Siswa Putus Sekolah, Gurunya Gagal?
“Pendidikan adalah paspor menuju masa depan. Karena masa depan ada di tangan orang-orang yang mempersiapkan dirinya untuk menghadapinya”
Putus sekolah atau drop out adalah fenomena dimana seorang siswa memutuskan untuk berhenti sekolah sebelum waktunya kelulusan. Di Indonesia, angka putus sekolah sangatlah tinggi. Berdasarkan data dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayan , jumlah siswa yang mengalami putus sekolah mengalami kenaikan pada tahun ajaran 2022/2023. Angka Putus Sekolah (APS) di berbagai tingkat pendidikan mencapai angka 76.834 orang, dengan rincian jumlah siswa putus sekolah di tingkat SD mencapai 40.623 orang, tingkat SMP 13.716 orang, tingkat SMA 10.091 orang , dan SMK 12.404 orang.
Saat ada siswa yang memutuskan untuk putus sekolah, seringkali masyarakat menyalahkan guru atau sekolah. Namun, apakah benar demikian? APakah guru harus disalahkan jika ada siswanya yang putus sekolah?
Sebenarnya, ada banyak faktor yang menyebabkan siswa putus sekolah. Tidak bisa menyalahkan sepenuhnya kepada guru ataupun sekolah. Berikut beberapa faktor penyebab siswa putus sekolah:
- Faktor Ekonomi
Salah satu alasan utama siswa putus sekolah adalah karena kesulitan ekonomi. Biaya sekolah mahal sedangkan orang tua tidak mampu membiayai. Akhirnya siswa terpaksa putus sekolah untuk bekerja membantu orang tua. Ini bukan kesalahan guru, tapi lebih kepada kondisi ekonomi keluarga siswa yang kurang mampu. Kondisi ekonomi yang sulit dialami banyak keluarga di Indonesia. Banyak orang tua harus bekerja ekstra keras hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Apalagi dengan biaya pendidikan anak yang tidak murah, banyak orang tua merasa kewalahan.
Akhirnya, terpaksa anak dikeluarkan dari sekolah dan disuruh membantu mencari nafkah. Padahal pemerintah sudah menyediakan program Indonesia Pintar untuk membantu siswa kurang mampu, tapi ternyata masih banyak yang terlewat dari bantuan tersebut.
Oleh karena itu, kerja sama semua pihak diperlukan untuk memastikan seluruh anak Indonesia bisa mengenyam pendidikan tanpa terkendala biaya. Kemiskinan tidak boleh menjadi penghalang anak untuk memperoleh hak pendidikannya.
- Kurangnya Motivasi Belajar
Beberapa siswa memiliki motivasi belajar yang rendah sehingga malas untuk bersekolah. Mereka lebih memilih untuk bermain, bekerja atau bahkan menikah dini. Guru sudah berupaya memotivasi, tapi jika dari dalam diri siswa sendiri tidak ada kemauan, maka sulit untuk dipaksakan.
Rendahnya motivasi belajar pada sebagian siswa ini perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Siswa yang malas belajar dan lebih senang main-main rentan terjerumus ke pergaulan yang salah. Apalagi jika mereka berasal dari keluarga kurang harmonis, risikonya semakin besar.
Oleh karena itu, guru dan orang tua harus bekerja sama untuk memotivasi dan mendampingi siswa agar tetap tekun belajar. Pemberian reward dan punishment yang tepat juga diperlukan agar siswa termotivasi mengikuti pelajaran dengan baik.
Selain itu, penyediaan fasilitas rekreasi yang positif di sekolah juga penting agar siswa betah belajar dan tidak tergoda untuk membolos demi bermain. Dengan usaha bersama, diharapkan semangat belajar siswa bisa terus ditingkatkan.
- Lingkungan Pergaulan
Lingkungan pergaulan siswa juga berpengaruh besar. Jika bergaul dengan teman yang negatif, siswa bisa terpengaruh untuk melakukan hal-hal negatif termasuk putus sekolah. Meskipun guru sudah menasehati, tapi lingkungan pergaulan di luar sekolah juga harus diperhatikan.
Pengaruh pergaulan negatif ini sangat riskan bagi perkembangan karakter siswa. Jika sudah terjerumus, akan sulit untuk memperbaiki. Sebagai upaya pencegahan, pihak sekolah perlu bekerja sama dengan orang tua untuk memantau pergaulan siswa di luar sekolah. Club dan komunitas positif perlu didorong agar siswa punya wadah berkumpul selain nongkrong tidak jelas.
Di sisi lain, pembinaan mental dan karakter juga penting untuk membekali siswa agar tidak mudah terpengaruh hal negatif. Dengan pengawasan, pendampingan, dan pembinaan yang tepat, diharapkan siswa bisa terjaga dari pengaruh pergaulan yang merusak masa depannya.
- Ketidaksesuaian Minat dan Bakat
Kadang siswa putus sekolah karena merasa kurikulum sekolah tidak sesuai dengan minat dan bakatnya. Misalnya, siswa yang berbakat seni merasa kurikulum sekolah terlalu fokus ke pelajaran akademik. Karena merasa tidak cocok, akhirnya siswa memutuskan berhenti sekolah.
Ketidaksesuaian minat dan bakat siswa dengan kurikulum sekolah memang kerap menjadi masalah. Siswa akan merasa jenuh dan bosan jika harus belajar hal yang tidak diminati. Akibatnya, semangat belajar menurun dan risiko putus sekolah meningkat. Oleh karena itu, sekolah perlu mengakomodasi minat dan bakat siswa lewat ekstrakurikuler atau program pengayaan.
Misalnya mengadakan kelas seni bagi siswa yang berbakat di bidang itu. Dengan begitu, siswa tetap bisa mengembangkan minatnya meski kurikulum nasional masih berbasis akademik. Harapannya, siswa bisa menyelesaikan pendidikan tanpa harus berhenti di tengah jalan karena alasan tidak sesuai minat dan bakat.
- Keterbatasan Fasilitas Sekolah
Fasilitas sekolah yang kurang memadai juga bisa jadi penyebab siswa putus sekolah. Jika sekolah tidak memiliki fasilitas belajar yang layak, siswa menjadi malas dan akhirnya putus sekolah. Meski guru sudah berupaya maksimal mengajar, tapi keterbatasan fasilitas tetap menjadi kendala.
Fasilitas sekolah yang minim memang kerap ditemui terutama di daerah tertinggal. Kelas yang sempit, meja kursi tidak memadai, toilet kotor, dan lainnya membuat siswa malas datang ke sekolah.
Proses belajar jadi tidak kondusif akibat fasilitas kurang. Oleh karena itu, pemerintah harus terus berupaya meningkatkan fasilitas sekolah di seluruh pelosok negeri.
Anggaran pendidikan harus dialokasikan secara merata, bukan hanya di kota besar saja. Dengan fasilitas belajar yang layak, diharapkan semangat siswa untuk bersekolah bisa meningkat sehingga angka putus sekolah bisa ditekan. Pendidikan yang berkualitas harus dirasakan semua anak bangsa tanpa terkecuali. (tnp)