Ketika Guru Menjadi Kupu-Kupu Sosial

 Ketika Guru Menjadi Kupu-Kupu Sosial

Oleh: Kang Bejo

Setiap pagi, Bu Rina berdiri di depan kelas 5A dengan senyum yang sama seperti kemarin, dan kemarin lusa. Tangannya tak pernah luput dari sapaan ringan—kadang tepukan di punggung, kadang lambaian kecil. “Pagi, Nak,” katanya. Bagi sebagian orang, ini hanya rutinitas. Tapi bagi murid-muridnya, itu seperti sinyal bahwa hari akan baik-baik saja.

Interaksi sosial punya pengaruh sosial yang kuat dalam membentuk perilaku manusia.  Hal-hal kecil seperti pesan teks, senyum, atau bahkan posisi poster di dinding bisa mengubah keputusan seseorang. Bu Rina, tanpa sadar, telah menjadi kupu-kupu sosial di lingkungannya—menggerakkan perubahan lewat kelembutan dan kebiasaan kecil.

Di ruang guru, sering terjadi hal serupa. Pak Dani, guru matematika yang terkenal tegas, tiba-tiba berubah hangat setelah diberi secangkir teh oleh Bu Tika saat sedang stres menyusun laporan. Interaksi sederhana itu menjadi titik balik: esoknya Pak Dani mulai membagikan soal dengan sedikit humor, dan murid-murid mulai berani bertanya.

Kita sering terjebak pada asumsi bahwa perubahan besar membutuhkan kebijakan besar. Padahal, perubahan sering kali terjadi karena sesuatu yang tampak remeh. Selembar catatan di meja guru bertuliskan “Terima kasih sudah jadi inspirasi hari ini” bisa menghapus letih yang tak terlihat.

Dalam dunia pendidikan, kita terbiasa fokus pada kurikulum, sistem evaluasi, atau kebijakan dinas. Namun, di balik itu semua, ada jejaring sosial halus yang sebenarnya menjadi ruh dari sekolah: pertemanan antarguru, senyuman penjaga sekolah, atau saling sapa antar kelas.  Hal ini disebut sebagai “nudges sosial”—dorongan kecil yang membentuk keputusan dan rasa memiliki.

Ada seorang guru baru yang merasa terasing di sekolah. Tak ada yang menyapanya, tak ada undangan makan siang bersama. Ia datang, mengajar, lalu pulang seperti hantu di lorong sunyi. Butuh satu orang—Bu Sari, guru BK senior—yang akhirnya mengajaknya duduk di kantin, bertanya kabar, dan menawarkan saling tukar ide mengajar. Dalam sepekan, sang guru baru mulai bersinar. Bukan karena modul ajar, tapi karena ia merasa diterima.

Dunia guru memang berat: beban administratif, tekanan capaian kurikulum, hingga ekspektasi orang tua murid. Tapi semua itu akan terasa lebih ringan jika ada ekosistem sosial yang sehat. Lingkungan sekolah yang peduli dan manusiawi adalah bentuk nyata dari kupu-kupu sosial yang diimpikan Sanders: menyentuh tanpa membebani, menginspirasi tanpa menggurui.

Mungkin sudah saatnya kita menata ulang makna pendidikan. Bahwa tugas guru tak melulu soal mengajar, tapi juga menjadi penggerak sosial yang menyemai empati. Bahwa keberhasilan murid bukan hanya karena sistem, tapi juga karena ruang sosial yang membuat mereka merasa aman dan dihargai.

Dan mungkin, seperti Bu Rina, kita bisa memulainya dari hal paling sederhana: menyapa, mendengar, dan hadir sepenuh hati

Kita tak perlu menjadi kupu-kupu indah dan besar yang terbang tinggi. Cukup jadi kupu-kupu kecil yang berkeliling setiap pagi, menyapa satu demi satu dengan senyum. Karena, perubahan besar dimulai dari interaksi sosial kecil yang dilakukan terus-menerus. Di sekolah, di ruang kelas, dan terutama—di hati guru. (isn)

Artikel ini terinspirasi oleh “Social Butterflies: Reclaiming the Positive Power of Social Networks” karya Michael Sanders dan Susannah Hume.

Spread the love

Related post

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *