CERPEN – BRIAN DAN CINTA
*(Eka Ros)
CAHAYA CINTA, itu namaku. Aduh berat banget nih nama. Apa ya penyebab Bunda dan Ayah dulu menamai bayinya dengan nama itu. Kini yang punya nama kerepotan sesudah dewasa. Sejak sekolah ketika guru mengabsen mesti bilang wow, teman-teman baruku senyum-senyum; kalau udah begitu, kayanya ni muka boro-boro bercahaya, yang ada sedikit bersemu saga. Tapi itu dulu zaman SMP, sesudahnya aku menjadi terbiasa, pede, dan bersyukur aja dengan nama pemberian orangtua; lagian unik, langka, dan membawa sugesti. Dengan nama yang kusandang, aku jadi berusaha untuk selalu tersenyum, berusaha baik tidak jutek, berusaha berpenampilan pantas; lantaran kalau pakaianku kumal mana cocok dengan nama Cahaya, pakai Cinta lagi, duh Bunda. Kadang-kadang aku tersenyum sendiri.
Pernah juga kutanyakan pada Bundaku yang seanggun bidadari itu, mengapa anaknya ini diberi nama Cahaya Cinta. Dengan serius Bunda menjawab bahwa nama Cinta diberikan sebagai lambang kasih sayang yang besar di antara Bunda dan Ayah; sedangkan Cahaya merupakan harapan Bunda Ayahnya untuk anak semata wayangnya, agar senantiasa menjadi Cahaya dalam kehidupan dengan memiliki perangai baik, penuh semangat, senantiasa menjaga kehormatan diri dan orangtua. Nambah lagi deh tugasku, selain mengusung nama, juga membawa amanat orangtua; siaaaap deh!
Tapi kepanjangan deh kalau orang-orang harus memanggilku dengan Cahaya; jadinya banyak yang motong dan bikin-bikin sendiri. Ada yang manggil Cah Bocah (dibikin nyeleneh), Aya, ada juga yang manggil Cinta. Yang terakhir itu panggilan spesial Si Bebeb. Ya bebebku Brian Jaasir!
Brian Jaasir kukenal satu tahun lalu, saat aku duduk kuliah tingkat satu, sementara dia tingkat dua di Unpad jurusan kedokteran. Aku dikenalkan oleh tetangga yang sudah cukup akrab, yaitu Teh Maura yang sama-sama satu kampus dengan Brian. Kebetulan saat aku baca-baca buku di perpus mininya Teh Maura, Brian datang. Maura bilang, Brian itu sahabatnya.
Waktu pertama bertemu, aku melihatnya seperti sejenis pria-pria Korea yang muncul dalam drama-drama youtobe. Sosoknya tinggi, kulitnya putih, berkaca mata putih pula. Orang bilang jangan terlalu cepat jatuh cinta, jangan mudah tersihir oleh fisik. Ya aku bukan makhluk yang begitu melihat begitu berdesir, rasanya naif kalau begitu; kaya baru lihat cowok cakep aja. Bukan! Bukan karena ia ganteng, tapi lebih karena cahaya hatinya yang memancar melalui sinar mata dan senyumnya yang tulus dan bersih. Disaat tersenyum giginya bersinar bak mutiara, sedang kedua bola matanya ngumpet di balik kelopak.
Ia begitu ramah dan tetap ramah mengetahuiku kuliah di universitas suasta. Ia juga tetap ramah manakala aku salah salah nyebut satu istilah. Ia selalu baik meski aku pernah minta tolong menerjemahkan bahasa Jepang ke bahasa Indonesia. Kagum aku atas kemampuannya yang banyak, akan tetapi ia bersikap seolah-olah dia itu biasa. Anak fakultas kedokteran mestinya serius, tapi dia suka bercanda dan pandai pula main guitar. Itulah awalnya.
Pernah kulihat dari seberang rumah, Maura termangu tatkala baru kenal satu minggu saja, Brian tahu-tahu sudah duduk-duduk di beranda rumahku. Merasa tak enak, kemudian Brian diikuti olehku menghampiri Maura. Brian meminta maaf karena langsung main ke rumahku, tanpa mampir dulu ke rumah Maura yang notabene teman kampusnya; sementara denganku kenal juga lewat dirinya pastinya. Oleh sikap Brian seperti itu, Maura agak tersipu juga seraya senyum-senyum bilang tak apa-apa. Begitu pun aku mengajaknya bergabung, tapi Maura memberi alasan mau ke luar membeli sesuatu; ya sudah. Sejak itu tak pernah permisi lagi Brian seminggu sekali ke rumah untuk ngajak jalan. Kami kadang nonton, jalan-jalan, beli novel kesukaanku ke Gramedia, ke café untuk sekadar berdua berbagi cerita.
“Cin, kita nonton Heart Of Stone yu?” ajak Brian suatu hari.
“Film apakah itu? Seru enggak sih?” tanyaku dengan so manja-manja bercanda; biasa sambil senyum-senyum. Lengan Brian pun kugandeng buat diminta duduk di beranda rumah. Sebelum mencapai kursi, Bunda melongok ke luar dari pintu. “Sssst!” katanya sambil meletakkan telunjuk di bibirnya yang tipis. Kutangkap sudut matanya tertuju pada lenganku. Karuan saja aku jadi tertawa-tawa sambil melepas lengan dari gandengan. Malu juga aku sama Bunda sampai ditegur begitu. Brian pun jadinya terbawa malu, itu terlihat dari pipinya yang agak memerah; ia buru-buru menghampiri Bunda, menyalami.
“Belum dijawab, itu film apaan?” Sudah jadi kebiasaan, aku suka gak sabaran; tapi Brian tak pernah terganggu dengan sikapku. Setelah rileks sejenak, ia pun memberi penjelasan.
“itu sebuah film seru tentang aksi mata-mata Amerika. Pemainnya ada Alia Bhatt yang mirip dirimu, “ Brian tersenyum menggoda, “Ada Gal Gadot yang mirip Maura.” Senyumnya makin lebar ketika mengucapkan itu.
“Oh ya, bagaimana kalau Maura kali ini kita ajak. Hari ini hari ulang tahunnya lho!”
“Oh ya. Boleh dong gak apa-apa!” Aku sedikit bergaya jenaka untuk menyembunyikan satu rasa; perhatian juga Brian sama Maura. Seakan memahami perasaanku, satu jari Brian mencolek daguku.
“Beneran nih, iklas ajak temen?” Jawabanku cukup dengan mengerjapkan mata sambil mempertontonkan kedua lesung pipitku.
Ternyata Maura mau diajak nonton. Kami bertiga pun pergi bersama naik mobil Brian. Sepanjang jalan kurasa sikap Maura agak berbeda dari sebelumnya. Walaupun sebelumnya dekat dengan Brian tapi tidak seperti kali ini. Masa tanpa basa-basi langsung duduk di depan di samping Brian.
Sebagai teman dan mencoba memaklumi bahwa mereka bersahabat aku mencoba bersabar dan tetap bersikap wajar; tapi Maura ko tidak seperti diriku yang ngerasani, dia tampak full ceria, bahagia, ramai bicara dan sering menghadapkan muka ke arah Brian; sekali-kali mencolek lengan lelakiku itu. Kok aku jadi makin tak enak melihatnya. Walau kualihkan mata dengan membaca buku yang kebetulan ada di mobil Brian, tapi percakapan dan ketawa ketiwi itu bukan cuma mengganggu telingaku, lebih dari itu hatiku merasa terganggu.
Di bioskop Maura mengambil tempat duduk di tengah, otomatis aku tidak duduk dekat Brian. Lama-lama aku kesal sama Brian ko gak ada inisiatif inisiatifnya. Duluan kek duduk di pojok, atau ajak aku kek. Kulihat Brian lurus aja mengikuti sebuah kebetulan yang sesungguhnya berada dalam pengaturan Maura.
