Mengapa Siswa Cepat Lupa Pelajaran? Neuroscience Membongkar Jawabannya

 Mengapa Siswa Cepat Lupa Pelajaran? Neuroscience Membongkar Jawabannya

 

Pak Rafi, seorang guru sejarah yang penuh semangat, sedang berdiri di depan kelas. Hari itu, ia mengajarkan tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia menyiapkan materi dengan sangat rapi: peta besar, catatan tahun-tahun penting, hingga daftar nama tokoh nasional. Ia bahkan membagikan handout berwarna supaya siswa lebih mudah mengingat.

Namun seminggu kemudian, saat ia melempar pertanyaan sederhana, kelas hanya diam membisu. Beberapa siswa tampak berusaha keras mengingat, sebagian lainnya malah tampak kebingungan. Pak Rafi menghela napas panjang. “Padahal sudah dijelaskan lengkap,” pikirnya.

Apa yang salah?

Ternyata, bukan karena anak-anak itu tidak mendengarkan. Bukan juga karena mereka malas atau tidak cerdas. Menurut neurosains, otak manusia memang tidak dirancang untuk menyimpan semua informasi begitu saja.

Otak kita sangat selektif. Ia hanya mau menyimpan informasi yang dianggap bermakna, terkait dengan emosi, atau relevan dengan pengalaman pribadi.

Jika pelajaran hanya diterima sebagai deretan fakta tanpa jiwa, maka otak akan memperlakukannya seperti brosur iklan — dibaca sekilas, lalu dibuang tanpa bekas.

Pak Rafi pun mulai menyadari: mungkin selama ini ia terlalu fokus pada isi, tapi kurang mengajak siswa merasakan cerita di balik peristiwa sejarah.

Untung lupa

Lupa, menurut neurosains, bukanlah kegagalan otak. Sebaliknya, lupa adalah mekanisme bertahan. Otak manusia tidak mau dibebani oleh semua hal kecil yang tidak perlu, karena itu ia memilih-milih apa yang perlu disimpan dan apa yang bisa dibiarkan menghilang.

Informasi yang sekadar lewat, tanpa makna emosional atau keterkaitan nyata, cenderung dibuang begitu saja.

Malam itu, di rumahnya, Pak Rafi membaca lagi tentang cara kerja memori. Ia menemukan bahwa pengulangan sangat penting — bukan dengan menghafal mati dalam satu malam, melainkan dengan mengulang materi dalam jarak waktu tertentu.

Ia juga tahu, bahwa emosi positif, seperti rasa kagum, rasa bangga, atau rasa penasaran, bisa memperkuat ingatan. Ia mulai membayangkan: bagaimana kalau ia membawakan pelajaran sejarah bukan sekadar data, tapi sebagai kisah?

Bagaimana kalau siswa diajak merasakan ketegangan sidang BPUPKI? Bagaimana kalau siswa membayangkan diri mereka sendiri menjadi bagian dari perjuangan itu?

Bercerita

Minggu berikutnya, Pak Rafi mencoba pendekatan baru. Ia mengubah gaya mengajarnya menjadi bercerita.

Ia memulai dengan menyalakan lagu kebangsaan zaman itu, lalu bercerita tentang suasana rapat kemerdekaan seolah-olah para siswa ada di sana.

Ia bahkan meminta mereka membuat surat pendek seolah mereka adalah anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan.

Dan hasilnya luar biasa.

Ketika ditanya seminggu kemudian, siswa-siswa itu bisa menjawab dengan antusias — bahkan menambahkan detail yang tidak diminta.

Pak Rafi tersenyum lega. Ia tahu sekarang, belajar bukan soal berapa banyak informasi diberikan, tetapi seberapa dalam informasi itu dihidupkan dalam hati dan pikiran siswa. (isn)

Spread the love

Related post