Pendidikan di Negeri Prismatik: Merangkai Cahaya yang Terpecah

 Pendidikan di Negeri Prismatik: Merangkai Cahaya yang Terpecah

Indonesia adalah negeri prismatik: penuh warna, penuh potensi, tetapi juga penuh pecahan. Dan salah satu cermin paling jernih dari sifat prismatik ini adalah dunia pendidikannya.

Di satu sisi, kita melihat cahaya terang: sekolah-sekolah unggulan di kota besar dengan fasilitas lengkap, guru yang melek teknologi, hingga siswa yang mampu menorehkan prestasi di olimpiade internasional. Di Jakarta, misalnya, ada sekolah yang sudah menggunakan artificial intelligence dalam pembelajaran. Namun, di sisi lain, ada ruang kelas reyot di pedalaman Papua yang harus berbagi buku seadanya, atau anak-anak di Nusa Tenggara Timur yang harus berjalan berjam-jam hanya untuk bisa sampai ke sekolah.

Seperti prisma yang memecah sinar, sistem pendidikan kita sering terbelah oleh jurang kesenjangan. Di kota, siswa akrab dengan gawai dan internet cepat, sementara di desa banyak guru masih berjuang dengan kapur dan papan tulis. Program Merdeka Belajar sudah diluncurkan dengan gagasan mulia, tetapi realitasnya implementasi masih timpang: ada sekolah yang bisa melaksanakan project based learning dengan mudah, tetapi ada pula sekolah yang bingung karena bahkan listrik pun tidak stabil.

Meski demikian, pecahan warna itu menyimpan harapan. Kita melihat gerakan-gerakan kecil yang menyala seperti pelangi. Komunitas literasi di pelosok, seperti Rumah Baca di Flores atau gerakan guru kreatif di Yogyakarta, menunjukkan bahwa keterbatasan bukan alasan untuk berhenti. Guru-guru muda yang kembali ke desanya membawa semangat baru, mengubah cara belajar anak-anak dengan kreativitas sederhana.

Ki Hadjar Dewantara pernah berkata, “Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu.” Kutipan ini mengingatkan kita bahwa pendidikan sejati bukanlah menyeragamkan, melainkan memberi ruang bagi setiap anak untuk memancarkan cahaya uniknya.

Negeri Prismatik adalah pengingat bahwa pendidikan bukan hanya soal kurikulum, ranking, atau ujian nasional. Ia adalah usaha menyatukan cahaya yang tercerai-berai: potensi, bakat, dan mimpi setiap anak bangsa—dari kota besar hingga pulau terpencil. Jika spektrum itu bisa dirangkai menjadi cahaya utuh, maka Indonesia akan benar-benar bercahaya: terang bagi dirinya sendiri, dan terang bagi dunia. (isn)

Spread the love

Related post

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *