Jumat dan Janji Cahaya dari Langit

Ada sesuatu yang berbeda dari hari Jumat. Bukan hanya karena ia menandai akhir pekan kerja, tapi karena ia datang membawa nuansa yang tak kasat mata—seperti udara yang lebih ringan, langit yang lebih lapang, dan hati yang entah kenapa terasa lebih dekat dengan langit.
Dalam tradisi Islam, Jumat bukan sekadar hari biasa. Ia adalah hari agung, hari yang dipilih Allah sebagai tempat berkumpulnya keberkahan dan harapan. Bahkan namanya, “Jumu’ah”, berasal dari kata jama’a—yang berarti ‘mengumpulkan’. Bukan hanya mengumpulkan tubuh-tubuh dalam satu saf shalat, tapi juga mengumpulkan hati-hati yang haus akan cahaya petunjuk.
Rasulullah SAW pernah berkata, “Sebaik-baik hari yang matahari terbit padanya adalah hari Jumat.” Pada hari itulah Nabi Adam diciptakan. Pada hari itu pula ia dimasukkan ke surga dan dikeluarkan darinya. Bahkan, hari kiamat kelak akan datang pada Jumat. Bayangkan, sebuah hari yang menyimpan awal mula manusia dan akhir dari dunia—sebuah putaran penuh antara rahmat dan penghakiman.
Di hari itu pula, Allah menyisipkan sebuah waktu mustajab. Satu celah kecil dalam ruang waktu di mana langit seperti terbuka, dan doa yang melesat akan sampai tanpa halangan. Banyak ulama yang meyakini waktu itu ada di penghujung hari, saat senja mulai merayap dan dunia menjadi lebih tenang. Namun mungkin, yang lebih penting dari mengetahui waktunya adalah terus menjaga hati untuk berharap sepanjang Jumat itu berlangsung.
Setiap Jumat juga membawa ajakan yang agung: tinggalkan jual-beli, tinggalkan urusan dunia, dan datanglah untuk mengingat Allah. Bukan karena dunia tidak penting, tapi karena hidup butuh keseimbangan. Ada saatnya mengejar, ada saatnya bersujud. Dan Jumat mengajarkan bahwa kita harus tahu kapan meletakkan dunia, dan kapan mengangkat wajah ke langit.
Lalu, sudahkah kita merayakan Jumat dengan layak? Atau justru membiarkannya berlalu seperti hari-hari lain, larut dalam rutinitas, tenggelam dalam kesibukan? Sudahkah telinga ini mendengar adzan Jumat dan merasa bergetar? Sudahkah hati ini menyambutnya dengan lapang?
Jumat adalah hadiah mingguan. Ia bukan beban, tapi pelipur. Bukan perintah, tapi undangan kasih dari Tuhan. Maka selayaknya kita datang kepada-Nya bukan dengan tergesa, tapi dengan rindu. Membersihkan diri, mengenakan pakaian terbaik, membaca surah Al-Kahfi, memperbanyak shalawat, dan duduk dalam khutbah yang mengingatkan kita akan hakikat hidup.
Dalam Surah Al-Jumu’ah, Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk melaksanakan salat pada hari Jumat, maka segeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkan jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Ayat itu bukan sekadar panggilan, tapi pengingat bahwa hidup bukan hanya tentang bekerja dan mengejar, tapi juga tentang berhenti, merenung, dan kembali.
Dan di hari Jumat, pintu-pintu itu dibuka lebih lebar dari biasanya.(red)