Apa yang Tersisa dari Guru di Era AI?

Pada suatu pagi yang cerah, seorang guru di sebuah sekolah menengah sedang mempersiapkan materi ajarannya. Ia mengatur soal-soal ujian, menyiapkan rubrik penilaian, dan mengoreksi tugas siswa. Semua ini dilakukan dengan penuh ketelitian dan dedikasi. Namun, di sisi lain, di ruang yang berbeda, di dunia maya, AI sedang berlatih. Program-program pintar ini sudah dapat mengerjakan banyak hal: merancang soal, menilai tugas, bahkan memberi umpan balik dalam hitungan detik. Dalam heningnya ruangan itu, si guru bertanya pada dirinya sendiri, “Apa yang masih tersisa dari peran saya di tengah kecanggihan teknologi ini?”
Guru dan Mesin: Dua Dunia yang Berbeda
Beberapa tahun yang lalu, sang guru mungkin tidak pernah berpikir bahwa teknologi akan berkembang begitu cepat. Dulu, ia merasa bangga bisa menjelaskan konsep-konsep sulit, memberikan soal ujian yang menantang, dan berinteraksi langsung dengan murid-muridnya. Namun, sekarang, segala sesuatunya tampak berbeda. AI yang sebelumnya hanya alat bantu, kini mulai menyamar sebagai rekan sejajar, bahkan terkadang lebih cepat dan efisien. Misalnya, sebuah platform berbasis AI dapat membuat soal, mengoreksi tugas, dan memberikan feedback instan kepada murid-murid. Guru tidak lagi perlu duduk berjam-jam mengoreksi jawaban ujian. Tugas administratif pun bisa ditangani oleh AI. Lalu, apa yang tersisa?
Manusiawi yang Tak Bisa Digantikan Mesin
Suatu hari, salah seorang siswa datang menghampiri guru tersebut. Matanya terlihat cemas. “Pak, saya tidak bisa mengerjakan soal ujian matematika tadi,” kata siswa itu. Guru tersebut hanya tersenyum dan mengangguk. Dia tahu betul apa yang harus dilakukan—bukan hanya memberi penjelasan teknis, tetapi juga memberi dukungan emosional.
Guru itu memimpin percakapan dengan penuh empati, bertanya lebih dalam tentang masalah yang dihadapi oleh siswa tersebut, dan kemudian memberi penjelasan langkah demi langkah. Dalam beberapa menit, siswa itu mulai menunjukkan senyum cerah, berkat rasa percaya diri yang kembali terbangun. Ini adalah momen yang tidak bisa diberikan oleh AI.
AI mungkin bisa menjelaskan rumus matematika dengan sempurna, memberikan soal latihan, bahkan memberi feedback cepat tentang jawaban yang benar atau salah. Tetapi AI tidak tahu bagaimana cara berbicara dengan seorang anak yang cemas, atau bagaimana memberikan dorongan ketika seorang siswa merasa dirinya gagal. AI tidak bisa menggantikan ketulusan seorang guru yang memahami bahwa nilai bukanlah segalanya, melainkan bagaimana seorang siswa belajar untuk bangkit dari kegagalan.
Kisah Inspiratif yang Membekas
Setiap guru memiliki cerita—cerita tentang siswa yang berhasil mengatasi rintangan, tentang perubahan sikap, dan tentang perkembangan karakter. Seorang guru tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kehidupan. Guru adalah pembentuk karakter, bukan hanya penyampai informasi. Ia yang mengajarkan tentang keberanian untuk mencoba meski takut gagal, tentang pentingnya kerjasama dan berbagi, serta tentang bagaimana menjadi manusia yang penuh empati dan kasih sayang.
AI mungkin bisa mengisi ruang-ruang tertentu, namun tidak bisa mengisi ruang hati siswa. Guru yang penuh semangat, yang memiliki empati dan dedikasi, adalah sosok yang memberikan inspirasi. Seperti kisah seorang guru yang tidak hanya mengajar matematika, tetapi juga mengajarkan pentingnya memiliki integritas, atau seorang guru seni yang mengajarkan bagaimana menemukan ekspresi diri melalui lukisan.
Apa yang Tersisa dari Seorang Guru?
Mungkin banyak hal yang bisa dilakukan oleh AI—dan itu adalah hal-hal yang membantu guru untuk lebih efisien dalam tugas administratif. Tapi itu bukanlah inti dari keguruan. Yang tetap tersisa dari seorang guru adalah hubungan manusiawi, kemampuan untuk menginspirasi dan memberikan makna lebih dalam hidup seorang siswa. Guru adalah figur yang membimbing, memberi teladan, dan mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang tidak bisa diajarkan oleh algoritma.
Pagi itu, sang guru kembali duduk di mejanya. Di depannya ada komputer yang terhubung dengan AI, tetapi dia tahu bahwa yang sesungguhnya berharga adalah apa yang terjadi di luar layar. Yang tersisa adalah yang terpenting—peran seorang guru sebagai manusia yang memberikan hidup dan harapan bagi anak-anak didiknya. (Red)

