Doktor Termuda, Lulus S3 Usia 25 Tahun

 Doktor Termuda, Lulus S3 Usia 25 Tahun

Hari itu, suasana di Grha Sabha Pramana, Universitas Gadjah Mada, dipenuhi senyum bangga dan tepuk tangan haru. Ratusan wisudawan berdiri tegak dalam toga kebanggaan mereka—lulusan S1, S2, hingga S3. Di antara deretan toga hitam itu, ada satu sosok muda yang menarik perhatian banyak orang: Rizky Aflahah.

Di usia yang baru menginjak 25 tahun 10 bulan, Rizky berdiri sebagai doktor termuda UGM. Sebuah pencapaian luar biasa, mengingat rata-rata usia lulusan doktor di kampus itu mencapai 41 tahun lebih. Saat banyak orang seusianya masih berjuang menuntaskan skripsi, Rizky sudah menapaki puncak tertinggi pendidikan akademik.

Namun, perjalanan itu tak ia tempuh dengan jalan pintas atau program akselerasi formal. “Kuncinya adalah strategi dan pemanfaatan peluang,” tutur Rizky ketika diwawancarai laman resmi UGM. Setelah menamatkan studi sarjana Fisika hanya dalam 7 semester, ia melanjutkan langsung ke jenjang magister dan doktor melalui Program Beasiswa PMDSU (Pendidikan Magister Menuju Doktor untuk Sarjana Unggul).

“Program magisterku hanya satu tahun dan doktor tiga tahun. Jadi, total empat tahun dari S1 ke S3,” ujarnya dengan senyum tenang yang menyembunyikan kerja keras bertahun-tahun di baliknya.

Perjalanannya tak selalu mulus. Menjadi peneliti muda di antara para akademisi senior membuatnya sempat dipandang sebelah mata. Tapi Rizky tak gentar. Ia memilih membuktikan diri lewat karya.

“Awalnya sempat diremehkan karena masih muda,” kenangnya. “Tapi lama-lama aku mulai menunjukkan kemampuan. Alhamdulillah, sejak mulai studi doktor sampai sekarang aku sudah menghasilkan 40 publikasi internasional—padahal syarat kelulusan hanya dua.”

Di balik pencapaiannya, Rizky tak lupa menundukkan kepala dalam rasa syukur. Ia menyebut tiga nama yang menjadi fondasi dari setiap langkahnya: Prof. Kuwat Triyana, Prof. Roto, dan Dr. Aditya Rianjanu. “Mereka bukan hanya pembimbing akademik, tapi juga mentor kehidupan. Mulai dari membuat roadmap riset, menulis jurnal, sampai urusan desain gambar di jurnal pun mereka arahkan dengan sabar,” katanya penuh hormat.

Di luar laboratorium, Rizky bukan tipe mahasiswa yang menghabiskan waktu di depan layar. “Aku nggak main game online dan jarang buka media sosial,” ujarnya sambil tertawa kecil. “Aku lebih suka menyalurkan energi lewat kegiatan seperti bulu tangkis, organisasi, atau naik gunung. Bahkan mungkin orang Jogja lebih mengenalku sebagai atlet bulu tangkis daripada mahasiswa doktor.”

Ketika ditanya rahasia keberhasilannya, jawabannya sederhana namun dalam: percaya diri dan disiplin.
“Kita hanya perlu percaya diri. Dengan itu, peluang akan datang dan kemampuan kita bisa berkembang jauh. Tapi kalau tidak percaya diri, seberbakat apa pun kita, ya tidak akan kemana-mana,” tutupnya bijak.

Rizky Aflahah bukan hanya simbol kecerdasan, tetapi juga bukti bahwa usia muda bukan penghalang untuk mencapai puncak tertinggi ilmu—selama ada tekad, kerja keras, dan keberanian untuk bermimpi lebih besar dari usiamu. (isn)

Spread the love

Related post

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *