KAMULAN RONG TIGA DARI ANIMISME KE PEMUJAAN ROH LELUHUR
Oleh : I Wayan Budiasa
Disetiap rumah pada masyarakat Bali selalu ada merajan, atau sanggah, merupakan bagian dari tempat suci dalam rumah tangga, biasanya ditempatkan pada hulu pekarangan rumah, bagian dari areal kaja kangin. yang sudah dibagi sedemikian rupa sesuai dengan lontar-lontar yang menjadi dasar dalam pembangunan palinggih maupun rumah, seperti lontar Asta Bhumi, Asta Kosala Kosali, Tutur Bhawan Wiswakarma, termasuk lontar Padma Bhuana. Berkaitan dengan pelinggih yang ada pada pemerajan, Sanggah kemulan atau Rong tiga atau linggih Bhatara Guru menjadi pelinggih yang paling sentral dalam jajaran pelinggih merajan.
Tatanan jajaran bangunan palingih yang ada di setiap pura terutama yang bekaitan dengan palinggih Rong Tiga atau Sang Hyang tiga Guru merupakan transformasi yang berkembang dari zaman prasejah, terutama terkait dengan keyakinan tetang adanya roh (animisme) konsep keyakinan ini banyak diungkapkan oleh E.B Tailor sebagai pemerhati tentang adanya kekutan gaib dan tulisanya banyak mengungkap tentang kekuatan animisme dinamisme. Geneologi spritualisme masyarakat diawali dari keyakinan ini, dengan membuat berbagai tempat pemujaan yang masih sangat konvensional dan sederhana, dengan bahan seadanya, seperti lingga yoni, yang masih tersebar luas di Bali, Puden berundag, Tahta Batu, sebagai orientasi pemujaan tentang ada roh dalam hal ini keyakinan tentang adanya kekuatan animisme. Transpormasi ini dari bentuk yang sederhana di zaman prasejarah terutama pada zaman megalitik ke bentuk yang lebih kompleks, menjadi Palinggih Rong telu atau Kemulan Tiga Guru yang sama-sama menjadi representasi keyakian umat Hindu tentang adanya kekuatan animisme sebagai keyakianan terhadap roh leluhur yang yang nama pelinggihnya disebut Sanggah Kemulan.
Sanggah kemulan berasal dari sanggah dan kemulan, sanggah berasal dari urat kata sanggar yang berarti tempat pemujaan, sedangkan kemulan berasal dari kata mula yang artinya mula, dasar, asal, kemulan sering juga di sebut dengan kamimitan yang berasal dari kata wit yang artinya asal dari mana manusai berada, jadi sanggah kemulan adalah tempat pemujan asal atau sumber kehidupan manusia.
Dalam lontar Padma Bhuwana dan lontar Siwa Gama dijumpai tentang pembuatan Sanggah Kemulan atau Kemulan Tiga, adapun isi lontar tersebut adalah
Teks lontar Padma Bhuwana lembar 13A meyebutkan
Niki katatwaning indik sanggah kemulan, kaucapang panghuluning karang paumahan, mawit saking sanggah dengen mawasta sanggah panegtegan, munggah pelangkiran marong tiga, madeg saking patemon pawarangan, inggih sanggah punika pasthanan Sang Hyang Tri Purusa, Brahma, Wisnu, Iswara, maraga Atma, Jiwa, Urip, kawit kamulaning i jatma manusia ring marttya paddha.
Artinya: ini adalah merupakan tata letak palinggih sanggah kemulan, yang berada pada hulu pekarangan rumah, yang berasal dari sanggah dengen yang di sebut dengan sanggah penegtegan, yang terdiri dari tiga ruang, yang di bangun ketika orang setelah melaksanakan pernikahan, sanggah itu merupakan stana Sang Hyang Tri Purusa, yaitu Brahma, Wisnu, Dan Iswara, yang merupakan perwujudan dari Sang Atma, Jiwa, Dan Urip, merupakan asal muasal dari kehidupan manusia yang ada di alam semesta ini
Teks lontar Siwa Gama lembar 328 dalam Wikrama, 26, 1999 menyebutkan
Bagawan Manohari, Siwa Paksa Sira, kinwa kinon de Sri Gondarapati umaryanang sadhayangan, manita, madya, motama, mamarita swadharmaning wong kabeh, Lyan swadyadyaning wang saduluking wang dasa kinon magawe pangtikrama, Wwang setengah bhaga rwang puluhing saduluk, sanggar pratiwi wangunen ika, mwang kamulan panunggalnya.
