Aktivitas Serba Digital, Etika Digital Jangan Ditinggal
*Yudhi Kurnia
Di lihat dari sisi pengguna internet di dunia, Indonesia yang berpenduduk lebih kurang 276, 4 juta, ada sebanyak 353,8 juta perangkat mobile terkoneksi, 212,9 juta pengguna internet, dan 167 juta penduduknya adalah aktif di media sosial . Nilai di atas merupakan pangsa pasar yang sangat seksi bagi pihak-pihak yang berkecimpung dalam dunia teknologi saat ini. Selain itu, ada fakta menarik bahwa sejatinya kecepatan koneksi internet di Indonesia itu adalah peringkat 4 dari belakang atau dari yang paling lambat aksesnya. Melalui data tersebut muncul sebuah ungkapan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang sabar, hanya dengan kecepatan rendah sekalipun keaktifan mereka di dunia maya jangan lagi diragukan.
Berdasarkan data-data riset, puncak dari mewabahnya demam koneksi internet adalah saat pandemi covid-19 di 3 tahun terakhir saat Indonesia dan seluruh penduduk bumi berjibaku melawan virus covid-19 yang banyak menelan jiwa. Aktifitas belajar dan bekerja di rumah saat ini sudah berangsur berkurang atau bahkan sudah tidak ada sama sekali. Kantor-kantor, sekolah-sekolah, lembaga baik Pemerintah ataupun swasta sudah kembali ke aktifitas normal, padahal sebelumnya ramai disebut sebagai “new normal”.
Bangsa Indonesia kini, jangan lagi diragukan dalam urusan konten-konten yang unik dan menarik. Indonesia adalah salah satu bangsa yang sepertinya tidak akan pernah kekurangan orang kreatif dan penyabar. Hal tersebut terbukti dengan semakin banyak konten kreator yang inovatif, dan banyak orang yang senang berlama-lama di sosial media yang mana kecepatan akses internetnya adalah keempat terakhir.
Kemajuan teknologi yang saat ini tengah masuk ke fase era teknologi 4.0 sebagai penandanya adalah hadirnya produk-produk berupa Internet Of Things yang sangat membantu manusia dalam kehidupan sehari-harinya. Selain itu, kemajuan dalam bersosial media pun sangat terlihat sekali. Jika kita menelisik data di atas bisa dilihat bahwa satu orang penduduk di Indonesia mempunyai lebih dari satu perangkat yang terhubung secara online. Satu orang pendudukan Indonesia saat ini rata-rata memiliki lebih dari satu akun media sosial. Rata-rata perhari “Netizen” Indonesia menghabiskan waktu selama 5 jam 39 menit. Angka yang dahsyat sekali dan akan mempunyai dampak baik dan buruk. Bagi sebagian penduduk yang mata pencahariannya adalah dalam sisi konten, maka waktu Sebanyak itu akan digunakan untuk merancang ide kreatif dalam konten digital mereka, namun sebaliknya bagi yang suka “bersosial media” namun tidak produktif maka dia akan kehilangan waktunya dan kuota datanya.
Minimnya Etika Digital
Ruang maya atau digital sejatinya harus dianggap sebagai dunia nyata yang sebenarnya. Hanya saja dalam dunia maya tidak tersekat oleh batas negara. Bahkan, tidak akan terikat oleh yang namanya ruang dan waktu. Internet adalah “dunia” yang hidup terus. 24 sehari, 7 hari seminggu dan seterusnya internet akan senantiasa terkoneksi.
Di tengah kebanggaan bahwa penduduk Indonesia sebagian besar sudah bisa memanfaatkan teknologi tersimpan sebuah kegundahan terutama dalam hal beretika di ruang digital. Tidak sedikit berita palsu, ataupun informasi yang menyesatkan hadir ke tengah-tengah kita. Bahkan muncul anggapan saat ini, bahwa hal yang viral akan dianggap benar, dan akan menjadi role model. Namun, hal tersebut tidaklah tepat. Tidak sedikit, bahkan sangat banyak sekali konten yang viral harus Selalu difilter. Hal ini akan menjadi satu upaya proteksi dari bahaya banjir informasi yang tidak bermanfaat yang masuk ke mata dan otak kita semua.
Ruang publik berupa sosial media saat ini bukan lagi milik perorangan. Sudah hampir semua aspek dalam kehidupan ini menggunakan sosial media untuk saling terkoneksi. Hal ini telah menyebabkan hilangnya beberapa mata pencaharian, namun demikian memunculkan pula banyak sekali mata pencaharian baru dari adanya kemajuan teknologi yang saat ini kita lihat.
Di menjelang perhelatan akbar rakyat Indonesia berupa pemilihan umum secara serentak saat ini sudah dimulai perang-perang opini, bahkan tidak jarang informasi sesat dan menjatuhkan lawannya. Hal ini tentu tidaklah sehat. Konsep “pesta” demokrasi, yang sejatinya adalah milik rakyat, tidak dirasa demikian. Di akar rumput terjadi gontok-gontokan hanya karena perbedaan pilihan. Jika dulu perbedaan pendapat hanya bisa kita lihat di warung kopi, saat ini perbedaan pendapat bisa menjalar dan masuk ke rumah kita melewati sosial media.
Sikap yang paling baik melihat fenomena bersosial media saat ini yang dikenal dengan lepas dari adab, atau sudah tidak beretika lagi adalah dengan tetap santun dalam bersosial media, tidak baper, dan berargumen baik dengan lisan atau tulisan senantiasa dilengkapi dengan data.
Responsif terhadap kebaikan-kebaikan yang tersebar di dunia maya, dan menghalau dari keburukan-keburukan di dunia maya adalah sangat penting. Indonesia dikenal sebagai bangsa yang mempunyai nilai karakter gotong royong, yang katanya sikap ini hanya ada di Indonesia ini wajib untuk terus dijaga. Gotong royong demi kebaikan di dunia maya itu sangat dianjurkan, yang dilarang adalah saling bantu dalam kerusakan dan kejahatan.
Konon, hanya di Indonesialah ada kata “Punten” saat seseorang melewati orang lain. Ini artinya budi luhur rakyat kita ini begitu tinggi. Sangat jauh berbeda dengan dunia lain yang lebih menonjolkan sisi teknologi ketimbang budi pekerti.
Kiranya sudah tepat judul yang penulis cantumkan, bahwa aktivitas digital kita jangan sampai meninggalkan etika. Karena jika etika hilang maka hilanglah kemanusiaan. Untuk itu, mari kita jaga lisan, dan tulisan kita dari hal yang tidak baik. Ingat, jejak digital itu nyata!.
*Guru SMP Muhammadiyah 8 Bandung, Pengurus MGMP Informatika Kota Bandung
1 Comment
Kita harus tetap bijak dan beretika walaupun beraktivitas di dunia digital