Bagaikan Ikan di Laut Tanpa Menjadi Asin

Dalam bentangan luas samudra, berjuta ikan berenang bebas di air yang asin. Namun, betapa menakjubkannya bahwa meski seumur hidup berada dalam air laut, daging ikan tetap tawar.
Fenomena sederhana ini mengandung pelajaran mendalam tentang bagaimana manusia seharusnya menjalani kehidupan.
Di dunia yang penuh tantangan, tekanan, dan pengaruh negatif, manusia sering kali diuji untuk mempertahankan integritas dan keasliannya. Seperti ikan di laut, kita hidup di lingkungan yang kadang keras — lingkungan yang mengajarkan kompromi atas nilai, pergeseran prinsip demi kenyamanan, atau hilangnya identitas karena derasnya arus perubahan.
Namun, bagaikan ikan yang tetap tawar, manusia yang kuat adalah mereka yang mampu bertahan dalam prinsipnya tanpa kehilangan jati diri. Mereka yang tidak larut dalam keburukan meskipun dikelilingi oleh ketidakadilan. Mereka yang tetap jujur meski berada di lingkungan yang menganggap kejujuran sebagai kelemahan. Mereka yang tetap rendah hati meski kesuksesan dan pujian bertubi-tubi datang.
Kemurnian karakter seperti itu bukan berarti menolak perubahan atau menutup diri dari dunia. Justru, seperti ikan yang beradaptasi dengan air asin tanpa kehilangan esensinya, manusia sejati adalah mereka yang mampu menyesuaikan diri dengan dunia tanpa menyerahkan nilai-nilai kebaikan yang mereka yakini.
Dalam setiap tantangan zaman modern ini — korupsi yang merajalela, budaya instan yang mengikis kesabaran, hingga informasi yang kadang membingungkan — kita dituntut untuk terus memilih: ikut larut atau tetap jernih.
Memilih untuk menjadi seperti ikan di laut tanpa menjadi asin adalah memilih jalan yang tidak selalu mudah, tetapi sangat mulia. Ini adalah jalan menjaga hati tetap bersih, pikiran tetap jernih, dan tindakan tetap setia pada prinsip kebaikan.
Karena pada akhirnya, bukan lingkungan yang menentukan siapa diri kita.
Kitalah yang memilih, apakah kita akan menjadi bagian dari keruhnya dunia, atau tetap bening di tengah lautan. (isn)