Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita
- Judul Buku : LANDASAN DAN ARAH PENDIDIKAN NASIONAL KITA
- Penulis : Prof. Dr. Soedijarto, M.A.
- Penerbit : Kompas Media Nusantara
- Cetakan : 1, Juli 2008
- Tebal : xlvi +488 hlm
- Peresensi : M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
“What wrong with American classroom?” teriak Senator J.F. Kennedy pada 1957, lantaran Amerika Serikat tertinggal dalam teknologi ruang angkasa dari Uni Soviet. Pertanyaan-pertanyaan senada juga sering diteriakkan oleh para pemimpin negara-negara maju ketika menghadapi krisis, baik krisis kepemimpinan, teknologi, terlebih krisis multidimensional, seperti yang masih saja melanda negeri ini.
Tetapi tampaknya sikap kita berbeda dengan negara lain seperti Amerika Serikat, jepang, ataupun China yang mempertanyakan ihwal peran pendidikan nasional dalam mengatasi masalah yang melanda negara. Di negeri ini, pertanyaan serupa pernah diajukan oleh seorang pelajar ilmu pendidikan, yang saat itu sedang menjabat Direktur Jenderal di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, namun sama sekali tidak bersambut. Sejak saat itulah pelajar tersebut berkontemplasi tentang kondisi pendidikan nasional baik dari segi landasan filosofis, pelaksaan dan infrastruktur serta pembiayaannya, dan selanjutnya menulis curahan-curahan gagasannya dalam serangkaian artikel yang disajikan dalam berbagai seminar baik di dalam maupun di luar negeri. Serangkaian tulisan tersebut akhirnya diterbitkan dalam bentuk buku utuh berjudul Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita. Penerbitan buku ini sekaligus menandai ulang tahun penulis yang ke-70.
Pelajar tersebut, Soedijarto, telah menjelma menjadi salah satu di antara sedikit pemikir pendidikan yang secara praksis banyak terlibat dalam ranah politik pendidikan. Diarto, begitu ia kerap dipanggil, telah mengabdikan hampir seluruh usianya dalam berbagai lapangan pendidikan di negeri ini. Ia seorang pendidik, guru besar, cendekiawan, dan mantan pejabat tinggi di Departemen Pendidikan Nasional.
Kepedulian Diarto terhadap pendidikan telah terinternalisasi dalam dirinya sejak masih manjadi mahasiswa. 46 tahun silam, dia, dengan gayanya yang khas, telah memaparkan visi pendidikan yang “mencerdaskan kehidupan bangsa” di hadapan Bung Karno. Paparannya tentang pentingnya lembaga pendidikan guru yang harus bertaraf universitas langsung dijawab oleh Bung Karno satu tahun kemudian dengan didirikannya “Institut Pendidikan dan Keguruan (IKIP)” sebagai institusi pendidikan tinggi kependidikan yang belakangan telah berubah menjadi universitas-universitas negeri sebagaimana dicita-citakan Diarto.
Hampir setengah abad kemudian, masih dengan gaya lamanya, ia memperjuangkan penyediaan anggaran pendidikan harus terjamin dan dilindungi oleh UUD. Dengan gigih, ia bersama anggota MPR yang sepaham memperjuangkan pencantuman pasal yang menyatakan bahwa anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen.
Perjuangan ini unik dan sangat berani, karena tak lazim dalam sebuah UUD suatu negara mencantumkan suatu angka, lebih-lebih untuk satu bidang tertentu. Namun, di mata Diarto, tidak demikan. Layaknya peramal ulung, ia tahu bahwa pendidikan di negeri ini tidak akan mendapatkan porsi pembiayaan yang layak tanpa perlindungan UUD 1945. Nyatanya, hingga tahun 2003, persentase anggaran pendidikan terhadap PBD di negeri ini baru mencapai 1,4 persen. Angka ini hanya separuh dari Vietnam yang telah menganggarkan 2,8 persen. Dan jauh di bawah Thailand dan Malaysia yang masing-masing telah mencapai 5,0 dan 5,2 persen (hal 81).
Kesalahan Sistem Pendidikan Kita
Berbeda dengan berbagai negara di dunia, Indonesia meletakkan misi “mencerdaskan kehidupan bangsa” dalam deklarasi kemerdekaannya (Pembukaan UUD 1945) dan menetapkan “hak warga negara memperoleh pangajaran (pendidikan)” serta “kewajiban pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional” dalam UUD-nya (UUD 1945). Namun semenjak krisis multidimensional tahun 1998, hingga kini negeri ini belum juga mampu untuk bangkit dari keterpurukan. Kenyataan fenomenal ini merupakan indikasi bahwa penyelenggaraan pendidikan, sebagaimana dicita-citakan para pendiri bangsa ini di atas, masih jauh dari berhasil.
Krisis ekonomi dan moneter yang melahirkan efek domino di berbagai sisi pada akhirnya meruntuhkan berbagai sendi utama kehidupan bangsa Indonesia. Disintegrasi menjadi “hantu gentayangan” yang selalu membayangi kehidupan sehari-hari, seiring dengan berbagai tindak kekerasan sosial-politik yang mengalami eskalasi. Pembangunan di berbagai sektor mengalami interupsi, karena berbagai prasyarat yang dibutuhkan telah luluh-lantak disapu-bersih badai krisis multidimensional. Krisis multidimensional ini bukan saja menimpa para petinggi di republik ini, tetapi juga akut di kalangan masyarakat luas. Hal ini membuat mata masyarakat harus terbuka lebar menghadapi kenyataan lemahnya bangunan peradaban dan integritas kebangsaan masyarakat negeri ini.
Gelombang reformasi merupakan paket jalan keluar yang diajukan masyarakat untuk mengembalikan dan memulihkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Terlepas dari variabel sosial-politik yang begitu rumit, krisis multidimensional yang menimpa bangsa ini dapat pula dilihat sebagai lemahnya sumber daya manusia (SDM) bangsa Indonesia, yang tentunya amat terkait dengan praktik pendidikan yang selama ini berlangsung. Artinya, krisis multidimensional tersebut dapat disebut berakar dari gagalnya proyek pendidikan. Karena itu, beberapa kalangan lalu menjadi peduli untuk merekonstruksi kembali—atau bahkan mendekonstruksi—berbagai paradigma pendidikan yang diberlakukan selama ini. Merancang masa depan pendidikan yang lebih memungkinkan bagi terciptanya demokratisasi dan kesejahteraan masyarakat kemudian menjadi suatu keniscayaan. Apalagi bila dikaitkan dengan konteks internasional atau variabel global. Tantangan sebagai bangsa untuk bersaing di kehidupan global semakin menantang dunia pendidikan guna mempersiapkan kader-kader bangsa yang mumpuni.
Lantas, di manakah letak kesalahan sistem pendidikan kita? Diarto menengarai bahwa kekacauan sistem pendidikan kita dikarenakan lemahnya falsafah yang mendasari praksis pendidikan di lapangan. Lebih jauh Diarto juga menyoroti lemahnya kurikulum, sistem evaluasi, peran perguruan tinggi hingga permasalahan klasik pendidikan yang terkait dengan minimnya dukungan dana dari pemerintah.
Sebagai seorang nasionalis tulen, Diarto mengupas banyak tentang perlunya pemahaman kembali terhadap landasan filosofis negara (baca: Pancasila) yang menjadi falsafah pendidikan kita. Bahkan, secara spesifik Diarto banyak mengutip pemikiran Bung Karno dengan tajuknya yang bertema Pancasila ala-Bung Karno yang perlu diperjuangkan melalui pendidikan nasional.
Berharap Dari Anggaran 20 Persen
Buku yang pada dasarnya merupakan kumpulan makalah ini menjadi terbangun cukup apik dengan diketengahkannya problematika klasik pendidikan nasional kita yang masih berkutat pada masalah pembiayaan. Terkait hal ini, Diarto mengulang-ulang pandangannya akan perlunya peningkatan dana demi menjamin peningkatan mutu pendidikan kita. Baginya, penganggaran 20 persen dari APBN dan APBD bagi sektor pendidikan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Pokokknya, 20 persen.
Kini, harapan besar itu akan segera terwujud. Pidato Nota Keuangan RAPBN 2009 yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pada 15 Agustus lalu yang menegaskan rencananya untuk mengalokasian anggaran sebesar Rp 224 triliun dalam RAPBN 2009 adalah untuk memenuhi kewajiban tersebut di atas. Anggaran ini nantinya akan digunakan untuk menuntaskan pelaksanaan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Anggaran ini juga ditujukan untuk menaikkan kualitas pendidikan dan kesejahteraan guru secara signifikan. Anggaran pendidikan yang sudah mencapai 20 persen dari APBN diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan di negeri ini, guna membangun keunggulan dan daya saing bangsa di abad ke-21 ini.
Namun, persoalan ini tidak berhenti sampai di sini. Anggaran yang cukup besar tersebut harus dipastikan tepat sasaran dan dapat dipertanggungjwabkan. Di sinilah tugas pemerintah dan masyarakat untuk mengawal dan mengawasi penuh amanah besar ini. Seluruh komponen bangsa wajib untuk ikut serta memasang mata dan telinganya setiap saat, dalam rangka menjaga dan memonitor penggunaan anggaran tersebut mendukung tercapainya tujuan pendidikan nasional. Semoga awal yang baik ini dapat menjadi titik bangkit dunia pendidikan Indonesia yang bertepatan dengan tahun peringatan seabad Hari Kebangkitan Nasional.