Bahasa Inggris dan Ketimpangan Sosial
*Oleh: Tegar Pratama
Di sebuah forum diskusi ada narasi percakapan sebagai berikut : “Pelajaran Bahasa inggris akan ada lagi! Hore, Padahal 10 tahun sudah Pelajaran Bahasa Inggris tercerabut! Eh tunggu dulu, ko nunggunya lama ya, 10 tahun baru terpikir ketiadaanya ini menjadi masalah besar?”
Ya, gegap gempita tentang kabar diadakannya kembali bahasa inggris di sekolah dasar, dalam kurikulum merdeka mendapatkan tanggapan yang berbeda-beda, ada pihak yang senang ,ada juga yang tidak senang.Terlepas dari hal itu, beberapa patut menjadi perhatian sebelumnya yakni efek-efek dari kebijakan tersebut, seperti efek sosial, kognitif, dan lain sebagainya. Mengingat tahun ini adalah tepat satu dekade, sejak disahkannya aturan 2013 lalu, tentang bahasa Inggris yang sudah dihilangkan dari kurikulum nasional dan menjadi pelajaran ekstrakurikular. Ya, tepat satu dekade pula, pelajaran bahasa inggris yang awalnya bisa dirasakan oleh semua pihak (walaupun ada juga orang-orang yang menganggap bahasa inggris tidaklah penting) berubah menjadi sebuah label “jualan” untuk banyak sekolah, baik swasta maupun negeri. Dimana mereka membuat pelajaran bahasa inggris dan program internasional lainnya menjadi daya tawar. Dengan itu, pada akhirnya bahasa inggris akan menjadi bahasa yang elitis dan menjadi ciri pembeda antar kelas sosial.
Kebijakan dihilangkannya bahasa Inggris di sekolah dasar memang seperti siluman. Sampai saat ini, masih ada orang yang tidak tahu bahwa hal tersebut masih terjadi, terutama di kota-kota besar. Hal ini disebabkan oleh masih adanya demand dari para orang tua untuk menyediakan bahasa inggris di sekolah-sekolahnya, yang menyebabkan bahasa inggris masih ada di sekolah mereka (Zein, 2017). Walaupun secara administratif, tidak ada guru lulusan pendidikan bahasa inggris yang dapat mengajar disana secara resmi. Dikarenakan tidak sesuai dengan dapodik. Namun, hal tersebut juga biasanya hanya terjadi di beberapa sekolah, selain swasta, beberapa sekolah negeri yang memiliki keinginan menjaga reputasi biasanya masih menyediakan bahasa Inggris sebagai program atau pelajaran unggulan.
Berbeda dengan sekolah negeri yang berada jauh dari perkotaan atau hingar bingar reputasi sekolah, mereka akan menerima peraturan itu apa adanya, tanpa rekayasa dan sebisa-sebisanya. Maka, penyesuaian extrakurikuler yang lebih memfasilitasi siswa menjadi lebih penting dibandingkan reputasi. Bahkan, beberapa sekolah memilih untuk mengembangkan kebudayan-kebudayaan yang kian hari makin terancam.
Sebenarnya, jika melihat kebelakang, peraturan ini merupakan sebuah aturan yang cukup kontroversial di kalangan akademisi, terutama pendidikan bahasa Inggris. Dimana aturan ini cukup berlawanan dengan teori English for Young Learner yang menekankan pengajaran bahasa asing dilakukan sedini mungkin. Kemudian, dengan diterapkannya aturan ini, Indonesia resmi menjadi satu-satunya negara di ASEAN yang tidak mencantumkan pengajaran bahasa Inggris secara formal di ranah Sekolah Dasar.
Aturan ini juga berdampak pada masyarakat Indonesia, terutama siswa-siswi yang merasakan aturan ini secara utuh, baik akademik maupun sosial. Dalam pelaksanaannya, aturan ini memperlihatkan sebuah ketimpangan, dimana bahasa menjadi sebuah tanda kelas sosial tertentu (Vandrick, 2014). Hal ini bisa terlihat dari bagaimana bahasa Inggris di dapatkan. Akibatnya, secara gamblang bisa terlihat bahwa siswa yang bisa berbahasa Inggris sejak kecil pastilah dari kelas menengah ke atas. Bagaimana tidak, untuk mendapatkannya saja hanya ada tiga kemungkinan. Pertama, siswa yang bersekolah di sekolah Swasta. Kedua, siswa yang bersekolah di sekolah negeri yang memiliki reputasi. Terakhir, siswa yang bisa mengikuti kelas tambahan atau les diluar sekolah.
Secara akademik, ada beberapa pengaruh yang cukup krusial dari penghilangan pelajaran bahasa Inggris di ranah sekolah dasar ini. Pertama, hasil dari English Profiency Index (EPI) yang dilakukan oleh English First tahun 2022 mengatakan bahwa, ada gap yang cukup besar dalam kemampuan bahasa inggris siswa umur 18 tahun dan 25 tahun di Indonesia, dimana siswa berumur 18 tahun memiliki skor yang jauh lebih rendah dari orang yang berusia 25 tahun (English First, 2022). Dalam hal ini, siswa 18 tahun adalah mereka yang terdampak dan merasakan aturan ini secara utuh. Pasalnya mereka baru memasuki kelas 1 SD ketika peraturan ini di sahkan.
Kemudian, hasil dari EPI juga berpengaruh secara geografis. Dalam pemaparannya, daerah-daerah yang memiliki skor EPI baik hanya terjadi di kota-kota besar dan utama Indonesia, seperti Bandung, Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya. Sedangkan, untuk daerah lain seperti Batam, Pontianak dan Malang malah memiliki skor yang cukup rendah. Hal ini tentunya menunjukan juga ketimpangan akses yang ada di beberapa daerah di Indonesia, dimana akses pendidikan yang menyeluruh hanya ada di kota besar, dan kota-kota lainnya hanya mengikuti aturan pemerintah saja (Kirkpatrick et al., 2019; Kirkpatrick & Lixun, 2020). Kemudian, pada akhirnya, siswa-siswa yang ingin mempelajari bahasa Inggris haruslah merogoh saku lebih dalam. Tentunya, tidak semua orang memiliki saku sedalam itu.
Dengan kasus tersebut, bahasa Inggris tidak lagi menjadi hak setiap orang. Bahasa ini telah menjadi bahasa elitis yang berjarak. Menjadi sebuah pelengkap bagi hirarki bahasa di Indonesia. Lebih dari itu, ia telah menjelma menjadi representasi ketimpangan pendidikan yang ada di Indonesia yang terjadi hingga saat ini, dimana pendidikan bermutu hanya untuk mereka yang berada. Sekolah dari negara? Jangan ditanya, karena yang bisa dijangkau oleh setiap lapisan hanyalah keterbatasan.
Beberapa hal diatas hanyalah sedikit dari banyak sekali dampak yang diakibatkan oleh penghilangan bahasa Inggris ini. Pasalnya, ia dibiarkan terombang ambing dalam keputusan-keputusan politis, hingga satu dekade. Adapun hari ini, pemerintah barulah sadar dan mencoba kembali menetapkan bahasa Inggris di SD dengan kurikulum merdeka. Tentu, ini adalah sebuah langkah yang bagus. Meskipun, harus diperhatikan bahwa 10 tahun bukanlah sebentar. Pastilah ada satu generasi hasil dari aturan tersebut, guru-guru yang terdampak, dan masalah-masalah pelik lainnya. Hal tersebutlah yang juga harus dibenahi pemerintah dan menjadi PR panjang. Jika tidak serius, alih-alih memberikan kontribusi, malah menjadi beban lainnya karena tidak disiapkan dengan matang dalam sepuluh tahun.
Seperti 10 detik hujan setelah kekeringan panjang, ia hanya menyegarkan dan belum tentu menumbuhkan.
*Guru Bahasa Inggris SMP Muhammadiyah 8 Bandung, Mahasiswa S2 Bahasa Inggris Universitas Pendidikan Indonesia Bandung
Sumber Bacaan
English First. (2022). EF EPI Score Change from Last Year Regional Profile English and Prosperity. www.ef.com/epi
Kirkpatrick, A., Liddicoat, A. J., Kirkpatrick, A., & Liddicoat, A. J. (2019). The routledge international handbook of language education policy in Asia. In The Routledge International Handbook of Language Education Policy in Asia. https://doi.org/10.4324/9781315666235
Kirkpatrick, A., & Lixun, W. (2020). Is English an Asian Language? In Is English an Asian Language? https://doi.org/10.1017/9781316471166
Vandrick, S. (2014). Social class in language learning and teaching. Journal of Language, Identity, and Education.
Zein, S. (2017). Language in education policy on primary EFL : The case of Indonesia. International Journal of Pedagogies and Learning, 12(2).
1 Comment
Tulisan yang sangat bernas, memotret bagaimana dampak dari sebuah kebijakan politik terhadap kompetensi (bahasa) sebuah bangsa. Dalam konteks kehidupan global sekarang, kemampuan berbahasa (asing) menjadi pintu untuk bisa membangun kesepahaman dan perspektif. Pendidikan adalah bidang yang seharusnya lebih bernuansa “akademis’ bukan “politis’. Sehingga tidak ada lagi kelas-kelas dalam masyarakat seperti yg diindikasikan oleh tulisan ini. Dengan mengedepankan dasar akademis dalam pengambilan kebijakan pendidikan, maka tujuan pendidikan menjadi murni untuk kepentingan pendidikan itu sendiri.