Istiqamah dan Profesionalisme Di Gerobak Tua

 Istiqamah dan Profesionalisme Di Gerobak Tua

Di Jakarta yang terus tumbuh, tempat berganti cepat dan rasa pun sering tak lagi sama, ada satu titik yang tak pernah bergeser: sebuah warung tenda sederhana di ujung Jalan Panglima Polim IV, Jakarta Selatan. Ukurannya kecil, hanya sekitar 3 x 2 meter. Tak berdinding. Makanannya dipajang dalam gerobak kayu yang sudah berumur. Tapi siapa yang pernah ke sana, tahu betul: ini bukan sembarang warung. Ini adalah simbol dari istiqamah dan profesionalisme sejati.

Warung itu berdiri menempel pada dinding sebuah rumah besar, yang ternyata adalah mess TNI AD. Letaknya kini agak tersembunyi karena sejak pandemi COVID-19, ujung jalan itu diportal. Tak bisa lagi dilewati dari dua arah seperti dulu. Tapi tetap saja, para pelanggan setia tetap datang. Mereka tahu, rasa yang mereka cari tidak bisa digantikan oleh tempat lain.

Salah satunya adalah Kang Bejo. Ia mengenal warung itu sejak tahun 1984, saat masih lajang. Waktu itu yang berjualan adalah ayah dari penjual sekarang. Menu yang dijajakan? Hanya sekitar enam macam, dan ajaibnya, sejak dulu hingga sekarang— lebih 40 tahun—tidak pernah berubah. Rasa oseng tempe, telur dadar, sambal yang khas… semua tetap sama, seolah waktu tak mampu mengusiknya.

Itulah istiqamah.  Bukan sekadar bertahan, tapi tetap teguh pada prinsip, rasa, dan pelayanan.

Warung itu tidak pernah buka sampai malam. Hanya dari pukul 06.00 pagi hingga 12.00 siang. Disiplin. Tidak pernah ngaret. Tidak pernah mempermainkan waktu pelanggan.

Dan yang lebih luar biasa lagi: sang penjual hafal pelanggan-pelanggannya. Tak perlu repot pesan, sepiring nasi dengan lauk kesukaan langsung tersaji begitu kita duduk. Bahkan sambal pun sudah tahu takarannya. Inilah yang disebut profesionalisme dari dapur jalanan—paham prinsip “know your customer” bukan sekadar teori manajemen, tapi praktik harian.

Kang Bejo kini sudah punya cucu. Ia tinggal 30 kilometer dari warung itu. Tapi sebulan sekali, ia tetap datang. Tak peduli jalan makin macet, tak peduli harus mutar karena portal, ia tetap melangkah. Ia percaya, yang langgeng bukan hanya tempatnya, tapi juga nilai yang ditanam di balik gerobak itu: kejujuran, konsistensi, pelayanan yang manusiawi.

Dalam dunia yang serba instan, warung ini hadir seperti pelajaran hidup. Bahwa kepercayaan dibangun bukan dengan promosi, tapi dengan konsistensi rasa dan niat baik yang tak berubah. Bahwa pelanggan tidak hanya datang karena enak, tapi karena dihargai. Dan bahwa warung kecil pun bisa mengajarkan standar tinggi dalam profesionalisme.

Warung itu mungkin tidak akan viral di TikTok. Tidak punya rating di Google Maps. Tapi bagi pelanggan setianya, warung itu adalah ruang pulang.

Tempat di mana nilai-nilai besar lahir dari kesederhanaan. Tempat di mana istiqamah dan profesionalisme berdiri berdampingan—tanpa perlu slogan. (Isn)

Spread the love

Related post