Belajar dari 3 Negara yang Telah Berpindah Tangan
*Yadi Mulyadi, M.Pd.
”Ketika berkumpul dengan tukang minyak wangi, kita akan terbawa wangi. Ketika berkumpul dengan tukang asin, kita juga akan terbawa bau asin tersebut.” Itulah sebuah pemeo yang sudah ratusan, bahkan ribuan kali kita dengar. Namun, apakah hal tersebut terbenam dalam jiwa dan pikiran kita?
Acap kali, pemeo tersebut sering kita jadikan senjata kepada rekanan kita di saat terpepet. Kalau sudah bergaul dengan para cendekia, kita akan terbawa cendekia. Percayakah Anda dengan hal tersebut? Betul, pergaulan dengan para cendekia, melalui obrolan santai ataupun diskusi, akan membuat pemikiran kita terbuka tentang sesuatu hal. Namun, apabila pergaulan tersebut tidak disertai dengan kegiatan membaca, untuk menggali pengetahuan atau sesuatu yang baru dari lingkungan para cendekia tersebut, mustahil ilmu para cendekia tersebut akan masuk ke dalam otak kita.
Pada hakikatnya, membaca merupakan sebuah proses membentuk struktur berpikir logis. Itulah alasan para cendekia menganjurkan bahwa membaca harus menjadi kebiasaan. Membaca tak terbatas pada siapa pun, di mana pun, dan kapan pun. Begitupun dengan media yang dibacanya, apakah sumber referensi yang tercetak atau referensi yang tersaji secara digital.
Membaca seolah menjadi jembatan penghubung antarwaktu. Setiap saat, kita dapat berlari ke masa-masa keemasan Ir. Soekarno yang selalu berseloroh, ”Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenal sejarah.” Dalam sekejap, kita dapat melompati hari ini ke masa depan dengan berkomunikasi dan berteman dengan kecerdasan artifisial (AI) untuk meneropong hal-hal yang akan terjadi. Bukankah kita hari ini merupakan produk masa lalu kita? Dengan demikian, produk masa depan kita adalah keberadaan kita saat ini.
Apa dampak jika kita tidak membaca dan membuat diri kita seorang literat? Jika kembali ke masa lalu, kita akan ingat tentang tiga negara yang telah berpindah tangan kekuasaannya. Perpindahan tersebut akibat penduduk aslinya tidak suka membaca. Ya, ketiga negara itu adalah Selandia Baru, Amerika Serikat, dan Australia.
Suku asli Selandia Baru adalah Maori. Suku Maori tersingkir dari negaranya karena rendahnya minat baca masyarakat sehingga terinvasi oleh bangsa Eropa. Padahal, Suku Maori sudah ada sejak 1300 Masehi di wilayahnya. Mengapa hal ini terjadi? Pertama, Suku Maori tidak mampu melawan bangsa Eropa yang pada saat itu lebih maju literasi dan teknologinya. Kedua, Suku Maori tidak dapat beradaptasi yang membuat keberadaan mereka tersingkir hingga saat ini. Berdasarkan data Scoop Independent News (2022), populasi etnis Maori di wilayah tersebut hanya mencapai 16,7 persen. Sisanya? Tentu saja dikuasai oleh etnis Eropa yang sudah terlebih dahulu menjadi literat.
Serupa dengan Suku Maori di Selandia Baru, Suku Indian di Amerika Serikat lebih tragis. Sebelum era kolonialisme dan kedatangan bangsa Eropa ke negara super power tersebut, Suku Indian berkuasa di wilayah Amerika Serikat. Selain peristiwa perang dan wabah penyakit yang menyebabkan berkurangnya 1 juta populasi suku Indian, faktor utama tersingkirnya mereka adalah rendahnya budaya membaca dari Suku Indian. Hal ini terlihat dari data National Council on Aging (2022) yang menyatakan bahwa jumlah populasi suku Indian di Amerika Serikat sekitar 2,9% (9.7 juta orang).
Bangsa yang telah berpindah tangan terakhir adalah Australia. Kita ingat bahwa Suku Aborigin merupakan suku asli di Australia. Pada tahun 1788, Australia dijajah oleh bangsa Inggris. Seluruh tanah Suku Aborigin direbut oleh bangsa Inggris. Hal tersebut terjadi karena bangsa Inggris memiliki peradaban yang lebih maju dibandingkan suku Aborigin. Bangsa Inggris sudah terlebih dahulu mengenal aksara dengan budaya membaca yang tinggi sehingga berhasil membuat berbagai peralatan perang. Kesenjangan dari segi pendidikan hingga teknologi membuat Suku Aborigin semakin terpinggirkan. Bahkan, kesenjangan tersebut masih terjadi hingga saat ini.
Setelah berlari ke masa lalu, apakah kita di masa depan akan semakin literat? Kunci utama menciptakan peradaban adalah membaca. Membaca merupakan sebuah alat untuk memperbaiki kondisi dan memajukan suatu bangsa. Tanpa adanya ilmu pengetahuan, buku, dan kesadaran untuk membaca, peradaban suatu negara akan mengalami kemunduran, bahkan hancur.
Teringat ungkapan seorang cendekia dalam bidang membaca, Prof. Ahmad Slamet, bahwa daya nalar merupakan sumber daya utama yang dimiliki manusia untuk berkreasi dan beradaptasi sehingga mampu menstimulus kehidupan di era teknologi yang semakin kompleks dan berkembang. Akal manusia hanya akan berkembang secara optimal jika ditempa melalui pendidikan. Sementara itu, jantung dari pendidikan itu adalah kegiatan membaca.
*Pemerhati Pendidikan