Ketatausahaan Madrasah Berbasis Ajaran Walisongo
Kepala Madrasah Negeri maupun Swasta dan Kepala Tata Usaha Madrasah Negeri merupakan ujung tombak dalam melaksanakan manajemen ketatausahaan madrasah. Mereka adalah para meneger dalam merencanakan, mengimplementasikan dan melaporkan program serta anggaran negara.
Melihat begitu pentingnya fungsi mereka, Direktorat Pendidikan Madrasah, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama menggelar kegiatan Penguatan Ketatausahaan Madrasah di Hotel Amaroosa, Bogor pada 6-8 Juli 2015. Peserta dalam kegiatan ini adalah para Kepala Madrasah Negeri dan Swasta dan Kepala TU Madrasah dari beberapa perwakilan provinsi yang ada di Indonesia.
Kegiatan Penguatan Ketatausahaan Madrasah ini dibuka pada Senin malam (6/7) oleh Direktur Pendidikan Madrasah, M. Nur Kholis Setiawan. Dalam sambutan pembukaan, Direktur Pendidikan Madrasah mengajak pada Kepala Madrasah dan Ka. TU untuk melandasi fungsi dan posisinya dengan ajaran-ajaran leluhur kita, yakni Walisongo.
“Saya senang mencari landasan filosofis terhadap apa yang kita lakukan terhadap madrasah, supaya apa yang kita lakukan dan perjuangkan memiliki makna. Untuk mencari landasan tersebut, kita tidak perlu jauh-jauh merujuk para sarjana Timur Tengah atau Barat. Cukup dengan khasanah ajaran Walisongo saja,” tuturnya ketika memulai sambutan.
Dalam proses transformasi pengetahuan, Sunan Ampel pernah mengajarkan ajaran yang sederhana, namun bernilai. Sederhana karena kosakata atau idiom yang digunakan memang sederhana. Bernilai karena isi ajaran tersebut penting bagi manusia dan bahkan seringkali tidak mudah untuk dilakukan, karena membutuhkan kekuatan dan keistiqamahan yang luar biasa.
“Ajaran tersebut berbahasa Jawa, yang berbunyi: Cipto Manjing Roso, Roso Manjing Wujud, Wujud Cetho, Karso Dumadi,” kutipnya dengan bahasa Jawa yang fasih.
Cipto Manjing Roso. Cipto adalah pikiran manusia. Manusia memiliki kebebeasan yang luar biasa untuk berpikir dan berkreasi. Islam menjamin kebebasan berpikir (Khurriyatul ‘Aql), kebebasan berintelektualitas, yakni intelektualitas yang memiliki kemanfaatan kepada yang lainnya. Untuk itu, intelektualitas harus disingkronkan dan dikonsultasikan (manjing) dengan roso (hati).
“Gagasan, ide, pemikiran dan kreativitas dalam menjalankan berbagai aktivitas dalam kehidupan ini,bila tidak dikonsultasikan dengan hati, maka hanya akan berujung pada kesia-siaan dan hanya akan mengebiri bilik-bilik kemanusiaan kita. Dimensi hati harus dihadirkan,” jelasnya.
Roso Manjing Wujud. Pikiran dan kreativitas yang sudah dikonsultasikan dengan hati sudah layak mewujud dalam perbuatan dan aktivitas. Roso atau hati harus menginspirasi perbuatan dan aktivitas.
“Ending-nya adalah Wujud Cetho Karso Dumadi. Dengan begitu, eksistensi manusia (wujud) bisa terasa jelas (Cetho) dan dan situlah niat baik (Karso) bisa menjadi/hadir/menghadirkan kemanfaatan. (Dumadi),” jelas Direktur Pendidikan Madrasah yang pernah belajar di Jerman dan Belanda ini.
M. Nur Kholis Setiawan berusaha menghubungan khazanah tersebut dengan tugas dan fungsi kepala madrasah dan kepala TU madrasah, bahwa dalam memanagemeni dan mengelola program dan anggaran negara (how to plan, how to implement dan how to report) harus melibatkan pikir yang kuatdan kreativitas yang tak terbatas, yang dikonsultasikan dengan hati, sehingga bisa mewujud menjadi kebijakan/tindakan/program yang bermanfaat.