Mengganti Kurikulum, Lupa Membangun Arah

 Mengganti Kurikulum, Lupa Membangun Arah

Di saat negara-negara seperti Korea Selatan, Jepang, dan Singapura merawat pendidikan layaknya taman yang disiram rutin, Indonesia justru sibuk bereksperimen dengan kurikulum baru seolah tengah mencoba-coba baju mana yang dikenakan saat pergi kondangan. Mereka tidak tergoda euforia sesaat. Mereka membangun pendidikan dengan visi panjang, lintas rezim, dan berbasis konsensus nasional. Bukan sebagai proyek politis lima tahunan, melainkan sebagai pilar peradaban yang tak boleh goyah.

Lihatlah Korea Selatan: dari negara miskin pasca-perang menjadi kekuatan manufaktur dan teknologi dunia. Itu bukan sulap. Itu buah dari cetak biru pendidikan yang dijaga puluhan tahun. Di Jepang, silih berganti perdana menteri, namun roh pendidikan mereka tetap utuh. Nilai-nilai dasar yang ditanamkan sejak awal tidak ikut terganti hanya karena jabatan berpindah tangan. Di Singapura, pendekatan yang sama membuat mereka terus menempati peringkat atas pendidikan global.

Sementara itu, di sini, kurikulum kerap berganti lebih cepat dari pergantian kalender semester. Menteri baru hadir dengan konsep baru—kadang hanya perubahan nama, kadang seluruhnya baru, tapi kerap tanpa kesinambungan. Seolah mengganti motif sarung bantal, tanpa memeriksa apakah kasurnya masih layak atau justru makin lapuk.

Di saat negara lain mengasah kemampuan literasi dan numerasi warganya secara konsisten dan terukur, kita lebih sibuk memperindah kemasan tanpa mengecek apakah isi dalamnya bisa dicerna. Mereka membentuk manusia pelan-pelan, tapi pasti. Kita? Kadang terlalu reaktif pada tren global, tapi lupa memastikan cocok-tidaknya dengan realitas lokal.

Pendidikan bukan soal cepat berubah. Ia soal ketekunan, arah, dan komitmen jangka panjang. Dan selama kita masih terpikat pada kemasan tanpa membenahi substansi, maka jangan heran bila kualitasnya terus terombang-ambing, mengikuti gelombang politik yang datang dan pergi.

Mungkin sudah saatnya kita kembali memikirkan perlunya semacam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) khusus di bidang pendidikan—sebuah panduan jangka panjang yang tidak mudah diubah hanya karena pergantian menteri atau kepentingan politik sesaat. Sebuah cetak biru nasional yang menegaskan arah, nilai, dan tujuan pendidikan Indonesia dalam 25 hingga 50 tahun ke depan.

Bukan untuk membelenggu inovasi, melainkan untuk memastikan bahwa setiap kebijakan, kurikulum, dan program berjalan di rel yang sama: membangun manusia Indonesia yang merdeka berpikir, terampil secara global, dan berakar kuat pada kebudayaan bangsanya sendiri. Tanpa fondasi semacam ini, pendidikan kita akan terus menjadi arena eksperimen tak berkesudahan, alih-alih menjadi mesin peradaban yang kokoh dan berkelanjutan. (Red)

 

Spread the love

Related post