Mengenal Pendidikan Waldorf, Mendidik Anak Melalui Tangan, Hati, dan Kepala

Pernah mendengar pendidikan Waldorf? Mungkin bagi sebagian besar masyarakat masih terdengar asing dengan istilah ini. Pendidikan Waldorf ini tergolong baru di Indonesia. Namun di beberapa sekolah taman kanak-kanak sudah mengadopsi metode mendidik dari Jerman ini.

Pendidikan Waldorf sempat ramai diperbincangkan. Pasalnya anak-anak dari para petinggi perusahaan seperti Google, Apple, Yahoo, Ebay, Hewlett Packard, diarahkan masuk ke ruang pendidikan Waldorf. Alasannya dalam pendidikan dasar ala Waldorf tepat dan dibutuhkan untuk anak-anak. Anak-anak belum perlu didekatkan dengan teknologi. Pembelajaran dan pengenalan pada teknologi bisa menyusul kemudian. Tidak perlu tergesa-gesa mengenalkan teknologi kepada anak-anak.

Waldorf adalah nama sebuah sekolah di Stuttgart, Jerman. Sekolah ini yang berdiri pada tahun abad ke-19. Di sekolah ini setiap materi pendidikan melingkupi tiga hal yang terintegrasi. Rudolf Steiner penggagas pendidikan Waldorf ini meyakini bahwa ilmu pengetahuan, seni, dan spiritual menjadi bagian penting untuk menumbuhkembangkan anak-anak. Sebutan lainnya sekolah Steiner.

Steiner dikenal seorang filsuf kelahiran Austria ini membawa aliran anthroposophy. Sebuah filsafat yang memprioritaskan manusia sebagai sentral dan kebijaksanaan. Filsafat ini menekankan orientasi tujuan pada hal humanistik. Dalam hal ini pada pendidikan yang memanusiakan manusia.

Bagaimana bentuk-bentuk pendidikan Waldorf? Praktik pengenalan atau bersentuhan dengan gadget dan komputer tidak akan ditemukan dalam sistem pendidikan Waldorf. Kegiatan di sekolah diselaraskan berdasarkan ritme alam dan ritme tubuh. Tujuannya, agar anak tidak akan merasa cepat bosan atau letih. Hal ini untuk mencapai keseimbangan kegiatan kesehariannya secara terstruktur.

Sementara lingkungan pendidikan Waldorf dekat sekali dengan alam dan menggunakan material pendidikan yang sederhana. Di sekolah ini akan ditemukan papan tulis dengan kapur warna-warni, pensil, buku-buku fisik seperti ensiklopedia. Bangunan sekolah yang terbuka dengan melibatkan unsur-unsur kayu di dalamnya.

Transisi Kegiatan dengan Lagu

Di playgroup dan taman kanak-kanak Waldorf, transisi antar-kegiatan biasanya ditandai dengan lagu. Ada lagu sebagai pertanda waktu bermain telah usai dan waktunya untuk membereskan mainan. Ada lagu untuk memulai circle time, mencuci tangan, memulai dongeng, dan lagu yang dinyanyikan sebagai pertanda kegiatan sekolah telah usai.

Tujuan Pendidikan Waldorf

Lalu apa tujuan dari Pendidikan ala Waldorf? Pendidikan Waldorf mengintegrasikan tiga hal di atas, yaitu menumbuhkan ilmu pengetahuan, seni, dan spiritual dalam mendidik anak. Tujuannya menggali potensi anak dari tiga hal dasar karena diyakini sebagai fitrah manusia. Dalam praktiknya, metodenya ingin menciptakan model pendidikan yang tidak tergesa-gesa dan “sehat” secara lingkungan dan spritual.

Tujuan dari pendidikan Waldorf adalah mewujudkan individu yang mampu, dalam diri dan dari diri mereka sendiri, memberi makna bagi kehidupan mereka. Hal ini dapat dicapai dengan memberikan pendidikan secara menyeluruh, bukan hanya berfokus pada intelegensi ataupun kognitif anak saja, tetapi melalui TANGAN (hands), HATI (heart), dan KEPALA (head).