Artinya: Bhagawan Manohari adalah pengikut Siwa, Beliau di suruh oleh Sri Gondrapati, untuk membangun sad khayangan baik yang sedang, menengah, maupun yang besar, yang merupakan tanggung jawab semua orang. Lain kewajiban sekelompok orang untuk 40 keluarga harus membangun panti, adapun setengah baginya yakni 20 orang keluarga harus membangun Ibu, kecilnya 10 keluarga pratiwi harus di bangun, dan kemulan satu satunya tempat pemujaan yang harus di bangun pada masing masing pekarangan.
Dari kutipan lontar tersebut diatas, bahwa pembuatan Sanggah Kemulan Rong Tiga memiliki acuan yang sudah tersurat dalam kitab Weda, bahawa setiap orang yang memiliki rumah, wajib membangun Sanggah Kemulan Rong Tiga, dalam setiap pekarangan rumah pada bagian hulunya atau di sebut kaluwan hendaknya di bangun merajan kemulan (Wiyana, 161. 2004)
Berdasar letaknya, Sanggah kemulan sebagai penghulun karang, yaitu terdiri dari dua kata yaitu hulu dan karang, hulu yang artinya unik, karang adalah sepetak tanah yang di gunakan sebagai perumahan. jadi penghulun karang adalah bertempat pada bagian yang unik yaitu bagain kaja kangin dari karang perumahan, yang tatatananya sudah diukur sesuai dengan kajian tek lontar tutur Bagawan Wiswakarma, misalnya pekarangan perumahan sesuai dengan tek lontar tersbut di bagi menjadi empat bagian, dimana bagian hulu adalah tempat palinggih yang seiring di sebut dengan tempat Dewa raksa, termasuk panjang dan lebar tempat perahyangan atau pura, panjang dan lebar antara tembok dengan pelinggih, jarak antara pelinggih dengan pelinggih yang satu dengan yang lainya, besar dan kecilnya palingih yang dibuat, yang selalu mengunakan Depa Agung, Depa Alit, Tengah Dpe, Asta Musti, Atampak, alangkat, ajengkang, liamng jari, petang jari, telung jari, duang jari, ajari, agoli, termasuk ausap.
Pelinggih Kemulan Rong Tiga merupakan pelinggih yang paling inti dalam Sanggah atau Merajan. Dalam pelinggih Kemulan Rong Tiga sesungguhnya yang disembah atau disungsung adalah Ida Bhatara Guru atau Leluhur yang telah suci. Masalah ini diputuskan dalam Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu (I-XV Th 1993/1994, Halaman 13-14,) dimana ditetapkan bahwa Kemulan Rong Tiga adalah Pelinggih Tri Murthi/ Hyang Kamimitan atau Hyang Kemulan. ada beberapa isi lontar yang sejalan dengan penjelasan diatas adalah :
Lontar Usana Dewa pada lembar ke 4 meyebutkan
Ring kemulan ngaran ira Sang Hyang Atma, ring Kamulan tengen Bapanta ngaran Sang Parattma, ring kamulan Kiwa Ibunta ngaran Sang Siwattma,ring kamulan tengah ngaran Raganta, ta Brahma ngaran Sang Hyang tuduh
Artinya: Pada sanggah Kemulan yang berstana adalah Sang Hyang Atma. Kemulan rong kanan adalah Para-atma yaitu bapak. Di Kemulan rong kiri adalah Siwa-atma yaitu ibu. Di Kemulan rong tengah adalah wujudnya Brahma, yaitu ibu bapak yang sudah berwujud Sang Hyang Tuduh.
Lontar Gong Besi lembar 4B meyebutkan
Ring kemulan tengen Bapanta, ng Sang Paratma, ring kemulan kiwa Ibunta nga Sang Siwatma, ring kemulan madya Raganta, susudatma dadi Meme Bapa, ragane mantuk ring Dalem dadi Sang Hyang Tunggal, nunggalang rasa sa nga sakit, sa nga Seger, sa nga sariranta, ya ta Paramawisesa saking Dalem Kawi, seger saking Dalem gering saking Dalem, Uring saking Dalem, Pati saking Dalem
Artinya: yang bersetana di ruang Kemulan di sebelah kanan adalah Ayahmu yang di sebut dengan Sang Paratma, yang bersetana di ruang sebelah kiri itu adalah Ibumu, di sebut dengan Siwatma, di ruangan tengan adalah dirimu, susudatma menjadi Ubu dan Bapa, keduanya itu bepulang ke Dalam, menjadi Sang Hyang tunggal, menyatakan Rasa sakit, sehat, dan sarira dan tiu dalah Paramawisesa dari Dalem Kawi, sehat dari Dalem, sakit dari Dalem, hidup dari Dalem, mati dari Dalem.
