Literasi Basa-basi
Oleh : *Drajat
Apa kabar gerakan literasi? Pertanyaan ini menggelitik kita terlebih di saat Covid-19 masih ada di tengah-tengah kita. Kendati, tidak jarang teriakan yang mengaku kaum literat; kami masih ada keberadaannya, bahkan kami melakukan berbagai aktivitas demi keberlangsungan gerakan ini di bumi tercinta. Buktinya? Jangan ditanya, spanduk, flyer, foto-foto dengan pejabat, rompi, selempang kebesaran serta atribut lainnya yang menandakan gerakan ini ada!
Mari kita telusuri geliat literasi di negeri ini alatan sentilan UNESCO. Menurut UNESCO minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 %. Artinya, dari 1000 orang indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca. Sedangkan riset berbeda bertajuk “Most Littered Nation In the World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Ini artinya, Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.
Sentilan ini yang membuat gerah petinggi negeri ini termasuk Bapak Anies Baswedan yang kala itu diberi amanat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Amanah ini dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh beliau, terlebih berlatarbelakang akdemis yang mumpuni. Maka munculah gerakan membaca 15 menit sebelum melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Sabda ini mampu memberikan pemandangan yang mengasyikkan bagi masyarakat pembelajar. Betapa tidak dari pelosok desa hingga hiruk pikuk kota serentak 15 menit membaca. Munculah gerakan ataupun ajakan bagaimana membudayakan gemar membaca. Perpustakaan di bangun, buku-buku disiapkan serta sarana lainnya yang mendukung gerakan ini. Yang lebih menyenangkan para aktivis diberikan stimulus, semacam ganjaran atas usahanya memberikan pencahayaan terhadap masyarakat. Tidak kurang Pak Presiden Jokowi mengundang ke istana bagi mereka yang berbakti hidup dan kehidupannya untuk literasi. Sebut saja perpustakaan keliling, pondok baca, dan komunitas lainnya yang memberikan pemandangan yang indah bagi kemajuan Indonesia.
Basa Basi
Tren literasi seolah menjadi budaya pop, tidak terkecuali guru yang berada di garda depan. Gerakan literasi menjadi “kewajiban” yang harus dilakukan oleh setiap guru jika tidak mau dikatakan ketinggalan zaman. Guru yang bukan literat bisa dikatakan guru tradisional, kuno, dan tidak mau maju. Maka tidaklah mengherankan setiap guru memproklamirkan dirinya sebagai kaum literat yang memberikan cahaya bagi peserta didiknya. Paling tidak ikut nampang ketika peserta didik membaca!
Efek dari gerakan literasi di dunia pendidikan memberikan angin kesegaran bagi jagad persekolahan. Bukankah membaca adalah jendela dunia? Ketika jendela itu terbuka maka dengan sendirinya dunia terbuka. Ketika dunia terbuka maka pandangan kita semakin luas, dan ilmu pun akan bertambah. Suatu pemandangan yang mengasyikkan saat peserta didik berebut buku di perpustakaan, menenteng buku dalam setiap aktivitasnya, sekaligus menikmati isi bacaan yang mereka pegang. Malahan sebagai tindak lanjutnya mereka menelaah lalu menuliskannya sebagai hasil membacanya.
Pemandangan tersebut tentunya memberikan harapan suatu ketika membaca tidak hanya sebagai kewajiban akan tetapi menjadi habit yang tidak bisa ditinggalkan dari keseharian. Harapan ini terus digelorakan oleh seluruh pihak, untuk memicu semangat ini penentu kebijakan memberikan ganjaran kepada para guru yang membimbing siswa-sisiwanya yang mampu membaca minimal 12 buku dalam kurun waktu 1 tahun alias 12 bulan, misalnya. Tidak tanggung-tanggung ganjarannya adalah “jalan-jalan” ke luar negeri sekaligus melihat lebih dekat negara yang sudah melaksanakan habit literasi.
Berjalannya waktu, jika sebelumnya gerakan ini mandiri literasi kini disandingkan dengan numerasi, lengkapnya literasi dan numerasi. Lagi-lagi dikarenakan kegerahan akan kompetensi bangsa ini dengan membaca, matematika dan sains yang selalu menjadi bontot dalam setiap penilaian PISA (Programme for International Student assessment). Pisa sendiri merupakan metode peneliaian internasional yang menjadi indikator untuk mengukur kompetensi siswa Indonesia di tingkat global.
Perlu kita ketahui, data sebelum Covid-19, tepatnya Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mencatat, peringkat PISA berdasarkan survei tahun 2018 berada dalam urutan bawah. Data ini tentunya menjadi pemicu, sekaligus motivasi bagaimana meningkatkan karkat derajat negeri ini di mata dunia.
