Kembangkan Ide Kreatif Mengajar Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia berpeluang mendapat satu tempat di mata penduduk dunia ke kancah internasional. Hanya saja, menurut Duta Bahasa tingkat Nasional 2012, I Gede Wahyu Adi Raditya dan pasangannya Kadek Ridoi Rahayu, internasionalisasi bahasa Indonesia membutuhkan penguatan dari para penutur aslinya, yaitu warga masyarakat Republik Indonesia sendiri.
“Kita menyadari betul permasalahan bahasa kita saat ini sangat kompleks. Internasionalisasi bahasa, bisa saja terjadi, tetapi hal tersebut tidak akan terwujud jika dari internal belum ada kecintaan yang kuat terhadap bahasa sendiri,” kata Wahyu.
“Sekarang ini, kita membutuhkan sosok teladan yang bisa menularkan rasa kebanggaan terhadap bahasa Indonesia terutama untuk kalangan generasi muda. Kadang mereka belum tahu penempatan posisi penggunaan bahasa, serta fungsinya seperti apa?” katanya lagi.
Sejumlah kalangan yang sering mencampur-adukkan bahasa Indonesia dengan bahasa asing dalam penuturan sehari-hari, menurutnya, bisa melemahkan kemampuan berbahasa Indonesia yang baik.
“Kami menyebutnya ‘keganjenan’ berbahasa. Dalam pidato atau diskusi publik, seringnya mereka lebih mengutamakan bahasa yang menurut mereka menarik minat. Ini yang salah. Kita selalu menganggap bahasa selain bahasa Indonesia itu lebih keren. Padahal kita punya konstitusi bahasa yang baik, bahasa Indonesia. Bahasanya bisa runut kalau kita mau memikirkannya,” tutur Duta Bahasa Provinsi Bali tersebut.
Diperkuat di sekolah
Menanggapi tren bahasa Indonesia non-formal yang cenderung mencampuradukkan bahasa Indonesia dan bahasa asing, Kadek melihat pentingnya penguatan bahasa Indonesia yang baik dan benar untuk memberikan keseimbangan berbahasa global dan nasional. Dia mengutip perkataan Sutan Takdir Alisjahbana, yang pernah berucap “kalau belum mampu berbahasa asing, berbahasa Indonesilah yang baik dan benar!’
“Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah perlu diperkuat lagi. Pandangan saya, sekolah belum benar-benar menanamkan pemikiran bahwa bahasa Indonesia itu seru dan menantang dibanding pelajaran lainnya. Jadi para siswa banyak yang menyepelekan. Guru-guru harus lebih kreatif lagi mengejar minat siswa pada mata pelajaran tersebut,” sarannya.
Ia memberi masukan, para guru untuk serius menyajikan pembelajaran bahasa Indonesia kepada siswanya, sebab ada banyak cara permainan bahasa yang dapat membuat siswa tertarik belajar. Guru, menurut kadek adalah seorang penyampai yang bisa menarik minat penggemar.
“Gurunya yang harus asyik, yang bisa membuat anak-anaknya lebih senang belajar. Coba perbanyak praktik berbahasa, misal anak anak diberikan waktu berdiskusi, dan bermain peran. Atau kalau belajar tentang majas, Kita bisa ajak siswa untuk bisa merayu, tapi merayu dengan majas, jadi tidak mudah lupa,” ungkap Kadek.
Tidak hanya itu, dia juga menilai, lingkungan berbahasa pun perlu mendukung generasi muda agar lebih mencintai bahasanya. Kadek mencontohkan, di paguyubannya, sempat tercuat ide menyisipkan pengajaran tentang bahasa dalam permainan ular tangga. Misalnya, saat naik tangga, ada kotak pertanyaan bahasa yang harus dijawab oleh pemain.
Ide lain datang dari Wahyu, melihat kecenderung anak muda yang kadang tidak suka dengan cara-cara konvensional. Mereka pun memiliki ide agar anak muda yang tadinya enggan untuk ikut belajar bahasanya sendiri, dapat berubah karena lingkungan mendukung itu.
“Padahal kita dapat melakukan pendekatan bahasa yang menarik. Misal ada kafe bahasa, jadi para remaja yang suka nongkrong pun bisa belajar bahasa di sana, baca buku dan belajar sastra, ada kelas non-formal, yang membuat mereka nyaman di ruangan tersebut,” tuturnya.
Sebagai duta bahasa pun, Kadek dan Wahyu sudah berniat akan menjadi tuntunan model pemuda yang cakap dan bangga berbahasa Indonesia. Mereka tetap melakukan kampanye pribadi, tetapi juga mengupayakannya melalui kerja sama dengan badan bahasa.
“Intinya jangan lupakan bahasa lokal, cintai bahasa nasional dan kuasai bahasa asing,” tandas Kadek.