Cerpen : Kisah Tentang Kesucian Cinta Inong Yang Terkhianati

 Cerpen : Kisah Tentang Kesucian Cinta Inong Yang Terkhianati

Oleh :Iswandi Usman

Di kampung ini Inong selalu setia menunggu kepulanganmu. Saban hari ia selalu menyebut namamu. Inong tak pernah curang dalam menjaga kesucian diri dan cintanya kepadamu. Harapanku, kau takkan menyia-nyiakan Inong dan anakmu yang sedang dikandungnya. Tapi, dugaanku meleset. 

Ketika kau rampas Inong dari hidupku, kau telah berjanji padaku bahwa kau akan selalu menjaga Inong seperti kau menjaga dirimu sendiri. Hingga kurelakan Inong untuk kau kawinkan. Kukorbankan perasaanku sendiri demi niatan sucimu itu. Kuanggap. Kau akan menyambung asaku. Kau akan menepati janjimu untuk menjaga dan membahagiakan Inong. Tapi aku tak melihat kau melindungi dan membahagiakan Inong sebagaimana yang kuharapkan. Kau malah menjerat hari-hari Inong dengan belenggu sengsara. Setelah itu.  Kau tinggalkan berkeping luka di hati Inong. Seperti ada belati yang tertancap di dadanya. Kemudian, kau pergi tak kembali. Menghilang tak tentu rimbanya.

Jika kubilang ridza, maka aku mengiklaskan Inong dengan sepenuh hati padamu. Walau aku terkadang harus meratapi tentang kehilang Inong dari mahligai cintaku yang sudah sekian lama terbina bersama Inong. Meretas hari-hariku bersama Inong adalah surgawi yang tak tercela. Aku dan Inong cukup sepadan. Kami saling mencintai. Dalam kisah percintaan kami berdua. Kami saling mengasihi dan saling membagi suka duka berdua. Lalui hari-hari kami dengan penuh canda tawa, tangis dan bahagia. Kemudian kami berencana ingin melanjutkan hari-hari kami ke jenjang pernikahan. Namun, itu cerita dulu. Sebelum kau merenggut Inong dari hidupku dengan cara yang sangat keji. Kau tega membubuhi serbuk perangsang dan penghilang ingatan ke dalam cangkir minuman Inong, setelah itu, kaupun menodainya. Kau menghamilinya. Dengan alasan bahwa kau juga mencintai Inong. Kau mengagumi kecantikan dan kelembutan paras Inong yang ayu. Kau katakan itu padaku setelah perbuatan bejatmu itu kau lakukan. Tentunya ketika perut Inong kian menonjol. Tak ada celah untuk tersembunyi dari tiap tatapan mata yang memandangnya. Kaupun mengakui segala kebejatan yang telah kau lakukan itu pada tubuh Inong yang kau gandrungi itu. Dengan harapan, supaya aku merelakan Inong lepas untukmu, agar aku menjauhi Inong dan membencinya. Aku gemetaran mendengar pengakuan darimu itu. Kubayangkan nasib Inong. Dalam hidupnya, Inong sebatang kara. Inong sudah tak punya siapa-siapa. Inong piatu semenjak ia masih bayi. Inong diadopsi oleh ibuku sebagi anak angkat. Dan ibuku yang merawat Inong seperti merawat anak kandungnya sendiri. Kedua orang tua Inong terlibas gejolak konflik Aceh yang angkaranya menembus langit. Iri dengki, laknat-khianat merajai bumi persada. Kaum lemah tertindas oleh kebiadaban-demi kebiadaban. Seakan tak ada lagi tempat berlindung dari kebringasan demi kebringasan yang terjadi. Hari-hari yang dilalui bagaikan duri-duri yang bertebaran dengan jaring-jaring merah yang menyergab. Gugusan gemintang dan rembulan bagaikan beling yang terpancar. Menusuk perlahan, menancab ke pori-pori, bahkan sampai mencabik-cabik daging, memporak-porandakan urat-urat hingga meremukkan belulang-belulang. Terlepas itu siapa dan atas dasar kesalahan apa yang dilakukan. Yang jelas. Kematian diujung-ujung senjata, mencengkram tatanan kehidupan dengan belenggu kekejaman, brutal dan kejam. Burung-burung hantu dan burung bajoe weu serak dalam mencerca malam. Lolongan anjing-anjing liar terus menghujam bangkai dengan taring-taring kematian.  Pembantaian dan pemerkosaan terus melaju bagaikan waktu yang bergulir. Seakan tanpa hentinya. Dan kau terlihat dimataku bagaikan penerus problema itu. Dan kini tepat berada di hadapanku.  Jika saja kau tak pernah jadi sahabatku. Mungkin malam itu kau telah kujadikan bangkai yang berantakan seperti beras yang ditumbuk dengan jingki. Kau akan kubuat jadi tepung. Namun tak kulakukan itu padamu. Hanya sekedar kumemarkan mukamu saja dengan kepalan tinjuku. Lantaran kau pernah menjadi sahabat dekatku. Malam itu, aku tak berharap kalimat yang keluar dari mulutmu tentang tanggung jawab. Numun kau bersumpah di hadapanku dan kau bersujud di kakiku, bahwa kau akan bertanggung jawab atas perbuatanmu yang membakar hatiku. Kau berjanji dihadapanku bahwa kau akan mengawini Inong. Jika saja malam itu kau sedikit saja memperlihatkan keangkuhanmu dihadapanku tentang keberhasilanmu saat merengkut mahkota dari Inong, mungkin saja persahabatan kita akan menjadi kenangan berdarah. Riwayatmu pasti kutamatkan malam itu. Begitulah amarahku saat itu. Terasa kata hampir tak mampu berbicara, hampir saja ujung rencong yang merangkai kata. Mengukir tajuk kematian, menembus rongga dadamu yang tamak itu. Kuredam segala gejolak yang meudrok-drok dengan didih yang teramat panas itu dalam diriku. Demi Inong dan harapan masa depannya. Bukan karena persahabatan kita yang telah kau khianati itu. Tapi karena Inong dan buah hatinyalah, maka aku masih bisa bersabar atas nama amarah yang bergejolak.

Sekian lama aku terpaksa harus hidup tersiksa tanpa Inong. Hati lelaki mana yang merelakan dan mampu bertahan selamanya bila kekasih hati yang begitu dicantai yang ia korbankan demi kebahagiaan sahabatnya sendiri harus dipapas dalam gelimangan derita? Kurasa pecundang sekalipun takkan mampu, kawan.

Jika kubilang pasrah, maka aku menyerah. Kubiarkan Inong dikayut nestapa aku berdosa. Kujemput ia kembali menjadi milikku, itu terkutuk. Semenjak kau telah mempersunting Inong. Inong takkan pernah mahu dirinya didekati oleh lelaki manapun selain dirimu, suami yang sangat ia hormati. Meskipun terkadang aku kerap berpikir untuk membujuk Inong supaya ia mahu kembali lagi padaku dan menjalani hari-hari kami  bagai waktu dulu. Inong selalu menggeleng. Ia berkata padaku dengan kata “tidak”. Inong malah memintaku agar aku mencari perempuan lain sebagai penggantinya untukku. Sementara Inong lebih memilih tetap setia padamu. Sedangkan air mata Inong terus mengalir bagaikan hujan. Entah karena ia menangisi nasibnya. Entah pula karena ia menangisi kenangan indah diantara kami berdua yang pernah kami jalani dulu, sebelum kau memohon padaku agar aku melepaskan dia untuk kau persuntingkan.

Inong kini bak bungong meulu yang berguguran helai-demi helai dari kuncupnya. Meskipun kau telah merenggut madu bunga dijembangannya dengan cara tragis. Dan kau mencoba untuk mentopengi diri dihadapan Inong dengan cara mempersuntingnya dengan kurun waktu yang cukup prematur. Ternyata, cintamu terlahir pada Inong adalah cinta yang terlahir secara prematur dan matinya tragis. Penuh birahi, kawan. 

Keteguhan hati Inong ternyata tetap abadi untuk mencintai suaminya, yaitu kau yang songong itu. Meskipun raut pada paras Inong kulihat begitu lesu, tanpa gairah lagi. Berkali-kali aku berusaha menemui Inong di kamar tidurnya, disetiap ruang dan waktu, membangkitkan semangat yang patah itu, agar kembali bergelora untuk jalani hari-hari Inong untuk selalu tegar hadapi nelangsa akibat ulahmu itu. Tapi Inong selalu menolak untuk bertemu denganku. Kau tau kenapa? Itu karena Inong tak ingin kesucian pernikahan kalian itu tercela. Kau malah menuduhnya perempuan murahan. Kau cemburui dia. Kau juga menduganya telah bermain serong denganku, sahabat Inong sejak kecil. Sekaligus cinta pertama Inong yang kemudian indahnya cinta itu kau nistakan, lalu kau curangi Inong, kemudian kau simpuhi kakiku agar berkorban. Ya, berkorban demi sahabatnya sendiri yang tak tau diri. Kau terus mencurigai Inong yang berhati mulia itu. 