Lontar Tutur Lebur gangsa lembar 23b baris 11 dan 25a baris ke 5
23b. Kunang yan angunggahang pitara ring ibu dengen ring sanggah kamulan
25a. Iki prawetiningsang pitara yogya ingupakara; unggahaken ring sagah kamulan
Jadi dari kutipan lontar tersebut diatas bahwa yang di setanakan adalah sang Tri atma, yaitu sang hyang paratma di indentikan dengan ayah sang purusa, sang siwatma di identikan dengan ibu ragana dan sang atma di indentikan dengan diri sendiri roh individu pada hakekatnya sang Hyang Atma itu di indentikan dengan Brahman Hyang Tuduh sebagai pencipta.
Keyakinan umat akan adanya roh leluhur yang mempunyai tempat sebagai penghubung antara umat dengan Hyang Widhi, karena itu juga dibuatkan tempat untuk penyembahan di rumah-rumah dalam bentuk Kamulan (Djelantik dkk, 1997: 128). Hal ini sesuai dengan bunyi Lontar Purwa Bhumi Kamulan yang menyebutkan bahwa: It kramaning anggunggahaken pitra ring Kamulan…. (Lontar Purwa Bhumi Kamulan, lembar 53). Kamulan merupakan tempat pemujaan satu keluarga inti. Tempat pemujaan satu inti disebut Sanggah atau merajan yang juga disebut Kamulan Taksu.
Menurut Wiana, Kamulan itu bukan palinggih Tri Murti melainkan Dewa Pitara yang diidentikkan dengan Sang Hyang Tri Murti sebab menurut pandangan agama Hindu tujuan akhir kehidupan manusia adalah bersatu dengan yang suci Di Kamulan yang distanakan adalah Dewa Pitara yang telah suci mencapai alam dewa atau alamnya Sang Hyang Tri Murti. Karena Dewa Pitra telah mencapai alam Tri Murti, maka Dewa Pitna identik dengan Sang Hyang Tri Murti, sehingga Dewa Pitara yang berstana di Kamulan disebut “Bhatara Hyang Guru “. Bhatara Hyang adalah Dewa Pitara dan Bhatara Guru adalah Dewa Siwa.
Jadi apa yang di papaparkan dalam Lontar-lontar tersebut menekankan bahwa yang melinggih di Sanggah Kemulan adalah Sang Hyang Atman atau Pitara atau Sang Hyang Guru, Roh-roh suci atau Dewa Hyang atau Batara Batari yang sudah melalui proses upacara inisiasi upacara ngaben, nyekah, nyegara gunung, maka terahir dilakukan lah proses ngelinggihang atau ngingkup, dan sering juga di sebut dengan upacara nila pati, jadi yang bersetana di sanggah kemulan adalah Dewa Pitra atau leluhur yang sudah mendapat proses penyucian, sehing di sebut dengan Dewa hyang.
Dewa Hyang yang distanakan di Kemulan Rong Tiga yang disembah oleh keturunan mereka dapat dihubungkan dengan konsep ajaran “Tri Rnam”, adalah bagian dari hutang para sentannya ke pada Leluhurnya untuk selalu mengatarkan para Roh Leluhur agar bisa Menyatu Dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sebagai Jiwa tertinggi alam semesta, yang di personipikasikan dalam perwujudan Tiga Wisesa atau tiga kekuasan alam semesta, yang juga sering di sebut Dewea Triga atau Tri Murti, jadi konsepsi Jiwa yang ada di alam besar atau Bhuana Agung dengan alama kecil atau Bhuana Alit bisa menjadi satu kesatuan dalam rohaniah sepiritual, sehinga dimensi ketuhan pada Rong Leluhur bisa menjadi Satu, dengan demikian barulah bisa di sebut dengan Dewa Hyang.
Daftar bacaan
Padma Bhuwana Prakempa, Alih Aksara Lontar, 1996, kantor dokumentasi budaya Bali
Budha Gautama Wayan, 2005 Tutur Gong Besi Para Mita Sura Baya
Usana Dewa, alih akasara lontar milik gedong Kertya
Tutur lebur Gangsa, alih Aksara lontar milik Gerya Jelantik Bhuda Keling
Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek aspek Agama Hindu I-XV, tahun 1993/1994
Wiana, I Ketut, 2004. Makna Upacara Yajna Dalam Agama Hindu : Paramita Surabaya
Djelantik, I Gusti Ngurah, 1997. “Data Kebudayaan Daerah Bali”. Disbud Propinsi Dati I Bali. Denpasar
Wikarman, I Nyoman Singgih, 1999. Ngalinggihang Dewa Hyang (Suatu Tinjauan Filosofis). Surabaya: Paramita.