, anggaran pendidikan yang jumlahnya 20% (dua puluh persen) dari APBN, ternyata hampir separuh dari anggaran pendidikan dialokasikan untuk 22 kementerian dan lembaga negara yang tidak mengurusi bidang pendidikan sama sekali. Dan alokasi anggaran tersebut tidak pernah dijabarkan dalam Sistem Pendidikan Nasional baik pada UU No 20 Tahun 2003. Ironisnya, Kementerian Keuangan dan Kementerian PPN / Bappenas yang menyusun alokasi anggaran pendidikan tidak disebutkan dalam sistem pendidikan nasional. Dengan kata lain anggaran pendidikan Indonesia berada di luar Sistem Pendidikan Nasional.
Kondisi tersebut menunjukkan kalau Indonesia masih menerapkan Multi Sistem Pendidikan Nasional yang tentunya bertentangan dengan konstitusi. Seyogyanya, Sistem Pendidikan Nasional harus ditata ulang sesuai dengan amanat konstitusi yang diselenggarakan dalam satu sistem saja. Perlu sebuah langkah out of the box tanpa menggunakan kerangka yang sudah ada, misalnya dengan menggunakan sistem distrik sekolah. Distrik sekolah adalah lembaga pemerintah yang tugasnya khusus mengurusi sekolah dibuat berdasarkan wilayah tetapi berbeda dengan batas kota/kabupaten, dan manajemen lembaga ini terlepas dari komando pemerintah kota / kabupaten (bukan seperti dinas pendidikan). Orang-orang yang dipilih untuk mengelola lembaga ini adalah para profesional di bidang pendidikan sehingga bukan jabatan karir maupun politik.
Kedelapan, untuk meningkatkan mutu pendidikan, menurut saya, kita perlu menciptakan ekosistem pendidikan yang cerdas. Contohnya penyerapan anggaran bukan semata menjadi target pemerintah melainkan mutu yang harusnya menjadi target. Kita lihat dengan program KIP atau BOS, anggaran terserap tapi tidak ada evaluasi sampai saat ini. Pelayanan pendidikan harus dilakukan secara profesional, sehingga tidak ada lagi alasan server yang down untuk dapodik, ANBK, maupun UTBK. Informasi yang diberikan pun harus cepat dan akurat. Perlu didorong lebih banyaknya riset dari lembaga pendidikan untuk meningkat secara signifikan baik secara kuantitas maupun kualitas. Selanjutnya dalam menciptakan ekosistem pendidikan yang cerdas dengan pengembangan profesi yang bermutu, kebijakan yang menstimulasi terbentuknya ekosistem tersebut seperti mencetak buku sangat murah (India), juga seperti Malaysia dan Singapura yang membebaskan pajak untuk impor peralatan pendidikan.
Intinya perlu pembaharuan sistem pendidikan nasional karena UU no.20 tahun 2003 ini sudah tidak up to date lagi karena secara nyata belum mampu mewujudkan amanat konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan UU ini dibuat sebelum adanya konsep pembelajaran untuk menghadapi tantangan masyarakat 5.0 yang meliputi digitalisasi, metaverse, Internet of Things (IoT), kecerdasaan buatan (Artificial Intelligence), digital twins, pendidikan STEAM, dan lain sebagainya. Sistem pendidikan yang baru ini harus memiliki cetak biru (grand design) yang mumpuni sehingga tidak akan dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik baik di pusat maupun daerah.
Berita baiknya, revisi UU Sisdiknas sudah masuk kedalam prolegnas prioritas namun diprediksi tidak akan selesai pembahasan pada tahun 2024 apalagi rancangan yang dibuat pemerintah banyak mendapatkan penolakan dari berbagai pihak karena tidak adanya partisipasi publik yang bermakna dalam penyusunan dan sepertinya banyak hal yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Untuk itu dibutuhkan orang-orang yang paham dan memiliki kepakaran dalam bidang pendidikan sebagai anggota legislatif agar permasalahan diatas dapat teratasi minimalnya melalui delapan solusi yang tertulis dalam esai ini. Penulis merasa terpanggil untuk terjun langsung secara aktif dalam memimpin proses legislasi sistem pendidikan nasional yang lebih baik demi kemajuan dan kesejahteraan bangsa.
Kontestasi pemilihan presiden di tahun 2024 yang telah usai, memberikan bangsa Indonesia sebuah harapan besar pada presiden terpilih beserta kabinetnya untuk benar-benar peduli dengan kondisi pengembangan kualitas manusia di tanah air. Untuk itu dibutuhkan anggota DPR RI yang mampu melakukan pengawasan dan menjaga pemanfaatan uang rakyat khsusunya dalam bidang pendidikan agar efektif dan efisien. Semoga bidang pendidikan dijadikan prioritas utama program kerja pemerintah sehingga dapat mewujudkan amanat konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Terlebih lagi Indonesia akan diperkirakan akan mendapatkan bonus demograsi dimana usia penduduk produkti akan jauh lebih besar dari yang non produktif. Namun kondisi tersebut dapat berbalik menjadi bencana demografi apabila kualitas manusianya tidak disiapkan dari sisi karakter, daya juang, kapasitas, kompetensi, integritas, dan daya saingnya.
Sumber : Membenahi Langkah dalam Mencerdaskan Kehidupan Bangsa | Halaman 4 (sindonews.com)