Awalnya aku mencoba fokus ke film yang kutonton, ingin memahami alur cerita secara sempurna. Kucoba makan popcorn dan minum minuman segar yang tadi dipesankan Brian untuk kami bertiga. Kupelototkan mata ke arah layar, mengamati artis cantik dan ganteng, tapi ketika Maura mulai berbisik-bisik kepada Brian, konsentrasiku buyar, apalagi kulihat Brian pun respek terhadap omongan maura; suara mereka dalam bisik-bisik itu jadi membuatku nonton dua adegan film. Aih mengapa aku jadi seperti hidup di dunia sendiri, mengapa aku seperti sengaja dibuat mengecil oleh tingkah Maura yang sontak menjadi laksana artis di tengah kegelapan bioskop. Dia mengibaskan rambut, melirik ke samping Brian, membukakan makanan buat Brian; dan ketika kucoba mengajaknya bicara, jawabannya tak sedikit pun sambil mengubah posisi kepala, tetap lurus ke arah layar. Sementara tadi, hemm berapa kali kepala itu menyengaja ke samping ke arah Brian. Selalu ada waktu untuk untuk membantu apa pun yang Brian butuhkan, walau kutahu mulut laki-laki itu tak pernah kudengar meminta.
Pulangnya aku sudah tak berselera ketika Brian menyuruhku duduk di depan. Kuberi alasan, aku ingin melanjutkan bacaan dari buku tadi. Suasana perjalanan menjadi sepi. Walau sesekali Maura tetap mengajak bicara, tampaknya Brian berkonsentrasi terhadap jalanan dalam suasana malam.
Tiba di area rumah, mula-mula Maura yang diantarkan pulang. Aku mencoba tetap tersenyum ketika dia pamitan dan mencium pipiku. Ujungnya mengucapkan terima kasih kepada Brian dengan tatapan yang lama dengan kedip-kedip mata berbulu lentik penuh pancaran kebahagiaan. Di dalam hati aku sudah membuat keputusan sendiri.
“Langsung istirahat ya Cin, jangan lupa make upnya dibersihin dulu biar gak dihinggapi jerawat!” seulas senyum Brian menggoda. Aku mencoba tersenyum tapi tak bisa berkata banyak, cuma mengiyakan, lantas mengucapkan salam. Tapi Brian belum beranjak sampai ia bertemu langsung dengan bunda dan sedikit berbincang, meminta maaf juga kemalaman.
Bunda cuma menyuruhku bersih-bersih dan cepat tidur; dia tidak bertanya ini itu seusai aku masuk rumah dan langsung menuju kamar. Ya waktu memang sudah menunjukkan pukul 10 malam, biasanya keluargaku di jam itu sudah masuk kamar untuk istirahat.
Setelah membersihkan diri, berganti baju dan solat isya, sambil duduk di atas kasur kubuka hape. Langsung muncul chat dari Brian yang berisi ucapan selamat tidur, mimpi indah, jangan lupa berdoa. Kupikir ini saatnya, dan aku pun menulis untuk Brian.
“Selamat tidur juga, menjadi mimpi indah juga untuk kebersamaan hari ini dirimu dengannya. Selama ini aku terlalu lugu dalam memaknai perhatianmu yang ternyata tidak lebih besar dari perhatianmu kepadanya. Bila ternyata dia lebih dulu, dan di antara kalian telah ada ikatan rasa, baiklah kulepas saja rasa yang ini biarkan ia tertinggal sampai detik detik waktu mengikisnya hingga kenangan jua tersisa. Semoga dirimu bahagia. Bye, Cinta.” Lalu sedetik kemudian diluar kendali jariku membuka tulisan lihat kontak terus menggulirkan layar ke atas sampai ada di bagian paling bawah; blokir, ya kublokir. Entahlah rasanya ada kepuasan sendiri melakukan itu; walau ujungnya air mengalir dari kedua mata.
“Ada apa Ca, kok belakangan Bunda gak lihat kamu barengan sama Brian?” Tiba-tiba saja sore itu Bunda mencegatku depan gerbang. Aku baru saja masuk pulang dari kuliah. Dalam keadaan tak bisa menjawab, aku tak bisa menolak ketika tangan Bunda menuntunku ke arah kursi taman. Bunda langsung saja mendudukanku di kursi dengan menekan lembut kedua bahuku.