Tubuh Inong yang dulu semampai kini telah berubah menjadi ringkih. Matanya sembab. Wajahnya cekung. Hanya perutnya saja yang tampak tambun karena mengandung benihmu. Kau sungguh tak pernah memperdulikan mereka. Kau tega membiarkan mantan pujaan hatiku merana dalam gulananya jiwa. Inong gundah, kawan. Ia takut menjadi seorang istri yang tak berbudi. Inong merindukan syurga di bawah telapak kakimu. Tapi kemuliaannya tak pernah kulihat kau hargai sedikitpun, sebagaimana Inong menghormatimu.

Berkali-kali pernah kutanyakan padamu. Jika kau tak lagi mencintai Inong. Apakah kau akan melepaskan Inong padaku sebagaimana dulu Inong kulepaskan padamu? Kau menghinaku dan Inong dengan kata-kata jorok. Kau maki aku. Kau bilang aku rahwana, sedangkan Inong kau gunjing sebagai perempuan jalil, pelacur. Pikiran busukmu menyanyat hatiku. Tapi kau tetap tak ingin perduli, walau aku bertanya beribu kali. Kemudian, kau tak hanya meragukan aku dengan Inong, tapi kau juga meragukan pula anakmu sendiri yang dikandung Inong. Kau menuduh Inong hamil itu karena ulahku yang mendahuluimu dalam menodai rahim Inong yang suci itu. Keraguanmu pada darah dagingmu sendiri mengusirku pergi. Aku hanya tak ingin memburaikan isi perutmu dengan rencong yang terselip di balik jaket abu-abuku, karena amarahku saat itu hampir saja meledak. Bukan karena aku takut pada kekar tubuh dan kejagoan silatmu yang dulu kudengar sangatlah tangguh. Tapi… karena aku tak ingin mengotori tanganku dengan darahmu. Sebab kutau tingkat kehebatanmu masihlah dibawah Konto Syekh Abdul Kadir jailani Baghdadade milikku. Kuharap kau tak menganggap aku ini menyombongkan diri dengan ilmu kanuragan yang kumiliki.

Seseorang telah membisikkan pada Inong tentang keberadaanmu. Orang itu mengatakan pada Inong bahwa kau berada disuatu tempat yang cukup jauh, dan orang itu meyakinkan Inong dengan mengatakan bahwa orang itu telah menemukanmu di sana. Malam itu juga Inong hendak mencarimu ketempat yang dimaksud orang itu. Aku kehabisan akal untuk mencegah Inong agar tidak pergi ke sana atas nama kasihan. tapi Inong terus meronta dan memintaku untuk mengantarkannya ketempatmu itu yang konon sangatlah hina. di Bedeng Syetan, kawan. Di situlah tempatmu kini. Tempat berjuta kemaksiatan itu berkembang. Di lokalisasi pelacuran. Di sebuah pulau yang jauh di balik negeri kerang yang berkarang.

 Inong terus memohon padaku, sebagaimana dulu kau bersimpuh  di kakiku. Aku sampai tak tega membiarkan Inong lusuh dikayut rindu padamu, walau itu yang keterakhir kali. Inongpun aku temani. Tapi apa yang Inong dapatkan setelah berjuang dengan segenap upayanya untuk menemukanmu? Inong tewas bersama bayinya dalam pangkuanku di atas bongkahan karang putih yang menjulang di atas permukaan air laut selat Malaka, tempat kami terdampar dihempas ombak yang seakan meranggas lara, mencabik luka, sedangkan kau tak pernah ia temukan. Tahukah kau kapan dan dimana Inong menghembuskan nafas terakhirnya? Inong tewas beberapa hari yang lalu, ketika boat yang kami tumpangi sedang mengarungi samudera menuju Negeri tempat kau singgahi itu. Boat yang kami tumpangi itu tenggelam di Laut Selat Malaka. Ia tewas dalam pangkuanku. Musibah itu telah memberangus harapanku dengan kepergian Inong. 

