Literasi Tak Pernah Ingkar Janji
Oleh: Agus Nurjaman, S Pd
- Literasi Bukan Basa-Basi Tapi Soal Hati
Perjalanan hidup seseorang tak lumrah di tentukan orang lain. Semuanya bergantung pada pelaku kehidupannya sendiri. Satu hal yang harus kita percayai tidak ada sesuatu yang tidak mungkin di dunia ini. Benar kan? Bukankah nasib seseorang tidak akan berubah jika orang itu tidak berusaha mengubahnya? Itu prinsipku. Tuhan juga menganjurkan umat-Nya selalu berusaha. Hasilnya biar jadi urusan Tuhan. Seberapa gigih usaha kita untuk meraih target yang kita inginkan. Maka percayalah sepenuh hati usaha itu tidak akan pernah mengkhianati hasil.
Aku seorang guru biasa di sebuah sekolah negeri di bilangan perbukitan nan sejuk. Wilayah Bandung Selatan. Terus berkomitmen membimbing siswa meniti tantangan literasi. Literasi bukan basa-basi tetapi soal hati. Aku seorang guru Bahasa Inggris. Sebagai guru baru yang di beri kepercayaan, aku cukup tahu diri. Tak mau di rindat nyinyir para senior. Implikasinya aku berusaha hadir lebih awal. Selain menghindari kemacetan di perjalanan. Datang lebih awal terasa lebih nyaman saja bagiku. Seperti pagi itu aku melaju di jalanan aspal berkelok menunggangi kendaraan kesayanganku. Aku menyebutnya: “Apansa”(Apan sa aya-aya we motor Revo-Sunda Read). Itu hanya istilahku saja. Maksudnya seadanya saja motor Revo pun jadi. Segitu saja sudah sangat bersyukur.
Di bawah naungan langit membiru bersanding semburat manja sang dewa benderang. “Pagi yang mewah” batinku tersungkur dalam kesyukuran teramat husuk. Check and recheck kebersihan tiap kelas adalah habit-ku tiap pagi. Maklum sekolah dimana aku mencari nafkah berstatus Adiwiyata. Sekolah berbasis lingkungan. Warga sekolah harus inten menjadi laskar hijau. Irama sepatuku seakan-akan menjadi penanda kehadiranku. Mereka serentak menghambur ke dalam kelas. Ada yang menyapu. Ada pula yang asal pegang gagang sapu. Sing penting terhindar dari omelanku_benar-benar dramatis. Menyaingi Drama Korea.
“Pak! Ridwan ngga piket” Siti melapor. Dia skip wujudku dihadapannya. Sontak bola mataku bundar sempurna membelalaki si bandel. Aksiku berbuah hasil, dia segera menghabiskan makanannya. Mulutnya menggelembung. Matanya merem melek.
Tangannya rikat menjamah wadah tempat benda-benda penyebar segala penyakit itu segera dimusnahkan. “Aduan!” gerutunya. Ridwan! Pekikku memeranjatnya.
“Maaf Pa!” mendelik. Hatiku geli di buatnya. Mulutku mengulas senyuman masam. Bocah itu meringis ketakutan. Hatiku sebenarnya ngakak sengakaknya. Aku sangat bersyukur menjadi seorang guru. Hari-hariku selalu berwarna. Tingkah mereka kadang menghiburku meski tak jarang menjengkelkan. Berdinamika. Aku sebenarnya bukan tipe pemarah, namun entahlah banyak siswa merasa gimir. Itu hanyalah akting terhandalku. Bersandiwara agar mereka menjadi lebih baik. Tentunya nilai kebaikan harus di tanamkan sedini mungkin.
- Dari Biasa Jadi Luar Biasa
“Good Morning, Sir! Siang nanti LRCKB jadi kumpul Pak?” terkekeh. Zian adalah siswa literasi binaanku. Ini bulan kesepuluh menjalankan program literasi tingkat Kabupaten. Aku di daulat Kepala Sekolah untuk menjadi pembimbing Reading Habit dalam komunitas LRCKB (Leader’s Reading Challenge Kabupaten Bandung). Sebuah program tantangan membaca untuk siswa SMP tingkat Kabupaten. Setiap sekolah di beri kuota 5 orang siswa dan 1 guru pembimbing. Setiap siswa di tantang untuk membaca buku minimal sebanyak 24. Jenjang satu tahun. Bukan itu saja mereka juga harus membuat riviu dari buku yang telah di bacanya. Lalu mengirimkannya ke Facebook pembimbing selanjutnya di teruskan ke manager gugus. Di bulan kesepuluh ini mereka sudah membuat riviu lebih dari 24 buku. Wow kerreeen. Itu yang membuat self–confidence ku melambung hingga ke ujung langit. Tergantung bertahta di sana.