“Masalah itu harus diselesaikan bukan dihindari!” Heran juga aku mendengar Bunda bicara demikian. “Bunda kira Brian itu anak yang baik. Sayang sama kamu, hormat sama orangtua, Bunda sudah melihat solatnya rajin. Jadi jika sama kamu ada perselisihan, itu wajar namanya juga dua manusia dengan dua pemikiran. Bicarakan, komunikasikan!”
Aku tidak bisa membantah kata-kata Bunda, karena persoalannya memang bukan itu; tapi apa juga yang bisa kukatakan sama Bunda.
“O, ya Caca perlu tahu, Brian sudah menemui Bunda. Brian bercerita katanya Cinta sudah memblokir nomornya. Brian sudah berusaha mencarimu ke kampus, tapi kamu seperti tahu dan menghindar. Awalnya Brian tidak mengerti mengapa kamu berbuat seperti itu, tapi akhirnya Brian berpikir mungkin kamu marah atas sikap dia yang seolah kurang peduli. Itu semata-mata karena menghargai teman kalian.
Aku baru saja mau membantah dengan mengatakan sesuatu, tapi Bunda sudah begitu saja mengeluarkan hape dan menelepon seseorang. Perasaan tak enak membuatku beranjak meninggalkan Bunda. Biarlah kan Bunda sedang ada pembicaraan dengan orang lain. Aku berjalan gontai menuju pintu masuk rumah yang sudah menganga.
Kepala yang runduk membuatku tak menyadari ada orang yang sedang berjalan dari dalam. Biasanya Ayah yang suka nyusul Bunda yang kelamaan keluar. Ayah kan suka nyari kalau Bunda menghilang dari sisinya dalam waktu lama.
Duh benar saja aku membentur badan Ayah, kaget menengadah mau menyeringai dan minta maaf. Tapi Ayah … “Cinta!”
Dalam hitungan detik kebisuan melanda dua manusia yang bertemu dipintu dalam kondisi tabrakan, walau bagi yang satunya tak pengaruh apa-apa, sedang bagiku ya kaget, ya bingung.
“Eu Cinta, beri aku kesempatan untuk bicara, please!” Ulas senyum itu membias rona. Ya kok bisa Brian ada di sini, di rumah. Berarti Brian sudah bicara dengan Bunda, dan Ayah juga? Duh!
“Cin!” Sekali lagi Brian membuyarkan lamunanku. Harapan besar yang tergambar lewat pandangan matanya dan sedikit ketakutan yang disembunyikan dalam kewibawaan seorang laki-laki membuatku akhirnya mengalah, apalagi kulihat dengan sudut mataku Bunda mematung sebelum masuk ke pintu dapur. Seperti ada isyarat di dalamnya bahwa dia menyuruhku untuk tidak bandel dan egois. Memang begitu sikap Bunda setiap kali aku hendak mengikuti keinginanku sendiri dan merasa jenuh harus selalu manut apa kata Ibuku itu. Tapi seperti biasanya aku selalu kalah oleh kewibawaan orangtuaku yang tak pernah marah namun tegas. Okelah!
Kubalikkan tubuh menuju kursi taman yang lengkap ada mejanya itu, dimana tadi Bunda duduk di situ, dinaungi pohon bougenville berbunga ungu dan putih. Kurasa dari suara langkah halus, Brian juga mengikutiku. Ya sudahlah biar diselesaikan saja semuanya.
Kami sudah duduk saling berhadapan. Memang kursi di taman ini layaknya seperangkat meja makan. Sebuah meja bundar jati warna alami dengan tiga kursi yang biasa diduduki kami bertiga Ayah, Bunda dan aku bila ingin bersantai menikmati angin sambil berbincang tentang apa saja.Sementara waktu Brian hanya memandangku saja dengan seulas senyum yang kumaknai sebagai keinginan berdamai.
“Bagaimana kabarmu selama ini, baik-baik saja kan?” Begitu ia memulai pembicaraan, dan kujawab dengan anggukan pendek.
