Di Balik Kacamata Guru

 Di Balik Kacamata Guru

Profesi guru merupakan salah satu kekhasan humanis. Seorang guru sejatinya terlihat dalam tidak tutur katanya. Kharisma terlukis dalam disiplin dirinya. Diturunkannya kepada mereka yang diakui murid-muridnya.

Ia memegang erat prinsip-prinsip hidup dan kerja keras untuk kebaikan yang diajar. Meski kadang terlihat sangat agar murid belajar taat.  Maka seyogyanya seorang guru tulen adalah seorang jiwa yang disiplin. Ia dihormati dan disegani oleh semua.

Akhir-akhir ini semakin banyak artikel bermunculan membahas tentang kesehatan mental guru, menganjurkan campur tangan psikolog untuk membantu mengatasinya.

Istilah burnout semakin mewabah. Apakah sudah segenting itu? Apa iya mengajar bisa bikin stress?

Sejak bertahun-tahun lamanya, gelar Guru secara tradisi di dunia sangat dihargai. Ironisnya, belakangan dalam realitas dunia sekolah terjadi reduksi makna akibat subyektivitas cara pandang pelakon edukasi diluar guru yang menganggapnya harus serba bisa ini dan itu.

Memahami dari kacamata guru di jaman ini, guru tidak hanya mengajar mata pelajaran sesuai dengan latar belakangnya. Kerelaannya menggali hal-hal di luar kemampuannya mengajar beberapa mata pelajaran lainnya dianggap mutlak. Semua ini memanggil tugas-tugas administrasi berkepanjangan yang tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat.

Guru juga harus menyiapkan bahan-bahan ajarnya sendiri. Meski dapat menggunakan bantuan teknologi, terkadang modifikasi tetap harus dilakukan. Apalagi jika fasilitas sekolah tidak mendukung. Semua ini demi membuat proses belajar menyenangkan dan berarti bagi anak didiknya. Selain itu, penambahan tugas-tugas di luar mengajar lainnya seperti pengembangan program sekolah dan tugas ekstrakurikuler juga ambil bagian.

Selain bertanggung jawab dalam perkembangan akademik, di kelas guru juga harus mengamati perkembangan afektif murid. Tentu ini menjadi bagian dari tanggung jawabnya. Namun, dalam penyimpangan perilaku yang sering terjadi, guru yang menangani sendiri kerap merasa kelelahan dan memikirkan permasalahan anak didik secara berlebihan. Pada tahap permasalahan yang sama, jika segala usaha guru ini tidak dihargai oleh orangtua siswa yang bersangkutan, kelelahan guru berkelanjutan pada tingkat stress yang lebih tinggi. Apalagi jika Ia harus menerima celaan.

Guru banyak dibicarakan kurang mempersiapkan pengajaran, bisa jadi kelasnya sedikit banyak membosankan. Ia digunjingkan kurang meperhatikan murid-murid yang berjumlah puluhan di dalam kelasnya bahkan ratusan di beberapa kelas yang diajarnya.

Sulit menjalani tuntutan Guru seperti sejatinya Ia, yang berdisiplin dan bernilai diri sebagai teladan, karena sedikitnya waktu yang tersisa untuk memaknai arti seorang Guru dalam dirinya. Deadlines, tugas administrasi, organisasi program, dan sebagainya tidak terelakkan, sudah menjadi yang lebih utama dari mengajar itu sendiri. Kepenuhan ini telah mengubur dalam dalam kreativitasnya untuk berkarya. Tidak adil dan judgmental rasanya melihat kesusahan guru dinilai sebagai kelemahannya.

Maka, tampaknya yang bikin stress itu bukannya tugas utama guru mengajar, tetapi hal-hal di luar itu. Sedikit sekali penghargaan baginya dari berbagai segi. Namun, pada akhirnya seorang Guru dapat menerima beban pekerjaannya. Mengajar akan tetap berakar dalam hidupnya karena Ia adalah pejuang yang tulus.  Seperti Ralph Waldo Emerson mengatakan, “Mengajar adalah tujuan dan tugas abadi dari segala sesuatu”. (tnp)

*) Kumpulkan NFTs ekslusif Satuguru pada setiap artikel yang tayang di Satuguru.id, dimana dapat memberikan pemiliknya akses atau manfaat tertentu di kemudian hari. Mulai kumpulkan NFTs nya sekarang, dengan Klik Ikon LITE dibawah.

Spread the love

Yudhi Kurnia

redaksi@satuguru.id

Related post

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *