Ternyata Pembelajaran Mendalam Sudah Diterapkan di Jaman Rasulullah

Pada suatu pagi yang hangat di kota Madinah, Rasulullah SAW memanggil seorang sahabat muda yang dikenal cerdas dan berhati lembut: Mu’adz bin Jabal. Usianya masih muda, tapi ilmunya dalam, pemikirannya tajam. Hari itu, ia akan menerima amanah besar: diutus ke Yaman sebagai utusan dakwah dan juga hakim bagi kaum Muslimin di sana.
Rasulullah tidak langsung memberikan daftar panjang hukum atau fatwa yang harus dibawa. Tidak ada kitab tebal yang diserahkan. Sebaliknya, beliau mengajarkan sesuatu yang jauh lebih dalam. Sesuatu yang tidak hanya menempati kepala, tetapi juga menyentuh hati dan membentuk cara berpikir.
Sebelum melepas kepergiannya, Rasulullah bertanya pelan namun tajam:
“Wahai Mu’adz, bagaimana kamu akan memutuskan perkara jika engkau dihadapkan pada suatu masalah?”
Mu’adz menjawab mantap, “Aku akan memutuskan dengan Kitabullah.”
Rasulullah tersenyum, lalu bertanya lagi, “Kalau kamu tidak menemukannya dalam Kitabullah?”
Mu’adz tanpa ragu menjawab, “Maka aku akan gunakan Sunnah Rasulullah.”
Rasulullah mengangguk. Tapi ujian itu belum selesai.
“Apa yang akan kamu lakukan jika tidak kau temukan juga dalam Sunnah?”
Mu’adz diam sejenak, lalu berkata dengan penuh keyakinan, “Aku akan berijtihad dengan pendapatku, menggunakan akalku, dan aku tidak akan sembrono dalam memutuskan.”
Mendengar jawaban itu, Rasulullah tersenyum, penuh bangga. Beliau menepuk dada Mu’adz, dan berkata:
“Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasul-Nya terhadap apa yang diridhai Rasul-Nya.”
Kisah itu bukan sekadar fragmen sejarah. Ia adalah pelajaran abadi bahwa belajar bukan hanya soal menghafal ayat atau mengulang-ulang hukum. Tapi tentang memahami makna, membaca konteks, dan menggunakan akal sehat yang dibingkai oleh nilai-nilai wahyu.
Mu’adz tidak dibekali lembar-lembar jawaban. Ia dibekali cara berpikir. Dan itulah inti dari pembelajaran yang meaningful: ketika seseorang belajar untuk hidup, bukan hanya untuk lulus ujian. (Red)