Dari Guru Kebetulan, Menjadi Guru Teladan
Tak pernah terpikirkan di benak Guru Ningsih sebelumnya bahwa ia akan menjadi seorang guru. Kuliah di jurusan non kependidikan, membuatnya tak ada niat berkecimpung di dunia pendidikan. Namun semua berubah, ketika ia diperhadapkan pada kondisi yang tak mudah. Ia dituntut mampu mendapatkan uang sendiri guna mencukupi biayai kuliah.
Pertengahan tahun 2006 menjadi awal perjalanannya menjadi seorang guru, ketika kuliahnya memasuki semester tujuh. Ia melamar menjadi guru di MIS Al Hidayah, sebuah sekolah kecil yang berdiri di tengah-tengah padatnya Kota Medan. Niatnya menjadi guru bukanlah untuk selamanya, tapi hanya sampai ia menyelesaikan kuliahnya. Hal ini karena menjadi guru bukanlah cita-citanya, ditambah lagi gaji sebagai guru honor yang tak seberapa.
Ternyata kondisi membuat Guru Ningsih harus tetap mengajar meskipun kuliahnya sudah kelar. Bahkan setelah tiga tahun berjalan, pihak yayasan menunjuknya menjadi kepala sekolah. Tentu saja awalnya ia menolak dengan penunjukan tersebut. Selain karena ia belum memiliki pengalaman sebagai kepala sekolah, keadaan sekolah pada saat itu sedang kurang sehat.
Sekolah tempat Guru Ningsih mengajar memang dipandang sebelah mata oleh masyarakat sekitar. Apalagi di sekitar lokasi tersebut terdapat beberapa sekolah favorit yang menjadi tujuan utama masyarakat menyekolahkan anaknya.
Puncaknya, di tahun 2011 MIS Al Hidayah hampir ditutup karena siswa baru yang mendaftar hanya lima.
Guru Ningsih tidak menyerah begitu saja. Ia mencoba meyakinkan pihak yayasan agar sekolah tetap berjalan, sembari berdoa agar diberi jalan keluar dari masalah yang dihadapi.
Pucuk dicinta ulam tiba. Tahun 2015, berkat rasa haus akan ilmu dalam dirinya, Guru Ningsih mendapat kesempatan mengikuti program School Master Teacher, sebuah program pengembangan kapasitas guru yang digagas oleh Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa. Tak hanya sampai di situ, di tahun 2017 sekolahnya juga mendapatkan program Sekolah Literasi Indonesia, sebuah program pengembangan kualitas sekolah berbasis literasi yang diinisiasi oleh Dompet Dhuafa Pendidikan.
Tak ada hasil yang menghianati usaha. Seperti itulah barangkali ungkapan yang tepat untuk menggambarkan perjuangan Guru Ningsih dan juga timnya. Sekolah yang dipimpinnya mulai sehat pengelolaannya, dan beberapa prestasi pun berhasil diraihnya, baik prestasi pribadi maupun prestasi sekolah. Secara pribadi, ia pernah memenangkan Olimpiade Literasi Tingkat Nasional, mendapat penghargaan sebagai peserta dengan PTK terbaik dalam program Teacher School Master, hingga menjadi salah satu kepala sekolah berprestasi di Kota Medan.
Perlahan, MIS Al Hidayah kini menjadi sekolah yang mulai diperhitungkan.
Jumlah siswa baru yang mendaftar tak cukup dua ruangan. Antusiasme ini muncul karena sekolah memiliki banyak program pengembangan guru dan siswa yang dilakukan, meskipun dengan anggaran yang pas-pasan. Siswa-siswinya juga mulai terbiasa ikut kompetisi, dan beberapa di antaranya berbuah prestasi. Mulai dari juara lomba mendongeng, juara olimpiade literasi, hingga menerbitkan buku antologi puisi.
MIS Al Hidayah juga berhasil menyabet penghargaan sebagai sekolah adiwiyata tingkat kota dan provinsi, dan kini sedang berkompetisi di tingkat nasional. Tentu saja semua itu adalah pencapaian luar biasa dari sekolah yang dulunya hampir saja tinggal nama. Dan atas semua yang diraih itu, Guru Ningsih kini dipercaya menjadi Ketua Bidang Pendidikan Forum Komunikasi Kepala Madrasah Swasta kota Medan.
Setelah melalui perjalanan yang panjang dan berliku, kini Guru Ningsih benar-benar bisa mencintai pekerjaannya sebagai guru. Menjadi guru bukan lagi sekadar mengisi kekosongan, atau aktivitas sampingan sembari menunggu pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Baginya, menjadi guru adalah sebuah pilihan.
Melalui kisah Guru Ningsih kita belajar bahwa menjadi guru itu soal kemauan dan kesungguhan, tak melulu harus dari sarjana pendidikan. Menjadi guru juga bukan hanya soal mengajar di kelas, tapi bagaimana berjuang sepenuh hati untuk menjadikan sekolah semakin berkualitas.
Sumber : https://m.republika.co.id
1 Comment
Artikel yang berjudul “Dari guru kebetulan, menjadi guru teladan” adalah artikel yang dapat menginspirasi guru-guru di Indonesia. Banyak sekali guru yang merasakan hal yang sama terkait artikel tersebut. Ada banyak kisah guru yang beranjak dari latar belakang pendidikan non guru kemudian memulai profesi guru dengan merasa tidak yakin akan menjadi seorang pengajar. Tetapi, setelah menjalani proses menjadi seorang guru dengan banyak berinteraksi dengan siswa yang membuatnya kemudian mencintai pekerjaannya sebagai seorang guru. Tugas sebagai guru mampu di emban dengan tanggung jawab penuh.
Artikel yang berjudul “Dari guru kebetulan menjadi guru teladan” meruntutkan proses perjalanan Guru Ningsih bagaimana ia tidak menyangka akan mencintai profesinya sebagai guru. Hal tersebut membuat pembaca akan paham tentang makna dari judul yang disajikan dalam artikel tersebut serta mampu untuk merasakan bagaimana proses ibu guru Ningsih untuk mencintai pekerjaan yang awalnya bukanlah minatnya. Sehingga, pembaca pun akan dapat memetik pelajaran-pelajaran penting dalam artikel tersebut. Bahwa dalam sebuah pekerjaan, kita sepatutnya melaksanakan tugas dengan sepenuh hati serta proses berada didalamnya segala lika-liku permasalahan, bagaimana kita mengatasinya serta bagaimana kita memecahkannya. Jika belum minat, bukan berarti kita tidak mampu melakukannya.