SEPENGGAL PENGABDIAN DI UJUNG LAMAHAHU
Oleh: Karlina Husin, S.Pd (Guru SD Negeri 2 Tolondadu)
Link: https://s.id/kanalsatuguru
Menjadi seorang guru adalah hal yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Karena sejak kecil impianku menjadi seorang dokter. Tapi, jalan takdir Allah tak mampu kutolak. Selepas SMA, aku ingin kuliah kedokteran, tapi terkendala pada biaya. Kasihan pamanku, kehidupan keluarganya pas-pasan. Memang, sejak kematian mama saat diriku berusia 10 tahun, aku sudah tinggal bersama paman, adik mamaku. Tidak ada yang bisa kulakukan selain bersabar, sholat, dan berdoa. Persis seperti yang difirmankan Allah dalam Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 45, yang artinya, “Dan Carilah Pertolongan Allah Dengan Sabar dan Sholat”.
Akhirnya pucuk dicinta ulam tiba. Begitulah kata pepatah. Salah seorang guru SMA kami mengumumkan bahwa dibuka pendaftaran Beasiswa Ikatan Dinas Berasrama S1 PGSD. Beasiswa ini kerjama antara KEMDIKBUD dengan Pemerintah Provinsi Gorontalo, dan penyelenggaranya adalah Universitas Negeri Yogyakarta. Guru SMA kami tersebut juga menjelaskan bahwa untuk mendapatkan beasiswa ini harus melalui serangkaian seleksi. Bila lulus seleksi akan kuliah di Jogja. Dan bila selesai kuliah akan disediakan tempat tugas masing-masing. “Beasiswa ini tidak mengeluarkan biaya sepeserpun,” tambah guru SMAku. Dari biaya pesawat, biaya kuliah, asrama, makan, biaya buku, bahkan biaya bila sakit nanti ditanggung pemerintah. Mataku berbinar-binar mendengar hal ini. “Wah, ini peluang emas” gumamku dalam hati. Aku tahu persis ini tidak sesuai cita-citaku. Tapi apa boleh buat, mungkin saja ini pilihan Allah untukku. Dan yang paling penting bagiku, bisa melanjutkan pendidikan gratis. Dengan semangat dan tekad yang bulat, aku ikut mendaftar dan mengikuti serangkaian tes. Alhamdulilah saat pengumuman kelulusan beasiswa, namaku ada dalam daftar yang lulus. Tak terkira syukurku kepada Allah. Masih jelas dalam ingatanku tanggal 1 September 2007, kami berjumlah 40 orang yang lulus beasiswa mendarat di Bandara Adi Suctjipto, Bandar Udara Yogyakarta dengan pesawat Lion Air.
***
Singkat cerita, empat tahun pun berlalu. Tepatnya di Bulan Januari Tahun 2012 kami telah kembali ke daerah masing-masing dengan menyandang gelar sarjana guru sekolah dasar. Kami pun telah disediakan tempat tugas masing-masing dengan status Guru Kontrak. Inilah kehidupanku menjadi guru dimulai. Aku ditempatkan di salah satu sekolah dasar yang ada di Kecamatan Bilato, Kabupaten Gorontalo. SDN 2 Lamahu, namanya. Sekolah ini berada di Desa Lamahu. Dari rumah tempat aku tinggal masih satu jam perjalanan bila naik kenderaan. Selanjutnya, dari jalan raya utama masih menempuh perjalanan sejauh kurang lebih delapan kilometer. Jalanan setapak sedikit berbatu, tapi masih boleh dilalui kenderaan roda dua. Sekolahnya berada di ujung kampung. Jarang kami menemui rumah penduduk bila menuju sekolah tempat tugasku. Hanya ada kebun, hutan, gunung, jurang, dan ternyata aku baru sadar bahwa sekolah ini berada nan jauh di pedalaman. Betapa tidak, bahkan listrik pun tidak ada. Bila maghrib tiba, dinyalakan generator yang bahan bakarnya solar. Dari situlah, lampu-lampu di rumah-rumah warga sekitar dapat menyala. Bila pukul sepuluh malam tiba, maka generator pun dimatikan, dan warga mulai berganti memakai lampu botol yang diisi dengan minyak tanah. Bukan hanya listrik, air pun agak sulit didapat. Jelas sekali kehidupan ini bertolak belakang dengan kehidupan kami di Jogja yang serba ada. “Mau tidak mau, harus mau”, bisikku dalam hati. “Dari semua ini masih ada yang perlu disyukuri, yaitu adanya jaringan telpon”, gumamku sembari tersenyum.
Setelah survei tempat, aku mendapat ijin tinggal di rumah Bapak Kepala Desa Lamahu yang jaraknya sekira 20 langkah dari sekolah tempatku bertugas. Keluarganya sangat baik. Setiap pagi, Bunda, yaitu sapaan untuk istri bapak kepala desa, sudah memasakkan sarapan untukku. Masaknya pakai tungku, karena waktu itu disana belum ada kompor gas. Sedangkan bapak kepala desa yang menimba air untuk aku mandi pagi. Dan untuk mandi sore, bunda yang menimba air, kadang juga anak lelakinya. Lama kelamaan aku mulai merasa tidak enak hati. Untuk itu, aku berebut dalam menyediakan air untuk pagi dan sore hari. Sayangnya tidak semudah yang kupikirkan. Sumurnya sangat dalam. Untuk menarik ember yang dipakaikan tali, perlu tenaga ekstra sehingga membuat tanganku memerah terasa perih. Awal-awal memang penuh perjuangan, tapi semakin hari semakin dinikmati.
Begitulah keadaanku disana. Aku telah siap dengan semua keadaan. Bahkan pernah, karena ada urusan darma wanita, Bunda tidak sempat memasak lauk, dan memintaku untuk memasak. Dan disana, jarang ikan segar kecuali bila ke pasar atau sesekali penjual ikan datang. Yang ada saat itu, hanyalah ikan rowa, ikan yang sudah dikeringkan. Aku pun menumbuknya dicampur dengan cabe, bawang merah, dan tomat. Inilah pengalaman pertama mamasak pakai tungku. Sebenarnya aku tidak tahu bagaimana caranya pakai kayu bakar. Setelah berulang-ulang dicoba, akhirnya apinya menyala juga. Kutambahkan kayu sebanyak mungkin, lalu aku pun mulai memasak. Tidak sesuai ekspetasi, masakanku sedikit gosong. Cepat-cepat aku angkat sekalian bersama kualinya. Setelah Bunda pulang soreng hari, kuceritakan semuanya. Bunda pun tertawa lepas. Lucu memang. Menurut Bunda, hal itu dikarenakan kayu bakarnya terlalu banyak sehingga apinya menjadi besar. Walaupun agak gosong, Bunda dan Bapak Kepala Desa tetap melahap masakanku.
Ketika aku bergabung di SDN 2 Lamahu, ibu kepala sekolah memintaku untuk menjadi wali kelas 1. Karena wali kelas 1 saat itu hanyalah guru agama. Aku pun menerimanya dengan senang hati. Rata-rata jumlah siswa di setiap kelas kurang lebih sepuluh orang. Sekolahnya juga jauh dari keramaian. Maka, benar-benar tenang suasana sekolahnya. Ditambah lagi peserta didiknya penurut, sopan, santun, hormat terhadap guru, dan jarang terjadi kekacauan antar sesama peserta didik. Bila sore hari tiba, anak didikku datang belajar. Kami pun belajar di halaman depan rumah kepala desa yang beralaskan rumput hijau. Suasana pedesaan memang masih sangat asri. Para warganya juga sangat ramah. Penduduk di sana selalu menyapaku dengan panggilan “Ibu” seperti yang biasa disapa anak-anak didikku. Awalnya merasa canggung, karena dalam segi umur, mereka lebih tua dariku. Ternyata hal itu bentuk penghormatan mereka kepada seorang guru sekalipun guru muda. Jiwa kekeluargaan, toleransi, gotong royong masih kental di sana. Sayangnya, aku hanya bisa mengabdi selama enam bulan di ujung lamahu. Bulan Juni tahun 2012 aku telah menikah, dan pindah tugas ikut suamiku. Namun kenangan di sana masih tersimpan manis dalam memoriku walau sepuluh tahun telah berlalu.
Hanya ucapan terima kasih yang dapat aku ucapkan untuk Bapak Kepala Desa Lamahu, keluarganya, warganya, rekan-rekan guru, dan anak-anak didikku. Banyak pengalaman dan pelajaran berharga yang aku petik dari kehidupan mereka.
***
3 Comments
Di lanjutkan lagi kisahnya Bu. Masih penasaran dengan pengalaman2 ibu disana, meski hanya beberapa bulan
tulisan yang bagus…..tulisannya sangat menginspirasi saya bahwa semuanya adalah takdir baik dari yang maha kuasa.
Guru Luar Biasa…..jauhnya akses ke sekolah Alhamdulillah bisa beratahan 6 bulan…..kalau saya mungkin tidak bisa selama itu…….