“Boleh aku bicara tentang banyak hal dan satu hal?” lanjutnya lagi, kali ini kurasa ia mulai serius dengan raut yang menampakkan mau didengarkan dan tidak mau disepelekan.
“Aku cuma mau menjelaskan bahwa …” sebentar ia menghela nafas. “Bahwa aku sama sekali tidak mempunyai hubungan spesial dengan Maura, kecuali menganggapnya sahabat. Jujur memang ia pernah mengatakan bahwa ia punya perasaan tetapi kutegaskan bahwa aku telah menganggapnya sebagai saudara.” Mendengar pengakuan itu aku sedikit melengos, males mendengarkan; tetapi tampaknya Brian sudah siap dengan semua sikap burukku.
“Maaf Cin, aku tak ada niat untuk membela diri atau berdiplomasi; ini murni keinginanku untuk menjelaskan hal yang sebenarnya, dan aku ingin kamu percaya, karena sejujurnya aku tak ingin jauh darimu dan tak ingin kamu tinggalkan.”
“Tapi bila ketulusan dan kejujuranku tak bisa juga kamu percayai, aku menyerahkan keputusan padamu. Tapi juga tak semestinya hubungan yang selama ini dijalin baik-baik, harus dilepas dengan cara yang buruk. Kamu membuat keputusan sepihak dengan blokir itu!” Bibir Brian tersungging ngeri. Aku cuma menatapnya sekilas, setelah itu menunduk.
“Bagaimana Cin? Anggap saja aku salah, maukah Cin memaafkan aku”
Hening!
Kulihat Brian bergerak, beranjak, dan … pergi! Laki-laki itu benar-benar pergi menuju gerbang.
“Briaaaaan!” Seakan disadarkan dari tingkah yang bodoh, aku pun lari mengejar Brian. Pas satu langkah lagi menuju tubuhnya, laki-laki itu berbalik sambil tertawa. Karuan saja aku jadi malu dan jengkel. Kebetulan ada batu taman putih kecil dekat gundukan rumput, spontan kulempar mengenai kakinya.
“Aw!” Sakit juga kayanya, kulihat dia agak meringis. Bersamaan dengan itu ada suara dari belakang “Caca, jangan lebay kamu!”
Bunda! Tahu tahu Bunda sudah berada di belakangku dan kulihat wajahnya tampak tak senang. Membuatku reflek menghampiri kaki yang tadi kena lemparan itu dan bertanya tanya mana yang sakit.
“Yang sakitnya di sini!” Kutengadah, kulihat Brian menunjuk wilayah perut sebelah kanan, dan aku mengartikannya sebagai hati. Kudengar kali ini Bunda yang tertawa, disusul senyum-senyum Brian, ujungnya aku pun ketularan ikut nyengir juga, tak lupa mencubit kaki Brian yang ada di dekatku. Kali ini tawaku betulan mendengar lelaki itu juga meringis betulan karena aku memang mencubitnya kuat kuat juga. Sedang Bunda kali ini ketawanya barengan Ayah.
Di ujung cerita itu, akhirnya aku bertanggung jawab atas perbuatanku untuk mengobati kaki Brian yang merah. Bunda menyuruhku mengoleskan krim zambuk.
Selesai.
BIONARASI
Eka Rosmawati, M. Pd. (Eka Ros) adalah guru di SMPN 3 Soreang, Kab. Bandung. Menulis buku dengan beragam genre, antara lain Pantun NKRI, Gurindam Pancasila, !000 Guru Asean Menulis, Trilogi Puisi Berkait Ritus Katarsis, Antologi Puisi Suka Duka Menjadi Guru, Sehimpun Akrostik Pesta Rakyat, Gebyar Literasi Sekolah (Praktik Baik Sekolah Penggerak), Antologi Puisi Akrosmidanian, Antologi Tunggal Gelinjang Batin dan Meniti Bening Hati; dan lain-lain.
Moto: Menulis adalah pilihan hati, sarana melapangkan jiwa dan penerang kalbu. Maka menulislah untuk hidup dan kehidupan hati manusia.