“Harus jadi dong! Sepulang sekolah kita kumpul di Perpustakaan. Menyelesaikan riviu buku terakhir” tersenyum tipis. “Australia tunggu Aku!” batinku bermunajat. Itulah titik awal aku menjadikan kegiatan menulis sebagai habit. Hasratku kian menggelora. Meletup-letup bak kawah Semeru. Sejak saat itu seakan sakaw jika tidak menulis.
“Biar kita bisa ke Australi ya Pak?” terkekeh berseloroh. Kata-kata adalah doa.
“Hmmm” reaksiku. Sungguh antologi pagi yang menyenangkan. Aku kian tersungkur husuk dalam kesyukuran. Bisa di percaya membimbing program ini. Konon katanya di akhir program akan ada seleksi pembimbing terbaik yang akan di berangkatkan studi banding ke Australia. “Bisakah Aku?” batinku bergejolak. Secuil asa masih bergelayut di langit sore. Menunggu kelebat romansa senja bertandang.
***
Aku dan Zian berkesempatan mengikuti seleksi itu. Setiap perjalanan literasiku selalu kutulis dalam buku harianku. Ada rasa syukur tak terhingga. Bagaimana tidak? Tuhan telah ciptakan manusia penemu ballpoint. Hingga bisa merangkai kisah menjadi untaian kata bermakna. Sejak saat itu menulis menjadi tugas rutinku setelah mengajar. Bukan kewajiban tetapi lebih dari itu. Jadi kebutuhan. Puluhan artikel telah terpampang di surat kabar ternama di Jawa Barat. Berbagai penghargaan menjadi juara dalam lomba menulis terus memenuhi dinding ruang tamu. Terkesan pamer, tapi itulah literasi yang selalu patuh pada janjinya. Bukan aku yang hebat tapi Tuhan ijinkanku jadi juara. Dari kebiasaan itu aku juga telah merampungkan kurang lebih 35 judul buku. Hebat kan? Sedikit jumawa. Itulah bukti kalau ternyata menulis itu asyik sekali.
Aku pernah tertatih perih. Terus berjuang meski terkadang tak harus menang. Tetapi hasrat menulisku kian mengasyikan. Melebihi asyiknya sekadar bermain tik-tok.
“Bu, seleksi pertama Aku lolos” kabar itu ku syiarkan pada malaikat tak bersayapku. Beliau selalu lantunkan doa teramat syahdu dalam menghantarkanku menuju gerbang kesuksesan. Tak ada keramat seindah kasih ibu, tak ada doa semerdu lantunan nina bobonya. Mungkin akulah orang yang paling bahagia di planet ini. Dilahirkan wanita sehebat dia. Superhero tak tertandingi di muka bumi ini.
Sungguh sayapnya tak pernah berhenti mengepak. Mulutnya tak pernah berhenti berkamit menggiring doa paling makbul. Doa ibu tidak terbantahkan.
Pergantian waktu itu terasa mendayu membungkus penantianku. Kurun penantian itu tak jarang support terlontar. Meski ada juga yang bereaksi negatif. Namun semuanya tidak kutanggapi serius. “Mana bisa guru biasa jadi luar biasa?” cemoohan itu masih terngiang sampai detik ini. Biarlah mereka menggonggong aku terus berlalu. Sejujurnya ungkapan itu kujadikan jamu menguatkan mental. Aku guru biasa harus jadi luar biasa. Itu secuil kesumatku. Akhirnya terjawab di ujung penantiaku. Kolom chat WA Kepala Sekolah: “Alhamdullilah Pak Agus Jadi Ke Australia, hari ini harus ke Gedong Sabilulungan”. Speechless. Bahagia itu melambung hingga langit ke tujuh. Bahkan tak sempat membalas chat-nya. Aku tak sanggup mendesain kata dari tenggorokanku. Artikulasiku tak berkutifk meski hanya sepatah. Negeri kanguru sudah terkunci di lemari pikiran terdalamku. Agus jadi guru luar biasa. Guru bahasa asing yang pernah menitikan kakinya di Negara asing. Luar biasa! Mereka mengakuinya dibalik airmukanya yang biasa saja. “Hmmm” reaksiku bangga.
1 Comment
Sangat menginspirasi pak