Dan… di sini, di Pelabuhan Mercuri ini. Entah angin apa yang menghempasmu kembali lagi ke Negri ini. Angin itu ternyata mempertemukan kita kembali di sini, diantara deru angin sore yang cukup merapuhkan belulangku dan rona mentari yang berlayung merah saga. Setelah tiga bulan kematian Inong. Kau rupanya baru menyadari, disaat semua sudah tak mungkin lagi kembali. Penyesalanmu takkan membuat jasad Inong bernyawa kembali, meskipun kau mendekap mayatnya yang telah beku yang diturunkan dari boat karet oleh petugas SAR, milik Marinir yang bertugas di parairan laut Pulau Papasangkara yang telah bersusah payah mencari dan menyelamatkan kami. Inong dan darah daging yang pernah kau curigai itu telah mati. Mereka telah lama mati, kawan. Dan kini kau mengutuk diri.

Kawan. Sehelai sapu tangan Inong yang dia titipkan padaku untukmu saat ia hendak menghembuskan nafas terakhirnya. Masih kusimpan. Inong juga berpesan padaku. Ia meminta padaku untuk menyampaikan permintaan maafnya padamu, jika kelak aku bertemu denganmu. Inong meminta maaf padamu dengan linangan air mata, lantaran saat-saat terakhirnya ia berada dalam dekapanku, tanpa setahumu, tanpa seizinmu. Meskipun tersendak didaku mendengar kata-kata terakhir dari Inong, aku mengurut dadaku dengan keharuan dan kehancuran hati. Inong Meminta padaku supaya memberikan sapu tangan itu padamu, sebab itu adalah satu-satunya Yang Inong dapatkan darimu, suami yang Inong hormati dengan bersungguh hati. Pemberianmu padanya setelah pernikahan kalian berdua terjadi. Sehelai sapu tangan saja, kawan. Tidak lebih. Kurasa, kau adalah satu-satunya suami didunia ini yang hanya mempersembahkan sehelai sapu tangan saja untuk istrinya. Selebihnya hanyalah berjuta kegamangan dan penderitaan. Sialan kau.

Kau tak kuasa mendengarnya, bukan?  Tapi itulah kenyataan tentang Inong, istrimu yang kau anggap perempuan tak punya harga diri itu. Sekarang terserah apa maumu. Jika kau tetap ingin mencari perempuan sebersih hati Inong. Kurasa sampai licah bumi ini sekalipun kau tapaki, kau takkan pernah mendapatkan pengganti Inong seperti Inong yang kau tuduh pelacur itu. Meskipun inong-inong banyak yang terlahir di dunia ini, tapi inong yang seperti Inong sudah langka didunia ini. Sudah langka, kawan. Paling, jika kau menemukan pengganti Inong dan kau mempersuntingnya, lalu hanya merias tubuh inongmu yang baru itu hanya dengan sehelai sapu tangan saja. Tidak lebih, seperti halnya yang kau lakukan pada Inong. Kurasa kau yang malah di hempas melebihi liku hidup Inong. Kau pasti akan dihalau bertubi-tubi ke bawah ranjang pembaringan. Berkali-kali, kawan. Kuharap dugaanku itu kali ini juga meleset kawan.***

Biodata Penulis    

Iswandi Usman lahir di Matang Panyang Kecamatan Seunuddon Aceh Utara, 5 Februari 1981. Sehari-hari bekerja sebagai Guru PNS pada SD Negeri 8 Muara Batu Kabupaten Aceh Utara. Beberapa cerpennya dimuat di Harian Serambi Indonesia. Majalah Suara Guru PB PGRI Nasional. Beberapa cerpennya juga dimuat di berbagai media cetak maupun online baik lokal maupun nasional. Beberapa puisinya terhimpun dalam buku antologi bersama DKA Kota Langsa Tahun 2014. Pernah mendapat Juara III menulis Feature yang diselenggarakan Disdik Pora Aceh Utara bekerjasama dengan Indonesia Mengajar 2013. Peraih medali perunggu pada Kompetisi Gurulympics 2020 mewakili Aceh Bidang Olah Ilmu/Karya/Karsa Cabang O: Bahasa Indonesia dan Sastra yang deselenggarakan oleh PGRI Smart Learning and Character Center. Saat ini menetap di Kutablang Kabupaten Bireuen. Salam hormat buat bapak Syeh Mulyadi selaku kepala sekolah SD Negeri 8 Muara Batu. Bapak Muhammmad Johan, Guru SMK Seunuddon dan teman-teman guru lainnya yang berada di Seunuddon dan Muara Batu pada kususnya. Alfatihah untuk Alm Guru sastra saya Teungku Mahdi Idris. Dan teman-teman PGRI Aceh Utara.Terimakasih. Kini Menepi entah untuk apa lagi.

Spread the love

Yudhi Kurnia

redaksi@satuguru.id

Related post

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *