MENGAJAR MENYUSURI HUTAN SIBOSOK
Oleh Tuti Aryaningsih, S.Pd.
Rimbun dan hijaunya dedaunan saat mendaki desa Kalisari Kecamatan Rowokele menjadi hal yang pertama berkesan bagi saya. Melihat terjalnya jalan penuh bebatuan membuat nyali saya kecil. Bermodalkan motor Supra X keluaran 2007 membuat saya sempat berhenti di tengah perjalanan. Tinggi dan kokoh serta curamnya pegunungan kapur sungguh sangat menakjubkan. Banyaknya pekerja tambang batu kapur berjejer di pinggir jalan, memecah belah batu dengan peralatan sederhana. Peluh keringat mengucur dari sekujur badan wanita serta pria paruh baya sambil tersenyum menyapa saya.
Saya duduk dan berhenti di sebuah sekolah. SD Negeri 1 Kalisari, Kecamatan Rowokele. Sampailah saya di sana. Sambil beristirahat saya terdiam sejenak. Perjalanan dari Desa Panjer Kecamatan Kebumen yang memakan waktu dua jam sungguh melelahkan. Awamnya saya akan daerah Kalisari membuat saya sangat menikmati pemandangan sekitar. Tak pelak sayapun kagum akan keindahan alam ciptaan Tuhan.
Pertama kali mendapat tugas mengajar menjadi PNS tahun 2009, saya ditempatkan di SD Negeri 1 Kalisari Kecamatan Rowokele. Selama mengajar di sana, saya indekos di rumah warga. Butuh penyesuaian diri yang lama bagi saya yang masih berusia 22 tahun. Saya yang terbiasa dengan hiruk pikuk keramaian kota tiba-tiba harus berhadapan dengan kehidupan desa di tengah hutan belantara yang sangat sulit dijangkau oleh kendaraan apalagi angkutan umum. Sebagian penduduk di sana banyak yang punya truk, mobil, atapun motor. Namun yang mengherankan bagi saya adalah tak ada satupun sepeda yang lewat . Hanya anak-anak kecil yang bermain sepeda onthel. Sedangkan orang dewasa semua memakai motor. Hal tersebut membuat saya kagum, setidaknya saya berpikir bahwa hal tersebut menandakan tingkat ekonomi warga tidak terlalu rendah. Namun setelah saya pelajari beberapa bulan ternyata bukan itu alasannya. Motor memudahkan akomodasi mereka karena akses jalan yang kurang baik. Bisa dikatakan sangat buruk. Namun kebanyakan motor yang warga miliki tak bersurat alias legal. Namun hal tersebut sudah tak menjadi hal yang tabu, karena toh mereka hanya gunakan untuk sebatas di daerah sekitar desa tersebut. Hal yang saya takutkan pertama kali adalah jika terjadi hal yang tak diinginkan seperti ban bocor di tengah tanjakan yang berbatu. Sedangkan bengkel tak ada satupun di sana. Jika adapun cuma beberapa dan hanya ada di daerah yang rendah yang ada kehidupan beberapa warga. Pernah saya harus menuntun motor saya dari bawah tanjakan terjal ke atas dekat hutan yang penuh bebatuan saat akan berangkat mengajar. Tak ada satupun bengkel. Pengalaman yang sangat pahit. Ketika satu minggu pertama saya coba untuk berangkat laju dari rumah ke Rowokele. Sulit harus melaju kencang mengejar kendaraan besar agar tak terlambat sampai sekolah. Suatu ketika saya pulang les kelas 6 saat cuaca sangat mendung, melewati hutan Sibosok yang sepi dan gelap. Tiba-tiba hujan turun sangat lebat. Saya berpapasan dengan truk di tanjakan. Saya mundur tak bisa majupun tak bisa. Saya berdoa dalam hati karena jalan yang licin membuat tangan gemetar memegang kendali. Begitu sempit dan mepet motor saya ke arah kiri dan bawahnya jurang. Peristiwa yang sangat menegangkan. Namun akhirnya berhasil saya lewati.
Selama satu bulan pertama saya hidup berdampingan dengan latar belakang warga yang sangat berbanding terbalik dengan tempat tinggal saya dulu. Sempat saya sedih dan hati saya merana. Jauh dari orang tua dan teman-teman. Namun itu konsekuensi yang harus saya terima. Berani dan harus siap menghadapi. Adat istiadat yang berbeda, pola hidup , cara pandang dan cara pikir yang berbeda harus saya hadapi. Namun ada beberapa hal yang harus saya ubah dari cara pandang warga terhadapa pendidikan. Butuh waktu pastinya. Memangnya apa yang perlu diubah?
Kehidupan desa yang penuh potensi alam tentu membuat masyarakatnya sangat bergantung juga pada alam. Sebagian warga dewasa tak melanjutkan sekolah tinggi namun melnjutkan untuk bekerja. Menjadi TKW di Malaysia ataupun di Hongkong. Sebagian warga yang memilih menjadi penambang batu kapurpun juga banyak. Mindset mereka terhadap pentingnya pendidikan sulit diubah. Pola hidup sejak turun temurun yang mengutamakan kesuksesan adalah melihat harta yang melimpah. Padahal bukan itu tujuan sebenarnya pendIdikan. Banyak warga yang menjadi bos tambang kapur tapi berpendidikan rendah. Banyak juga lulusan SD yang menjadi bos kayu. Berangkat dari hal tesebut, sebagian warga berpendapat bahwa pendidikan tidak begitu penting. Mereka melihat bahwa bersekolah tinggi hanya membuang-buang uang. Toh selesai kuliah kembali lagi ke kampung menggarap dan meneruskan usaha keluarga sebagai penambang kapur. Namun sebenarnya ada satu atau dua keluarga yang berpikiran maju, sehingga mau menguliahkan anaknya. Seperti anak penjaga SD Negeri 1 Kalisari yang menyekolahkan anaknya di Jakarta. Mungkin karena sering bergaul dengan guru-guru di sekolah sehingga pola pikirnya ikut berkembang.
Anak-anak yang bersekolah di SD Negeri 1 Kalisari sangat berbeda dengan tempat saya tinggal dulu. Banyak yang berpakaian lusuh, kumal dan tidak bersepatu. Bagi sebagian guru SD Negeri 1 Kalisari, mereka sudah berangkat saja harus disyukuri. Ketertinggalan dalam hal pendidikan membuat semangat dalam belajar berkurang. Terutama dalam hal pengetahuan umum. Nilai Ujian Nasional saja sejak dulu sampai saya mengajar di sana tahun 2010-2012 selalu mendapat rangking terbawah. Saya berpikir untuk menggali potensi non akademik dari siswa di sekolah tersebut. Saya berikan buku bacaan perpustakaan yang seadanya setiap pagi untuk dibaca. Saya tekankan mereka untuk selalu tekun membaca. Dengan begitu pengetahuan mereka bertambah dan wawasan akan terbuka. Sejak saat itu siswa kelas 5 saat mengikuti lomba cipta baca puisi berhasil meraih beberapa prestasi. Saat prestasi pertama di raih saya bersemangat untuk mencari potensi lain dari siswa di sekolah tersebut. Saya bersama Guru Tidak Tetap baru bernama Heri Purnomo, yang baru lulus dari kuliah, menggerakkan ekstrakurikuler pramuka. Ternyata keterampilan dalam kegiatan pramuka siswa siswa di sana luar biasa. Unik sekali di sisi akademik siswa siswa di sana kurang begitu menonjol. Di sisi lain potensi non akademik seperti pramuka dan seni, mereka sangat menonjol, berprestasi hingga tingkat kabupaten.
Sejak saat itu saya mulai terpanggil untuk mulai pendekatan ke pemuda-pemuda desa lewat karang taruna untuk menciptakan komunikasi agar tujuan saya berhasil. Lewat kegiatan masjid, saya adakan program membaca barzaji bagi anak-anak selepas mahgrib. Warga masyarakat sangat antusias dan menerima dengan senang hati. Beberapa siswa yang merasa tertinggal saya berikan les di rumah mereka. Saya sangat senang walaupun perlu proses, namun saya yakin seiring berjalannya waktu mind set warga desa akan mulai terbuka terhadap pendidikan.
26 Comments
Luar biasa semangatnya Bu Tuti, mudah-mudahan dengan pengalaman tersebut dapat menginspirasi rekan-rekan yang lain untuk terus maju dalam meningkatkan dunia pendidikan… untuk meraih kesuksesan mewujudkan cita-cita 🤲
Luar biasa👍 Bu Tuti, semangatnya ….patut diteladani
Luar biasa, semangat -nya Bu Tuti….👍
Menginspirasi👍
Terimakasih winda
Luar biasa semangat -nya Bu Tuti 👍
Terimakasih P
Kisahnya sangat menginspirasi sekali, terutama untuk guru-guru muda agar tidak mudah patah semangat.
Terimakasih Pak
luar biasa. 👍🏻👍🏻👍🏻
Terimakasih bu
Tetap semangat berkarya bu, good job!!!!
Terimakasih pak SDH mendukungku
Thanks pak SDH mendukungku
Kisah yang sangat menarik dan menginspirasi, semangatnya luar biasa
Terimakasih Bu Dewi R..
Mantaap
Terimakasih pak Hufron
Sangat menginspirasi, luar biasa.
Terimakasih Bu Eni
Luarrbiasa Bu tutiii
Terimakasih Bu Dewi Sri
Wah luar biasa Bu guru
Terimakasih Bu Ummul
Luar biasa bu Tuti.
Terimakasih Bu Titin