Lalu, apa hungannya dengan basa basi? Jawabannya ada pada diri kita masing-masing selaku warga belajar. Berapa buku yang kita miliki, berapa buku yang sudah dibaca, berapa buku yang kita simak, berapa buku kita buat catatan? Atau jangan-jangan sama sekali kita tidak membaca? Cukup miris! Betapa tidak, silahkan Anda tanya kepada guru-guru yang ada di sekolah, bisa jadi di Perguruan Tinggi tidak jauh berbeda. Jangankan untuk membaca membeli bukunya pun perlu dipertanyakan!
Berbagai bentuk basa basi ada di sekeliling kita. Saat gerakan ini digulirkan, apakah seluruh pemangku jabatan, elemen masyarakat mendukung? Jika toh memang kita mau beranjak dari dunia “kegelapan” penulis yakin sabda yang dilontarkan akan serentak dilakukan. Bagaimana “bapak-bapak” pemangku jabatan tidak hanya berkoar akan tetapi dengan tindakan nyata. Seharusnya, mereka memberikan contoh sebagai kaum literat yang mencintai buku. Mereka tidak akan nyaman jika di kantornya tidak ada buku apalagi tidak membaca. Benarkah mereka juga melakukan gerakan membaca 15 menit sebelum bekerja? Benarkah mereka melakukan sidak mengontrol gerakan literasi? Atau jangan-jangan mereka hanya melaksanakan sebagai kewajiban saja, tanpa ada tindak lanjut, bahwa membaca sudah menjadi habit yang tidak bisa ditinggalkan?
Bagaimana dengan dunia kita, pendidikan? Silahkan Anda melihat dengan seksama apa yang terjadi di lingkungan Anda. Apakah Kepala Sekolah sebagai kaum literat? Pernahkah melihat beliau membaca? Pernahkah melihat membeli buku? Berapa orang yang suka membaca? Berapa orang yang berlangganan koran? Atau sama sekali tidak? Jangan-jangan kita pun terjebak dengan “membebek” karena tidak mau ketinggalan zaman!
Bagaimana dengan yang mengaku kaum literat? Jelas saat gong literasi didengungkan sambutan positif menjalar di mana-mana. Terlebih ada iming-iming, barang siapa yang menjadi literat akan diberikan ganjaran, jalan-jalan keluar negeri! Seluruh sekolah berpacu, readathon dilaksanakan serentak. Anak-anak dengan ayunya memegang buku seraya membaca, demikian juga gurunya. Pemandangan ini hasilnya dikirim ke setiap koordinator sebagai tanda sudah melakukan gerakan. Hebatnya lagi para siswa diminta tidak hanya membaca akan tetapi, meresensi sekaligus mampu menceritakan apa isi buku di depan teman-temannya. Bagaimana dengan gurunya? Lagi-lagi silahkan Anda amanti, benarkan mereka juga ikut membaca? Buku apa yang mereka baca?
Berikutnya yang tak kalah menarik, mengapa kaum literat diidentikkan dengan guru bahasa? Tidak jarang gerakan ini seolah-olah milik mereka, padahal sudah jelas literasi milik kita semua, milik siapa saja yang mau melek dunia luar. Sepertinya haram, guru di luar bahasa melakukan itu. Stigma ini tentunya tidak semua benar. Justru dengan kolaborasi semua elemen sekolah akan menjadi indah gerakan ini dilakukan bersama-sama, dan dirigennya ada di Kepala Sekolah.
Kaum literat adalah manusia yang luar biasa. Ia tidak hanya membaca, menyediakan atau mengajak akan tetapi sekaligus mereka penuh santun memperlakukan dengan baik apapun yang berhubungan dengan literasi, misalnya isi bacaan. Cukup miris belakangan ini dengan kemajuan teknologi, orang begitu mudah copas—copy paste, dan menyebarkannya di media sosial atau karya tulis lainnya. Padahal jelas ini kejahatan intelektual yang amat sangat besar, sebagai plagiat.
Tentunya masih banyak lagi basa basi literasi yang kita lakukan. Mari kita jawab dengan memberikan solusi yang menyejukkan. Niatkan dalam diri bahwa kita melakukan ini tidak hanya menanggalkan sebagai kewajiban, akan tetapi menjadi habit yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan kita. Dan kita merasa ada sesuatu yang hilang jika kita tidak melakukannya. Dengan demikian cepat atau lambat negeri ini dengan alamiah akan lebih maju dibandingkan dengan negara lain. Mari kita buktikan, bahwa gerakan literasi bukanlah basa basi!***
*Guru Gila, Gali Ide Langsung Action