Berdasarkan pemikiran Steiner, tubuh manusia terdiri tiga bagian yaitu: limbmetabolic system, rhythmic system, dan nerve-sense system. Poros bawah yang diisi oleh sistem metabolik-lengan tungkai (terkait dengan sistem metabolism yang dilakukan oleh organ-organ di dalam rongga perut dan metabolisme otot, dimana keduanya menghasilkan energi), area tengah yang diisi oleh sistem ritmis, yaitu system pernapasan dan sistem peredaran darah, dan poros atas yang didominasi oleh kepala atau sistem saraf-indra.

Poros bawah melambangkan aktivitas, berkegiatan, bekerja yang dipimpin oleh kehendak atau karsa. Area tengah sering ditunjuk ketika kegiatan mengolah rasa berlangsung melalui jantung dan paru-paru.

Poros atas dilambangkan dengan kepala, menjalankan aktivitas berpikir yang dilaksanakan oleh akal/nalar. Apa yang dikerjakan oleh tangan, akan membangun kehendak kuat yang berasal dari dalam dirinya sendiri untuk mengerjakan sesuatu (WILLING). Apa yang meresap masuk ke dalam hati, akan dirasakan oleh anak sebagai sesuatu hal yang menyenangkan (FEELING). Apa yang masuk ke dalam kepala, akan menstimulasi proses berpikir anak (THINKING)

Pendidikan yang menyeluruh ataupun terintegrasi ini diberikan dengan memperhatikan perkembangan alamiah anak. Berdasarkan perkembangan fisik dan psikologis anak,Rudolf Steiner membagi tahapan perkembangan anak menjadi tiga kelompok usia, yaitu 0-7 tahun, 7-14tahun, dan 14-21 tahun. Hal ini dikaitkan dengan tahapan perkembangan indra anak. Steiner mengemukakan adanya dua belas indra yang fokus pengembangannya berdasarkan ketiga kelompok usia tersebut. Kedua belas indra itu adalah sense of touch, life, movement, balance, sight, smell, taste, warmth, hearing, word, thought, ego.

Pendidikan Waldorf memberikan gambaran bahwa dunia ini baik, melalui orang dewasa yang menyediakan lingkungan yang aman baik secara fisik maupun psikologis sehingga anak dapat bermain bebas mengeksplorasi sekelilingnya. Melalui orang dewasa, baik orang tua, guru, maupun pihak lainnya yang memberikan contoh-contoh baik dalam perkataan dan tindakan.

Melalui ritme kegiatan yang disusun sedemikian rupa sehingga anak merasa tenang, dan melalui batasan-batasan yang membuat anak merasa tentram. Jauhkanlah berita-berita buruk dari kehidupan mereka baik dalam percakapan sehari-hari maupun dari media lain yang dapat dijangkau anak-anak. Sebagai orang tua dan guru, tumbuhkanlah sense of wonder, sekecil apapun, dalam diri kita dari apa saja yang kita lihat, dengar dan rasakan.

Pendidikan Waldorf juga mengenalkan tentang kehendak dan karsa. Kehendak adalah dorongan untuk melakukan sesuatu yang bersifat murni dari dalam diri tanpa melibatkan orang lain. Karsa adalah daya (kekuatan) jiwa yang mendorong makhluk hidup untuk berkehendak. Bagaimana caranya mengeluarkan karsa dan kehendak menjadi tindakan atau kita sebut willing menjadi doing?.Jawabannya adalah dengan memberikan contoh-contoh perbuatan yang layak ditiru oleh anak, karena pada tahapan ini anak belajar melalui proses imitasi. Karsa, rasa, dan akal/nalar tidak bekerja secara terpisah satu sama lain. Mereka semua saling terkait dan saling bergantung.

Ketika kita melakukan suatu perbuatan baik, misalnya membereskan mainan dengan ekspresi wajah yang menunjukan kebahagiaan, maka kesan itu akan ditangkap oleh indra anak. Ketika hal ini dilakukan berulang-ulang, maka kesan tersebut akan meninggalkan jejak di dalam kepala anak. Anak akan menangkap bahwa setiap kali selesai bermain, mainan harus dibereskan. Anak pun akan menangkap bahwa hal itu adalah sesuatu yang menyenangkan

Penulis : Tessa N. Putri

Spread the love

Yudhi Kurnia

redaksi@satuguru.id

Related post

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *