Kerugianlah saat tidak mampu menahan amarah

 Kerugianlah saat tidak mampu menahan amarah

Oleh: Syamril

Menurut almarhum Ustaz Arifin Ilham, sumber kemarahan berasal dari tiga hal: ilmu (akal), iman, dan hawa nafsu. Marah yang bersumber dari ilmu dan iman adalah marah yang terpuji, asalkan dilandasi niat yang baik — untuk mendidik, menyadarkan, dan membawa kebaikan bagi orang lain.

Contohnya adalah kemarahan Rasulullah ﷺ kepada mereka yang malas beribadah, enggan ikut berjuang di jalan Allah, atau bersikap pelit. Semua itu beliau lakukan demi kemaslahatan, penyucian jiwa, dan pembentukan akhlak yang mulia.

Marah yang baik selalu diawali dengan berpikir: Apakah ini cara terbaik untuk memperbaiki keadaan? Jika tidak ada cara lain dan tujuannya jelas untuk kebaikan, maka marah bisa menjadi sarana yang tepat.

Sebagaimana marahnya umat Islam hari ini kepada kezaliman yang dilakukan Israel di Gaza. Marah yang didasari iman terhadap penindasan dan pembunuhan massal adalah bentuk kepedulian dan solidaritas terhadap kemanusiaan.

Marah yang Buruk

Sebaliknya, marah yang bersumber dari hawa nafsu adalah marah yang tercela. Ia timbul karena lemahnya iman, sehingga seseorang mudah dikuasai setan dan menjadi budak emosi.

Akibatnya bisa sangat fatal. Ketika amarah memuncak, seseorang bisa tergelincir pada dosa besar seperti pembunuhan, bahkan kepada keluarga sendiri. Kita sering melihat berita tragis: anak membunuh orang tua, atau sebaliknya — semua bermula dari kemarahan yang tak terkendali.

Marah juga bisa lahir dari kebodohan, yakni ketidakmampuan untuk berpikir panjang dan mempertimbangkan akibat. Orang cerdas akan bertanya: Apa dampaknya jika aku marah? Namun, sering kali justru orang yang berpendidikan tinggi bersikap bodoh dalam kemarahannya.

Lihatlah kasus tawuran mahasiswa, bahkan sampai membakar gedung fakultas. Siapa yang sebenarnya dirugikan? Tentu mahasiswa itu sendiri. Jika benar-benar cerdas dan dewasa, mereka akan tahu bahwa kemarahan destruktif hanya akan merugikan diri sendiri dan orang lain.

Kunci Menahan Amarah

Kemampuan mengendalikan amarah tidak tergantung pada gelar akademik, status sosial, atau kekayaan. Banyak orang sederhana yang tidak berpendidikan tinggi, tapi bijaksana karena telah belajar dari pahit manisnya kehidupan.

Yang membedakan adalah kedewasaan berpikir. Orang yang bijak akan tenang dalam menghadapi masalah. Ia tidak mudah meledak, karena tahu bahwa marah bukan solusi, melainkan bisa memperburuk keadaan.

Selain itu, kemarahan bisa dipicu oleh kesombongan — merasa diri lebih hebat dan pantas dihormati. Ketika penghormatan itu tidak didapat, timbul rasa tersinggung yang memicu amarah. Sikap ini meniru Iblis, yang menolak sujud kepada Nabi Adam karena merasa lebih mulia — diciptakan dari api, sedangkan Adam dari tanah.

Kemarahan juga bisa bersumber dari iri hati, dengki, dan keserakahan. Tidak senang melihat orang lain lebih bahagia atau lebih beruntung. Akibatnya, muncullah fitnah, kebencian, bahkan kejahatan.

Seperti kisah Qabil yang membunuh Habil, saudaranya sendiri, hanya karena merasa iri dan dengki. Ia tidak rela Habil mendapatkan pasangan yang lebih cantik. Maka timbullah amarah, lalu pembunuhan — tragedi pertama dalam sejarah manusia yang lahir dari hawa nafsu.

Semoga dengan mengenali sumber-sumber kemarahan yang buruk, kita bisa lebih bijak mengelolanya. Caranya adalah dengan memperkuat iman, melatih berpikir sebelum bertindak, dan menjauhi sifat sombong, iri, dengki, serta serakah.

Menahan amarah adalah ciri orang bertakwa, yang Allah janjikan surga sebagai balasannya.

Allah berfirman:

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain.”
(Q.S. Ali Imran: 133–134)

Spread the love

Yudhi Kurnia

redaksi@satuguru.id

Related post

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *